News
Senin, 24 September 2012 - 18:13 WIB

FENOMENA JOKOWI: Manfaatkan Momentum Pemerintahan Baru, Jakarta Diusulkan Jadi Contoh Pemberantasan Korupsi

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

JAKARTA – Provinsi DKI Jakarta diusulkan jadi proyek percontohan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia menyusul akan terbentuknya pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Gubenur Joko Widodo.
Advertisement

Usulan itu disampaikan Wakil Ketua MPR, Ahmad Farhan Hamid dalam acara Dialog Pilar Negara bertema Penegakan Hukum Terhadap Koruptor di Gedung MPR, Senin (24/9/2012). Menurutnya, kalau proyek percontohan itu berhasil dan Jakarta tampil sebagai pemerintahan yang bersih dari korupsi nantinya, maka langkah itu akan bisa diikuti daerah lainnya.

“Dengan percontohan ini, semua dukungan harus diberikan seperti sumber daya manusia, anggaran, dan sebagainya. Kalau ini berhasil akan diikuti dengan provinsi-provinsi lainnya,” kata Farhan dalam diskusi mingguan tersebut. Dia menambahkan dengan dilantiknya Joko Widodo (Jokowi) sebagai gubernur baru nantinya, dia bisa langsung mengadakan pertemuan dengan kejaksaan dan kepolisian untuk membahas masalah tersebut.

Farhan menyatakan upaya penegakan hukum saja ternyata tidak cukup untuk memberantas korupsi sehingga perlu dilakukan terobosan baru dengan membuat daerah percontohan tersebut. Setelah satu provinsi dijadikan percontohan, katanya, pada tahap berikutnya bisa dilanjutkan dengan lima sampai enam provinsi berikutnya. Menurut Farhan, pemberantasan korupsi sudah dijalankan sejak pada masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi dengan nama lembaga yang berbeda-beda. Bahkan MPR mengeluarkan Ketetapan tentang pemberantasan KKN (Tap MPR No XI/MPR/1998).

Advertisement

“Namun semuanya tidak beres,” ujarnya. Dia menyebutkan salah satu penyebab tidak beres itu terlihat ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian seolah-olah berjalan sendiri-sendiri. “Korupsi sepertinya sudah menjadi budaya bangsa,” ujarnya. Turut berbicara dalam disksui itu selain Farhan, Ketua Komisi III DPR, I Gde Pasek Suardika dan pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi.

Ketua Komisi III DPR, I Gde Pasek Suardika mengatakan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan dengan pola-pola reaksioner. Pola seperti penyadapan dan penangkapan tidak bisa menyentuh kasus-kasus besar, katanya. “Desain pemberantasan korupsi itu hanya sadap dan tangkap. Ini hanya untuk menghibur saja. Ada skandal korupsi yang nilainya triliunan rupiah yang tak tersentuh seperti di sektor minyak dan gas,” katanya.

Pasek memberi catatan bahwa korupsi banyak terjadi di penyelenggara negara. Korupsi disebabkan tiga hal yaitu adanya kewenangan, kesempatan, dan niat, katanya. “Selama masih ada tiga hal itu maka korupsi akan tetap ada. Karena itu kewenangan harus diatur secara jelas, dan perlu pengawasan untuk meminimalisir kesempatan,” katanya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif