Lifestyle
Senin, 15 Oktober 2012 - 02:26 WIB

Belasan Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara Bikin Batik

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Motif batik (Foto: Tri Rahayu/JIBI/SOLOPOS)

Motif batik (Foto: Tri Rahayu/JIBI/SOLOPOS)

Motif batik (Foto: Tri Rahayu/JIBI/SOLOPOS)
Advertisement

SOLO–Sepintas mereka seperti remaja normal. Namun saat berkomunikasi baru mengetahui bila mereka tak mampu bicara verbal. Belasan anak tuna rungu dan tuna wicara itu berkumpul di Gedung Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI), Jumat (12/10/2012) sore.

Pertemuan itu merupakan pertemuan ke-16 yang juga kali terakhir bersama para dosen pengajar ISI Solo. Meskipun indera mereka tak lengkap, namun mereka mampu menghasilkan karya kreatif yang patut dicontoh. Ya, mereka membikin berbagai motif batik yang mungkin belum dimiliki para pengrajin batik, dari motif binatang sampai motif tumbuhan.

Beberapa motif yang apik itu antara lain motif ikan, motif kombinasi bunga dan sayap burung, motif pecah, motif bali, motif padi, motif bambu dan seterusnya. Mereka rata-rata lulusan SMA sederajat. Ada yang sudah bekerja, ada pula yang belum bekerja. Ada juga dua pasang suami istri tuna rungu yang ikut dalam pelatihan itu.

Advertisement

“Pertemuan ini berlangsung setiap Jumat. Semula ada 20 orang, tapi belakangan berkurang menjadi 15 orang. Pertemuannya ya setiap sore begini, biasanya mulai pukul 15.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB,” ujar seorang pengajar di fakultas setempat, Veronika Krestanti Putri, saat dijumpai Espos, di sela-sela pewarnaan hasil karya pemuda tuna rungu dan tuna wicara itu.

Pada awalnya, Veronika bersama Basnendar, pengajar ISI lainnya, cukup kesulitan saat memberi materi tentang batik. Mereka tak mampu menggunakan bahasa isyarat. Namun lama kelamaan mereka pun bisa berinteraksi dengan bahasa isyarat semampunya yang dibantu dengan media gambar atau bahasa visual lainnya. Praktik membatik memang menjadi pilihan bagi Veronika dan Basnendar karena materi yang disampaikan tak banyak menggunakan bahasa lisan.

Basnendar berharap dengan pemberian bekal ketrapilan ini para penderita tuna rungu dan tuna wicara itu bisa mandiri dan bisa berwirausaha sendiri. Belasan peserta itu tak hanya berasal dari Solo, tapi juga ada yang dari Wonosobo dan daerah lain di luar Solo. “Kami semua hanya memberi contoh dalam hand out. Tapi mereka justru memiliki kreasi sendiri. Ya, kami mengikuti kreasi mereka dan mengarahkan mereka selama proses pembuatannya,” tambah Basnendar.

Advertisement

Prosesnya cukup panjang, mulai membuat motif dengan menggunakan pensil sampai pewarnaan. Mereka juga belajar menggunakan canting. Rata-rata mereka kesulitan dalam belajar mencanting ini karena belum terbiasa. Dari belasan pemuda itu, hanya Dian Primadyka, yang dinilai cukup mahir dalam membatik. Ia membuat batik motif sarung dengan pewarnaan yang hampir sempurna. Ia tak hanya sekali membuat batik, tapi kini menjadi desainer batik di perusahaan batik di Kampung Laweyan, Solo.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif