Soloraya
Senin, 12 November 2012 - 08:54 WIB

Bagi-Bagi Rupiah di Balik Pencatatan Nikah

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Dok)

SOLO — Biaya nikah sebenarnya murah. Praktiknya, biaya yang dibayar oleh calon pengantin berlipat-lipat daripada biaya sebenarnya. Berikut  laporan tim mengenai biaya nikah di Solo dan sekitarnya.

Advertisement

“Biaya pencatatan nikahnya sih murah. Cuma Rp30.000. Tapi, di luar itu yang mahal. Bisa sampai Rp200.000,” kata salah satu pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Jebres, Solo saat berbincang dengan Espos, akhir pekan lalu.

Espos saat itu mengaku sebagai calon pengantin yang mencari tahu apa saja biaya di luar nikah itu. Ia pun menyebutkan sejumlah biaya yang selama ini melekat dengan tugas pegawai KUA namun tak ada anggaran dari pemerintah. Misalnya, ongkos transportasi dan uang lelah penghulu yang diminta datang ke rumah mempelai untuk menikahkan di luar jam kerja dan di luar kantor. Ada juga biaya pengurusan surat-surat di desa serta biaya bagi pegawai pembantu pencatat nikah (P3N).

Advertisement

Espos saat itu mengaku sebagai calon pengantin yang mencari tahu apa saja biaya di luar nikah itu. Ia pun menyebutkan sejumlah biaya yang selama ini melekat dengan tugas pegawai KUA namun tak ada anggaran dari pemerintah. Misalnya, ongkos transportasi dan uang lelah penghulu yang diminta datang ke rumah mempelai untuk menikahkan di luar jam kerja dan di luar kantor. Ada juga biaya pengurusan surat-surat di desa serta biaya bagi pegawai pembantu pencatat nikah (P3N).

“Yang jelas, kisaran Rp200.000. Tapi, kalau mau ngasih lebih, juga enggak apa-apa. Itu hak panjenengan,” jelasnya.

Ongkos Rp200.000 bagi sebagian masyarakat mungkin terbilang kecil. Di sejumlah daerah di Soloraya, biaya menikah malah lebih gede lagi. Di Kecamatan Jaten, Karanganyar, total biaya untuk pengurusan buku pencatatan sampai akad malah sampai Rp300.000.

Advertisement

Hal serupa juga terjadi Boyolali. Seorang bayan di salah satu desa di Boyolali Kota mengatakan bahwa total biaya pengurusan catatan nikah mencapai Rp325.000. Rinciannya, Rp25.000 untuk calon mempelai laki-laki dan Rp300.000 untuk mempelai perempuan. Meski demikian, sambung pria yang terbiasa mengurus surat nikah itu, jika proses ijab
kabul dilakukan di rumah calon pengantin, keluarga harus menyiapkan lagi uang amplop Rp200.000 untuk jasa penghulu dan P3N.

“Kalau nikahnya di KUA, cukup Rp150.000 alias tak pakai uang bensin,” terangnya.

Begitu pun di Klaten dan Sukoharjo. Biaya pencatatan nikah Rp300.000-Rp400.000. Rinciannya hampir sama dengan daerah lainnya. Rata-rata, mereka pasrah bongkokan kepada modin desa atau P3N lantaran tak tahu seluk-beluk pengurusan surat nikah di KUA dan desa.

Advertisement

“Saya, enggak ngurus sendiri. Bapak saya yang pasrah kepada modin desa. Pokoknya, dikasih RpRp300.000 sudah jadi. Tapi, kami masih ngasih amplop lagi kepada penghulu dan pembantunya,” jelas Tikuningtyas, warga Klaten yang sekitar tiga bulan lalu melangsungkan pernikahan.

UU No 1/1974 tentang Perkawinan memang menegaskan bahwa salah satu syarat sahnya pernikahan di mata hukum ialah harus tercatat secara administrasi oleh negara. Di sinilah, peran negara memfasilitasi warga yang menikah untuk mendapatkan buku nikah.

Sayang, di sini pula berbagai celah praktik bagi-bagi rupiah bermain. Mulai dari ongkos pihak ketiga, ongkos bensin dan amplop penghulu, pembuatan surat numpang nikah, ongkos konsultasi pegawai KUA, hingga sekadar jasa ketik di kantor desa atau kelurahan. Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) No 47/ 2004 tentang Biaya Pencatatan Nikah menyebutkan bahwa biaya pencatatan hanya Rp30.000. Angka ini pula yang masuk ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sementara, uang lain-lainnya yang sepuluh kali lipat lebih banyak malah masuk ke kantong-kantong  pribadi.

Advertisement

Lantas, siapakah yang salah dalam hal ini? Pemerintahkah yang membikin regulasi? Pihak ketiga atau oknum nakal yang memperdayai warga? Ataukah warga sendiri yang tetap melanggengkan budaya memberi amplop dan menikah di luar jam kerja serta di luar KUA?

“Sebenarnya, kalau warga menikah di KUA yang sudah kami siapkan, biayanya cukup Rp30.000. Bahkan, kalau enggak mampu, malah kami gratiskan,” kata Kasi Urusan Agama (Urasi) Kantor Kemenag Solo, Mustain Ahmad.

Namun, diakui Mustain, harapan itu hanya mimpi di siang bolong. Sebab, kenyataannya banyak masyarakat memilih menikah di luar KUA dan di luar jam kerja. Malahan, sambungnya, ada pula calon pengantin yang mengundang penghulu di tengah malam di depan jenazah orangtuanya.

“Ini fakta bahwa budaya di masyarakat sangat kuat. Apalagi di Jawa, ada keyakinan waktu-waktu tertentu atau bisa disebut sangat itu. Dan kami tak bisa serta-merta mengabaikan kearifan lokal ini,” jelasnya.

Namun, pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Solo, Andwi Joko, menilai melambungnya biaya pencatatan nikah itu lebih disebabkan tak adanya standard operational procedure (SOP) yang jelas.

Sebagai institusi layanan publik, kata Joko, KUA mestinya bisa menyederhanakan SOP itu agar mudah dipahami warga tanpa melalui birokrasi yang panjang. “SOP yang berliku dan berbelit inilah yang membuat warga malas mengurus sendiri. Akibatnya, membuka celah bagi oknum nakal pencatatan nikah,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif