Jogja
Rabu, 19 September 2012 - 11:25 WIB

Udara Segar Pun Sulit Didapat di Cangkringan Sleman

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/dok)

ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/dok)

Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada anak di Cangkringan, Sleman pada 2012 meningkat hampir 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Debu Merapi dan asap truk pengangkut pasir serta ketiadaan masker diduga menjadi penyebab utama peningkatan penyakit tersebut.

Advertisement

Udara segar sudah menjadi barang mewah yang hanya bisa dirasakan sesaat oleh sebagian warga Lereng Merapi. Bagaimana tidak jika setiap hari, nafas mereka tercampur asap knalpot truk pengangkut pasir yang terbang bebas bersamaan dengan debu-debu pasir Merapi lalu hinggap di teras rumah warga dan dihirup hidung untuk memenuhi rongga paru-paru mereka.

Adalah Sumiyati, 33, salah satu warga Glagaharjo, Cangkringan, yang sudah bosan mengeluhkan debu yang dengan mudahnya masuk ke rumahnya. Semenjak normalisasi sungai Gendol diberlakukan, lanjutnya, truk-truk pengangkut pasir yang bersliweran tidak hanya merusak jalan di wilayahnya tapi juga menghasillkan debu yang membuat mata pedas hingga mengganggu pernafasan. “Dulu sewaktu masih banyak bantuan, masker dibagikan gratis, namun sekarang mungkin banyak yang sudah menganggap kondisi di sini sudah pulih jadi tidak ada lagi masker,” terang ibu dua anak ini kepada Harian Jogja, belum lama ini. Padahal, debu yang terbawa dari truk pengangkut pasir justru memperburuk kondisi wilayah setempat.

Advertisement

Adalah Sumiyati, 33, salah satu warga Glagaharjo, Cangkringan, yang sudah bosan mengeluhkan debu yang dengan mudahnya masuk ke rumahnya. Semenjak normalisasi sungai Gendol diberlakukan, lanjutnya, truk-truk pengangkut pasir yang bersliweran tidak hanya merusak jalan di wilayahnya tapi juga menghasillkan debu yang membuat mata pedas hingga mengganggu pernafasan. “Dulu sewaktu masih banyak bantuan, masker dibagikan gratis, namun sekarang mungkin banyak yang sudah menganggap kondisi di sini sudah pulih jadi tidak ada lagi masker,” terang ibu dua anak ini kepada Harian Jogja, belum lama ini. Padahal, debu yang terbawa dari truk pengangkut pasir justru memperburuk kondisi wilayah setempat.

Jika diharuskan menyediakan masker secara swadaya, ia mengaku keberatan karena keterbatasan dana sehingga usahanya sejauh ini hanyalah menyiram jalan depan rumahnya dengan air untuk mengurangi debu yang terbang walaupun hanya sementara.

Sumi pun tidak tenang membiarkan anaknya bermain terlalu lama di luar rumah. “Takut sakit karena terlalu sering kena debu,” imbuh dia.

Advertisement

Senada diungkapkan, Maryanto, 38, warga Argomulyo, Cangkringan. Anaknya terkena ISPA sampai dua kali dalam tempo tiga bulan. “Ya saya periksakan ke puskesmas, tapi tetap saja penyakit itu membuat anak jadi tidak masuk sekolah,” ujarnya.

Menurutnya, pemakaian masker memang membantu hanya saja warga pasti kesulitan jika harus menyediakan sendiri.

Berdebu

Advertisement

Berdasarkan data yang dihimpun dari Puskesmas Cangkringan, penderita ISPA rentang usia 0 sampai 19 tahun sepanjang 2011 sebanyak 1.658 anak, dengan rata-rata pasien per bulan sejumlah 138. Adapun, periode Februari sampai Agustus 2012 pasien di bawah usia 19 tahun berjumlah 1.142 dan jika dirata-rata setiap bulan setidaknya terdapat 163 pasien anak.

Kepala Puskesmas Cangkringan, Maryadi mengatakan kemarau berkepanjangan mengakibatkan kondisi Cangkringan pasca erupsi Merapi 2010 semakin berdebu. “Banyak truk pengangkut pasir yang melintasi kawasan ini tidak dipungkiri berdampak pada penurunan kesehatan masyarakat setempat, baik dari polusi maupun debu,” ujarnya akhir pekan lalu.

Penggunaan masker, diakui Maryadi merupakan cara ampuh untuk menekan laju ISPA, namun kondisi telah berubah. Puskesmas, lanjutnya, memiliki keterbatasan dalam penyediaan masker untuk seluruh masyarakat.

Advertisement

Ia mengaku telah berusaha mengantisipasi penyebaran ISPA dengan membudayakan kebersihan bagi anak sekolah, misal mencuci tangan, tidak jajan sembarangan.

Terpisah, dokter spesialis anak, Ade Febrina Lestari, menuturkan, pada dasarnya ISPA bisa disebabkan mikroorganisme dan non mikroorganisme. Sebagian besar penyakit ini, sebutnya, memang disebabkan virus, namun tidak menutup kemungkinan terjadi karena debu, polusi, dan sebagainya.

Terlebih, di daerah pasca bencana dengan kondisi yang belum sepenuhnya teratur seperti sedia kala. Diuraikannya, gejala ISPA, sebagai berikut, demam, batuk, pilek, radang tenggorokan, konjungtivitas, badan pegal, dan pusing.

Ade memaparkan proses tubuh terjangkit ISPA karena debu, antara lain, debu berupa partikel masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan dan jika tidak bisa dikeluarkan tubuh menjadi hiperaktif.

“Lendir saat pilek atau batuk menjadi salah satu contoh mekanisme tubuh mengeluarkan debu,” tukasnya.. Pemulihan dari penyakit ISPA, biasanya sekitar lima sampai tujuh hari.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif