News
Kamis, 8 November 2012 - 22:23 WIB

Songsong SJSN dengan Meningkatkan Investasi dan Efektifkan Layanan

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI/Solopos)

ilustrasi (Dwi Prasetya/Dok/Espos)

Rika, seorang karyawan di sebuah perusahaan di Solo, merasakan kacamata yang dipakainya sudah tidak nyaman lagi. Atas saran seorang teman dia ingin mengganti kacamatanya dengan menggunakan fasiltas jaminan pemeliharaan kesehatan dari (JPK) dari Jamsostek. Dia pun pergi ke sebuah toko optik yang menawarkan diri bisa melayani peserta Jamsostek.
“Maaf Mbak, Anda tidak bisa langsung ke sini. Namun ada sejumlah prosedur yang harus Anda lalui dulu,” ujar penjaga toko optik tersebut. Rika pun mendapat penjelasan panjang yang tampaknya cukup melelahkan bila dilakukan.

Advertisement

Untuk mendapatkan fasilitas penggantian kacamata, seorang karyawan pertama harus pergi ke dokter umum di rumah sakit yang ditunjuk Jamsostek. Kemudian setelah mendapat rujukan dari dokter umum baru bisa ke dokter mata. Persoalannya adalah dokter umum yang bekerja sama dengan JPK belum berada di lokasi yang sama dengan dokter mata yang bekerja sama dengan JPK.

Persoalan lagi adalah jika jam praktik dokter umum tidak selalu sama dengan dokter mata, sehingga setelah memeriksakan diri ke dokter umum untuk mendapatkan rujukan ke dokter mata, pasien tidak bisa langsung ke dokter mata karena jadwal praktiknya belum tentu sama. Setelah mendapatkan resep  kacamata dari dokter seseorang peserta Jamsostek ternyata tidak bisa langsung ke toko optik sebab resep atau rujukan dokter mata untuk membuat kacamata tersebut tidak valid jika tidak ada cap dari Jamsostek.

Peserta Jamsostek pun harus ke kantor Jamsotek untuk memenuhi syarat tersebut, padahal jarak antara dokter umum, dokter mata, kantor Jamsotek dan toko optik bisa jadi jauh sehingga perlu waktu dan ongkos tidak sedikit.  Sungguh merepotkan ternyata untuk mendapatkan fasilitas penggantian kacamata dari Jamsostek senilai Rp200.000 dengan pilihan model kacamata yang  terbatas tentunya. Tidak mau repot dan ribet, Rika pun memilih mengurungkan niatnya mengurus JPK kacamata dari Jamsostek.

Advertisement

Rika mungkin hanya satu dari sekian banyak peserta Jamsostek yang masih merasakan kurang efektifnya pelayanan Jamsostek. Gambaran serupa juga terlihat ketika seorang peserta Jamsostek ingin mendapatkan fasilitas pelayanan dokter spesialis, mendapatkan perawatan inap di rumah sakit karena sakit atau melahirkan. Selain nilai klaim yang relatif kurang memadai untuk ukuran kebutuhan pelayanan medis saat ini, proses klaimnya juga cenderung memakan waktu yang cukup lama.

Misalnya untuk penggantiannya biaya persalinan bagi peserta Jamsostek hanya diberikan sebesar kurang lebih Rp500.000 untuk kelahiran secara normal dan Rp1,5 juta untuk kelahiran secara sesar. Padahal biaya operasi sesar bisa mencapai Rp5 juta – Rp7 juta.
Hal ini cukup disayangkan mengingat  saat ini  Jamsostek meningkatkan iuran JPK  sebesar 300 persen atau 3 kali lipat. Hal ini sesuai Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemeritah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Perusahaan yang mendaftarkan karyawannya untuk mengikuti program JPK sebelumnya hanya membayar Rp30.000 per bulan untuk karyawan yang berstatus belum menikah, kini harus membayar Rp90.000 per bulan. Sedangkan untuk karyawan yang berstatus sudah menikah, perusahaan harus mengeluarkan iuran Rp180.000 per bulan dari sebelumnya Rp60.000 per bulan.

Ini adalah sebuah peningkatan biaya yang cukup signifikan dan menjadi beban bagi perusahaan. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa kebanyakan karyawan enggan untuk menggunakan fasilitas JPK karena takut berbelit-belit, merepotkan dan terkadang tidak diterima dengan baik oleh pihak rumah sakit. Peningkatan iuran hingga 300 persen ini tidak adil bagi peserta Jamsostek bila pelayanan yang diterima tidak juga mengalami peningkatan pula.

Apalagi Jamsostek mengaku saat ini telah mengelola iuran peserta dalam bentuk investasi mencapai Rp127 triliun.  Menurut Direktur Utama Jamsostek Elvyn G Masassya dana tersebut dialokasikan dalam lima jenis investasi yakni, time deposit, saham, obligasi, reksadana, properti dan penyertaan.  Bahkan nenurutnya, investasi dari iuran peserta Jamsostek sudah melebih dari target yang ditetapkan pada 2012, sebesar Rp125 triliun. Hasil dari investasi itu, sudah mencapai Rp9,9 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp12 triliun pada 2012.

Advertisement

Dengan angka-angka yang cukup fantastis tersebut, yang menjadi tanda tanya besar adalah dengan modal sebesar itu sejauh mana Jamsostek telah memberikan manfaat secara optimal kepada para peserta? Sudahkah para peserta Jamsostek mendapatkan hak-haknya secara efektif dan efisien?

Seperti diketahui, rakyat Indonesia berhak menikmati Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) secara bertahap mulai 1 Januari 2014. Pemerintah akan menjalankan SJSN berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). PT Askes (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2014 dan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Juli 2015.

Dalam Forum ASEAN Social Security Association (ASSA) ke-29 yang digelar di Nusa Dua, Bali 25–26 September 2012 lalu, Elvyn mengatakan,  Jamsostek memandang proses transformasi menuju BPJS sebagai sebuah momentum yang tepat untuk melakukan perubahan baik dalam aspek operasional, pelayanan, pengelolaan keuangan dan investasi sesuai dengan amanah UU SJSN dan UU BPJS.

“Terlebih,  bila mempertimbangkan adanya amanah perlindungan universal coverage untuk jaminan kesehatan dan perlindungan pendapatan (Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian) untuk seluruh tenaga kerja,”katanya seperti dikutip sebuah media online belum lama ini. Semangat yang patut diapreasi yang bisa menjadi modal awal perubahan.   Namun pihak Jamsostek sebaiknya juga menyadari penerapan SJSN di Indonesia,  khususnya untuk tenaga kerja,  bisa menjadi sebuah model yang unik .  Belum ada negara di dunia yang  melaksanakan SJSN sementara memiliki pekerja informal yang lebih besar dari pekerja formal.

Advertisement

Skema SJSN yang mencakup semua pekerja, biasanya dilaksanakan di negara yang komposisi pekerja formalnya lebih besar. Jaminan sosial untuk tenaga kerja yang akan dijalankan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015 sebaiknya dilakukan secara bijaksana dengan kajian cermat.  Mengingat, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS tidak disebutkan mengenai batasan atau kriteria mengenai pekerja formal dan informal yang berbeda ini.
Seperti diketahui, BPJS Ketenagakerjaan akan melaksanakan program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK), jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pensiun (JP).

Diperlukan analisis terkait kondisi keuangan negara dan pembiayaan program jaminan sosial secara mendalam.  Hal ini tentunya dengan tujuan agar sistem jaminan sosial nasional bisa berjalan menyeluruh dan menyentuh semua lapisan masyarakat, termasuk pekerja informal.
Saat ini ada sektar 30 juta pekerja sektor formal yang hingga kini belum tersentuh program jaminan sosial. Dari total sekitar 41 juta pekerja formal secara nasional, mereka yang sudah didaftarkan perusahaannya untuk ikut program Jamsostek baru sekitar 10,5 juta orang.  Sementara dari pekerja sektor informal atau perorangan, pesertanya masih di bawah satu juta orang.

Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini  realitas warga yang tak terjangkau oleh layanan kesehatan dokter maupun rumah sakit masih sangat banyak  dan hal ini akibat tidak adanya jaminan sosial terutama jaminan kesehatan yang belum menjangkau seluruh masyarakat.  Sebagian rakyat di negeri ini tak kunjung mendapatkan kesejahteraan seperti apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa.

Belajar dari Negara Lain  

Advertisement

Tidak ingin ada rakyatnya yang mati sia sia, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat, negara kapitalis utama di dunia, rela membatalkan perjalanannya ke Indonesia Maret 2010 lalu, dan memilih bersama rakyatnya guna meyakinkan parlemen pentingnya jaminan sosial di negera tersebut.

Sejumlah pihak menuding, pemerintah dinilai lambat membuat perangkat jaminan sosial bagi rakyat Indonesia. Padahal, di negara maju seperti Jerman, Perancis dan Amerika Serikat, jaminan sosial telah dibuat sejak awal abad 20, ketika negara tersebut sedang dililit masalah ekonomi. Bahkan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Singapura, telah menjalankan prinsip jaminan sosial yang jauh lebih paripurna.
Indonesia seharusnya dapat belajar dari negara lain, karena ketertinggalannya dalam menyelenggakan program jaminan sosial.

Sebuah potret nyata yang sering kita saksikan bahwa sebagian  rakyat Indonesia belum terlindungi program jaminan sosial yang layak bahkan sangat jauh dari kebutuhan dasar. Kini saatnya cakupan kepesertaan, manfaat maupun jenis program jaminan sosial agar ditingkatkan dan diperluas seperti program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Kematian (JKM).

Di samping itu saatnya pula melakukan perbaikan pada penyelenggaraan program yang kini tengah berjalan, sehingga kelangsungan program lebih terjamin. Kemudian, kemampuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang ada sudah sewajarnya ditingkatkan guna mengantisipasi perkembangan program jaminan sosial. Semua itu memang harus dilaksanakan secara bertahap, sesuai kelayakan program.

Penerapan SJSN, meskipun telah diamanatkan undang-undang sejak 2004, tapi hingga kini tak kunjung terealisasi. Padahal rakyat dalam kondisi kritis dan darurat sudah kehausan atas jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, dan kematian.

Berbeda dengan Amerika Serikat yang baru saja memiliki UU melaksanakan jaminan kesehatan dan jaminan sosial bagi seluruh warganya, Indonesia sudah memiliki UU tersebut sejak 2004! Melalui UU No 40/2004 tentang SJSN, yang menawarkan suatu sistem jaminan sosial menyeluruh bagi seluruh penduduk Indonesia.

Advertisement

Tidak usah memandang ke barat, ngara serumpun Malaysia berkembang jauh lebih awal bahkan untuk ukuran Asia Tenggara. Tahun 1951 Malaysia memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri wajib mengikuti program ini.
Malaysia juga membangun sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Dikarenakan seluruh rakyat sudah mendapat jaminan pelayanan kesehatan gratis, maka jaminan kesehatan tidak masuk dalam sistem jaminan sosial di Malaysia.

Filipina bahkan lebih mendahului.  Pengembangan program jaminan sosial di negara ini sudah dimulai sejak 1948. Tahun 1992 semua pekerja informal sudah wajib ikut program jaminan sosial, dan di tahun 1993 pembantu rumah tangga juga diwajibkan mengikuti program jaminan sosial, yang disebut social security system (SSS) dan dikelola oleh suatu badan di bawah Departemen Keuangan. Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari anggkatan kerja, termasuk di antaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal.

Sementara itu, seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia, Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi kesehatan wajib di tahun 1976. Pada saat ini seluruh penduduk Korea Selatan sudah mendapat jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Jaminan kesehatan memang sering jadi pintu masuk jaminan sosial untuk semua.

Selama ini memang sudah bagus perbaikan dan terobosan yang dilakukan Jamsostek. Namun masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk memberikan manfaat kepada para peserta. Salah satu hal sederhana namun urgent adalah pembuatan layanan hotline Jamsostek. dengan adanya hotline, peserta akan lebih mudah mencari tahu dan mendapatkan informasi layanan Jamsostek.

Hal yang bisa dilakukan adalah dengan memperpendek birokrasi dan administrasi demi efektifnya layanan dengan memaksimalkan layanan online. Selain memberikan informasi seputaran program dan regulasi, situs online Jamsotek bisa dimaksimalkan untuk memberikan validasi. Sebagai contoh, seharusnya untuk memeriksakan mata atau mendapatkan penggantian kacamata, peserta Jamsostek bisa langsung ke dokter mata, sama seperti memeriksakan gigi  bisa langsung ke dokter gigi yang bekerja sama dengan JPK.

Akan lebih bagus lagi jika pasien bisa langsung membeli kacamata ke toko optik yang bekerja sama dengan JPK dari resep dokter mata dengan cara memvalidasi melalui sistem online seperti kartu atau SMS, di mana banyak digunakan berbagai asuransi swasta lainnya. Prosedur JPK bisa dipersingkat untuk memberikan fasilitas kesehatan yang lebih baik kepada masyarakat.

Jika layanan telah dibangun secara efektif bukan tidak mungkin para peserta Jamsotek lebih merasa nyaman dan tenang. Mereka akan dengan sukacita mengeluarkan iuran untuk Jamsostek.  Bahkan tidak mungkin mereka pun akan menyebarkan kebaikan-kebaikan Jamsostek kepada para calon-calon peserta lain atau dengan kata lain sosialisasi mouth to mouth yang efektif.

Jika pola seperti ini telah terbangun, untuk meningkatkan pemasukan dan memperbesar investasi bukan hal yang sulit lagi bagi Jamsostek. Bisa dibayangkan jika 80% saja penduduk Indonesia yang telah hampir mencapai 250 juta jiwa ini ikut menjadi peserta Jamsostek, betapa besar investasi yang akan diraup dan dikembangkan Jamsostek nantinya.  Mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam naungan Jamsostek akan segera terwujud nyata. Sebab,  no lasting peace without social justice, no social justice without social security, tidak ada kedamaian abadi tanpa keadilan sosial, tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial”…

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif