Angkringan
Minggu, 26 Agustus 2012 - 09:57 WIB

ANGKRINGAN: Manajemen Arus Mudik

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Jakarta ternyata tidak butuh Gubernur untuk mengatasi macet. Jakarta butuh Lebaran!” Itu adalah kalimat kiriman teman yang mampir di peranti genggam saya menjelang Hari Raya Idulfitri lalu.

Kalimat itu paling nyantol di kepala, karena belakangan ini kita paling banyak dicekoki seputar kampanye kandidat Gubernur yang selalu menyebutkan sejumlah problem utama yang dihadapi Ibukota, antara lain kemacetan lalulintas.

Advertisement

Di setiap Lebaran, jalanan di Jakarta menjadi lengang, menurut berbagai laporan media. Sayangnya, saya tidak mengalami nikmatnya berkendara di tengah kelengangan lalulintas Jakarta, karena harus “joint the crowd”: pulang kampung menengok orang tua.

Beruntunglah, perjalanan mudik saya relatif lancar, tidak semacet para mudikers lain yang meninggalkan Jakarta pada saat puncak arus mudik sekitar tanggal 17-18 Agustus silam.

Betapa tidak. Para mudikers yang meninggalkan Jakarta pada 17 Agustus siang terjebak “kemacetan terparah sepanjang sejarah” di jalur utama pantai utara Jawa, yang terkenal dengan sebutan jalur Pantura itu.

Advertisement

Berbagai informasi yang saya terima dari pengguna jalur Pantura, waktu tempuh jalur Cikampek-Cirebon saat itu bahkan lebih dari 24 jam. Padahal, waktu tempuh normal jalur Cikampek-Cirebon itu seharusnya hanya sekitar 2-3 jam.

Bandingkan pula dengan waktu tempuh Jakarta-Solo yang semestinya hanya berkisar 12-15 jam, saat puncak mudik lebaran pekan lalu butuh lebih dari 50 jam atau tiga hari dua malam!

Kali ini, beruntunglah warga Jakarta yang tidak punya kampung di Jawa atau di Sumatra, karena bisa menikmati lalulintas yang superlancar.

Advertisement

***

Dari sekian banyak faktor, para ahli sering menyebut dua isu pokok yang berkaitan erat dengan kemacetan lalulintas yakni volume kendaraan dan ketersediaan infrastruktur jalan raya.

Maka, kebanyakan solusi yang selalu dikemukakan adalah menahan pertambahan jumlah kendaraan yang melintas di ruas jalan tertentu dan menambah ruas atau lebar jalan.

Solusi itu masuk akal karena menyangkut pengaturan pasok dan permintaan atau supply and demand.

Karena itu, di Jakarta solusinya membangun ruas jalan baru atau jalan layang untuk mengatasi kemacetan. Di jalur Pantura, saat ini juga sedang diupayakan pembangunan jalan tol Cikampek-Palimanan, yang dipercayai akan meAmperlancar arus lalulintas, terutama saat mudik Lebaran.

Tetapi satu isu yang terlupakan, yakni manajemen trafik. Percaya atau tidak, isu manajemen trafik ini nyaris diabaikan.

Dalam kasus mudik Lebaran, misalnya, tidak terlihat adanya koordinasi yang kuat antara Polisi Lalulintas di satu wilayah dengan wilayah yang lain, dan antara Dinas Lalulintas di satu kota dengan kota yang lain untuk mengatur trafik para mudikers. Padahal, ada Menteri Perhubungan maupun Kapolri yang sibuk memantau arus mudik lewat helikopter.

Justru yang terjadi, pada Jumat, 17 Agustus silam, para mudikers yang melewati Jalur Pantura justru “dibiarkan merambah” seluruh jalur ruas Cikampek- Cirebon. Maka, praktis jalur tertentu Cikampek-Cirebon menjadi satu arah.

Bagaimana tidak macet. Keenam jalur jalan, tiga jalur dari Cikampek ke Cirebon, dan tiga jalur dari Cirebon dan Cikampek, dipakai pengguna jalan ke arah Cirebon.

Tentu Anda bisa membayangkan, arus lalulintas dari Cikampek bertemu kendaraan dari arah Cirebon yang hendak menuju Jakarta, sehingga “bertemu muka” dan stagnan. Hasilnya: macet total!

Seorang pengguna jalan yang hendak memutar balik ke Jakarta dan ingin mengurungkan rencana mudiknya, karena sudah terlalu capai karena kelamaan macet, menuturkan kisah sedihnya: “Bagaimana mau mutar balik? Seluruh jalan ke arah Jakarta dipenuhi mobil ke arah Jawa, dan macet!”

Ini tragedi. Kemacetan bukan karena semata-mata disebabkan ketimpangan pasok-permintaan, melainkan oleh kekonyolan pengguna jalan yang tidak disiplin.

Bukan itu saja, terlebih lagi kekonyolan petugas lalulintas yang tidak sanggup bernalar jernih dalam mengatur trafik; menegakkan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Kekonyolan petugas yang tidak tegas mengatur mana “do’s” dan mana “dont’s”.

 

Dewan Redaksi Harian Jogja

Arif Budisusilo

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif