News
Sabtu, 25 Agustus 2012 - 08:00 WIB

ASIA CALLING: Tradisi Mendandani Anak Perempuan Menjadi Laki-laki di Pakistan

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pernahkah Anda sangat ingin punya anak laki-laki tapi malah dapat anak perempuan? Lalu apa yang Anda lakukan?

Di beberapa wilayah Afghanistan dan Pakistan, jawabannya adalah dengan mendandani anak perempuan seperti laki-laki.

Advertisement

Tradisi tua ini disebut ‘Bacha Posh’. Anak-anak perempuan memakai baju laki-laki dan menikmati semua kebebasan yang dimiliki anak laki-laki dalam masyarakat. Mulai dari masuk sekolah khusus anak laki-laki hingga bisa berolah raga.

Lima anak berlarian sambil membawa senjata mainan dari kayu. Mereka sedang main tembak-tembakan. Rafiqa, 10 tahun, salah satunya.

Advertisement

Lima anak berlarian sambil membawa senjata mainan dari kayu. Mereka sedang main tembak-tembakan. Rafiqa, 10 tahun, salah satunya.

“Dulu saya akan marah kalau dipanggil anak perempuan. Saya akan mulai memukul dan berkelahi dengan mereka,” ujar Rafika.

Rafiqa sebenarnya adalah anak perempuan. Tapi ia bicara dengan lantang dan menatap mata lawan bicaranya, seperti yang biasa dilakukan anak laki-laki Pakistan.

Advertisement

Ia adalah seorang ‘bacha posh’ atau anak perempuan yang berpakaian laki-laki. Dan ia menyukainya.

“Saya biasanya pergi ke Pasar Barra bersama ayah dan membeli baju laki-laki untuk saya dan barang lain untuk saudara perempuan saya. Tidak ada yang bertanya pada anak perempuan apa yang mau mereka beli.”

Berdasarkan budaya Pashtun, anak laki-laki lebih berharga ketimbang anak perempuan. Ini terkait harga diri keluarga. Dan hanya anak laki-laki yang bisa mewarisi kekayaan ayahnya dan meneruskan nama keluarga.
Beberapa keluarga miskin mendandani anak perempuan mereka seperti laki-laki, sehingga anak-anak itu bisa dengan mudah bekerja di jalanan untuk menghidupi keluarganya.

Advertisement

Tapi ini ayah Rafiqa, Rahman Sayed, punya alasan sendiri. Saat ini ia punya sembilan anak perempuan dan ia ingin seorang anak lelaki.

“Beberapa orang mendandani anak perempuannya seperti laki-laki karena faktor kemiskinan. Tapi saya melakukannya karena tidak punya anak lelaki. Saya menganggap dia anak laki-laki dan ini membuat saya bahagia.”

Ada semacam kepercayaan, bila keluarga yang tidak punya anak laki-laki mendandani anak perempuannya seperti laki-laki, bisa membawa keberuntungan sehingga Tuhan pada akhirnya memberi mereka anak laki-laki.

Advertisement

Setelah enam tahun berpura-pura jadi anak laki-laki, Rafiqa kembali menjadi anak perempuan karena ayahnya takut ia tidak akan dilamar orang. Kini giliran adiknya Nasreens yang baru berusia 4 ½ tahun.

“Saya suka berpakian seperti anak laki-laki dan duduk bersama tamu lelaki di rumah. Ibu saya bilang saya akan bisa dapat adik laki-laki kalau saya berpakaian seperti ini.”

Biasanya seorang ‘bacha posh’ akan berpakaian seperti anak laki-laki sampai ia mencapai masa puber sekitar usia 17 atau 18 tahun. Setelah hidup seperti anak laki-laki selama bertahun tahun, sulit bagi Rafiqa untuk hidup seperti anak perempuan.

“Ini musim panas yang terik dan daerah kami mulai kesulitan air. Para lelaki dibolehkan berada di luar rumah sepanjang hari dan mereka tidak harus menghadapi masalah rumah tangga seperti halnya perempuan. Saya juga rindu sekolah.”

Tradisi ini sudah ada di Pakistan selama berabad-abad. Ini mungkin berawal saat orang-orang Pakistan harus berperang sehingga perempuan harus menyamar menjadi laki-laki.

Tapi bagi banyak orang, pertanyaan utamanya adalah apakah di masa mendatang anak perempuan Pakistan bisa mendapatkan kebebasan dan penghormatan seperti anak laki-laki?

Taj-ud-Din, seorang ahli budaya dan sejarah Pashtun telah bertahun-tahun menulis topik yang menentang tradisi ini.

“Mendandani anak perempuan seperti laki-laki adalah perbuatan konyol. Ini menunjukkan betapa rendahnya mentalitas Anda. Memperlihatkan pada dunia kalau kita jauh tertinggal dalam peradaban dunia ini, dimana laki-laki dan perempuan seharusnya punya hak yang sama dan diperlakukan setara,” tutur Taj-ud-Din.

“Tradisi ini berdampak pada pola pikir anak perempuan yang didandani itu. Menunjukkan pada mereka kalau laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Kita membuat hidup anak perempuan ini sengsara. Dan orangtua mereka sendiri yang melakukannya.”

Mudassar Shah
Asia Calling/Barra, Khyber Agency, Pakistan

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif