Kolom
Senin, 10 September 2012 - 10:49 WIB

GAGASAN: Matah Ati dan Perempuan Mangkunegaran

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe, Mahasiswa Pascasarjana Sejarah FIB UGM. (FOTO/Istimewa)

Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe, Mahasiswa Pascasarjana Sejarah FIB UGM. (FOTO/Istimewa)

“Perempuan ialah pria yang tak lengkap,” begitu kata Aristoteles (384-322 SM) suatu ketika. Kalimat lawas tersebut kerap bikin kaum Hawa sewot dan kuping memerah. Karena selama ini, secara fisik dan psikologis, perempuan dianggap lemah, emosional, pasif dan tidak mandiri. Mereka dikategorikan sebagai makhluk yang pantas diserahi tugas —kalau sudah kawin— mengurus rumah tangga. Pada dirinya hanya terdapat peran reproduksi, yakni mengandung, melahirkan dan membesarkan sang buah hati. Pandangan yang seakan menjadi “kebenaran tunggal” di muka bumi ini segera luruh dan tak laku bagi Praja Mangkunegaran tempo doeloe apabila dibentangkan sejarah panjang Mangkunegaran.

Advertisement

Disadari atau tidak, di masa lampau perempuan banyak menghiasi kronik-kronik Mangkunegaran. Artinya, sejarah tidak hanya diciptakan dan mengkultuskan para lelaki seperti fakta umum di Keraton Kasunanan yang dalam catatan historisnya lebih didominasi kaum Adam (Paku Buwana III, Paku Buwana IV, Paku Buwana VI dan Paku Buwana X). Di lingkungan Kerajaan Kasunanan yang feodalistik ini, nasib perempuan hanya beku dalam ingatan dan sirna seiring alam kian menua. Pena pujangga nyaris tidak terseret untuk menuliskannya. Apes, sejarah memang tidak berpihak kepada mereka.

Kali ini, sejarawan lokal dibuat tergagap oleh gagasan Atilah Soeryadijaya yang menghadirkan hiburan Matah Ati di Pamedan (8-10/9) dengan melibatkan 250 penari. Atilah yang juga masih terhitung keturunan Mangkunegara VII ini mengusung kisah Rubiyah dan Pangeran Sambernyawa yang dimabuk asmara, serta cerita gejolak pemberontakan raja melawan tentara VOC. Lewat pertunjukan tari kolosal itu, Atilah ingin mengatakan kepada publik bahwa Rubiyah bukanlah perempuan sembarangan dan jangan dipandang sepele dalam historiografi Mangkunegaran. Kerja Atilah membuahkan kesadaran bagi sejarawan dan seniman untuk rajin menyelami dunia perempuan di Mangkunegaran, misalnya prajurit estri.

Advertisement

Kali ini, sejarawan lokal dibuat tergagap oleh gagasan Atilah Soeryadijaya yang menghadirkan hiburan Matah Ati di Pamedan (8-10/9) dengan melibatkan 250 penari. Atilah yang juga masih terhitung keturunan Mangkunegara VII ini mengusung kisah Rubiyah dan Pangeran Sambernyawa yang dimabuk asmara, serta cerita gejolak pemberontakan raja melawan tentara VOC. Lewat pertunjukan tari kolosal itu, Atilah ingin mengatakan kepada publik bahwa Rubiyah bukanlah perempuan sembarangan dan jangan dipandang sepele dalam historiografi Mangkunegaran. Kerja Atilah membuahkan kesadaran bagi sejarawan dan seniman untuk rajin menyelami dunia perempuan di Mangkunegaran, misalnya prajurit estri.

Prajurit estri

Sebelum Mangkunegaran mampu menggetarkan jagad militer Jawa dengan kekuatan pasukan modern legiun, di sana telah hadir korps prajurit estri yang merupakan warisan dari Sultan Agung. Rombongan perempuan yang berjumlah 30 orang ini didapuk sebagai pengawal raja dan punya keahlian perang yang mengagumkan seperti memainkan tombak, pedang dan tulup. Aan Kumar (2008), menjelaskan bahwa tak cukup bermodal kepandaian saja untuk mendaftarkan diri jadi prajurit estri, tetapi harus berparas cantik pula. Jangan salah sangka, gusti tidak silau terhadap keayuan itu. Penghuni Pura Mangkunegaran begitu menghormati profesi perempuan pengawal ini. Mereka juga dianggap lebih beruntung ketimbang selir dan ditakuti oleh para suami, sekeping fakta ganjil alias menyimpang dari keumuman kehidupan orang Jawa.

Advertisement

Sepotong cerita prajurit estri ini jelas mematahkan persepsi umum di dunia Barat yang meneropong perempuan Asia sebagai kaum yang dikekang, dibatasi, feminin, gampang menyerah. Dan, tidak sepenuhnya benar bahwa wanita terkenal sebagai figur ibu di dapur atau kanca wingking.

Dunia seni

Sementara di dunia kesenian Mangkunegaran, terekam abadi nama Nyai Madusari. Ungkapan bahwa wanita yang dikurung di dalam istana akan kerdil pola pikirnya, bisa dibantah dalam konteks biografi Madusari. Perempuan kelahiran Wonogiri pada 30 April 1909 ini mempunyai daya dobrak yang luar biasa terhadap nilai-nilai feodalisme yang sering tidak mengizinkan kaum perempuan berunjuk kreasi.

Advertisement

Melalui kesenian, Madusari menembus tembok keraton yang kekar. Juga tidak “kabotan gelung” dan lena termanjakan harta benda pemberian Mangkunegara VII. Semasa muda, ia jatuh hati menekuni uyon-uyon karawitan dan langen beksan. Titik puncak dari proses berolah seni adalah cengkok pesinden gaya nyai bei, yang kondang di kalangan seniman karawitan Jawa gaya Surakarta. Bukan hanya itu saja, satu terobosan penting yang dipelopori Madusari ialah membuat pedoman secara tertulis bagi para pesinden yang kepingin belajar wangsalancakepansindenanrujak, yang selanjutnya dibukukan dalam Kandha Sanyata.

Sedangkan dari dunia sastra, tercatat nama Partini, putri Mangkunegara VII. Cita-cita sebagai penulis terpacak dalam angan Partini sedari belia, lantaran terinsiprasi karangan kakek buyutnya, Mangkunegara IV, antara lain Serat Wedhatama, Serat Rerepan, Wira Wiyata dan Tripama. Ingat, kala itu perempuan berkhayal menjadi sastrawati merupakan sesuatu yang tidak lumrah. Wajar jika Partini harus berhadap-hadapan dengan ayahandanya karena tidak diperbolehkan menggapai mimpi itu.

Entah dorongan apa, akhirnya Partini memberanikan diri menyusun beberapa tulisannya menjadi sebuah roman De Javaansche Meisye Widyawati, yang terbit di Belanda tahun 1948. Setahun kemudian, Balai Pustaka menerbitkan dalam edisi bahasa Indonesia bertitel Widyawati. Tahun 1982, buku itu dicetak empat kali. Buah pena Partini tersebut digemari dan laris bak kacang goreng. Dari tangan dinginnya, bermunculan karya Tanjung Biru, Ande-ande Lumut, Hasta Cerita, dan Sepasar Satu Malam.

Advertisement

Ya, pertunjukan Matah Ati tidak hanya menghibur publik semata, namun juga mengundang kepedulian kita menggali tokoh-tokoh wanita yang tergelincir dalam karya pujangga. Demikianlah kisah perempuan-perempuan tangguh dalam lintasan sejarah Praja Mangkunegaran. Khususnya Nyai Madusari dan Partini merupakan bukti sedikit dari sekian perempuan Jawa yang sukses menggugat persepsi klasik: “jiwa perempuan yang terselubungi pakaian adat dan konvensi keraton Jawa itu linglung.” Perempuan, menjadi salah satu aspek pembeda antara Mangkunegaran dengan Keraton Kasunanan

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif