Kolom
Kamis, 23 Agustus 2012 - 08:22 WIB

Mudik dan Sejarah Keluarga

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo tempo doeloe Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada.

Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo tempo doeloe Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada.

Mudik adalah potret budaya khas kita berdasarkan tradisi lokal. Kalau tidak demikian, tentu seluruh Indonesia dan negara-negara Islam pada hari-hari ini sibuk dengan mudik internasional. Dalam buku Titipan Umar Kayam (2002), budayawan Umar Kayam menjelaskan mudik menjadi suatu keajekan yang berjalan selama berabad-abad.

Advertisement

Bagi mereka yang tidak punya tempat untuk ”pulang” tetap harus menghadirkan sebuah ruang. Minimal makam orangtua untuk diziarahi. Di kota, kuburan lazim setahun sekali menjadi ruang bertemu dengan sanak saudara. Reriungan terjadi antara mereka.

Bagi yang memiliki tempat mudik akan kembali ke ”markas asal” keluarga jaringan untuk menyatakan kesetiaan dan solidaritas kepada saudara di kampung. Warga garis keturunan yang tercerai oleh gerak perantauan, perkawinan dan perpindahan memendam romantika rasa rindu terhadap ”markas asal” jaringan keluarga. Mereka mementingkan lokalitas dan kangen situasi dan nilai-nilai yang tumbuh di dalamnya.

Advertisement

Bagi yang memiliki tempat mudik akan kembali ke ”markas asal” keluarga jaringan untuk menyatakan kesetiaan dan solidaritas kepada saudara di kampung. Warga garis keturunan yang tercerai oleh gerak perantauan, perkawinan dan perpindahan memendam romantika rasa rindu terhadap ”markas asal” jaringan keluarga. Mereka mementingkan lokalitas dan kangen situasi dan nilai-nilai yang tumbuh di dalamnya.

Jakob Sumardjo dalam Mencari Sukma Indonesia (2003) menerangkan semangat berkumpul yang membuncah di momentum Lebaran tak bisa dilepaskan dengan konsepsi dunia petani, budaya agraris. Bersawah jelas tidak dapat dilakukan secara individual atau dalam kelompok kecil yang terbatas.

Sawah perlu tenaga manusia yang besar. Makin banyak tenaga kerja makin bagus. Tenaga manusia yang besar ini dipakai untuk membuka hutan bagi persawahan, membangun saluran irigasi, melawan hama padi dan menjaga keamanan wilayah yang subur. Ringkas kata, keluarga petani tak mungkin hidup tanpa sawah dan kampung.

Advertisement

Dalam kosmologi Jawa, hidup ini suatu kesatuan antara orang-orang yang masih hidup, nenek moyang yang sudah meninggal dan alam kelanggengan. Jangan heran meski kuburan hanya berbentuk gundukan tanah namun dianggap penting bagi manusia Jawa.

Muncul sederet istilah tentangnya: kramatan, makaman, hastana, pasarean dan jaratan. Sebelum Ramadan dan Lebaran tiba, mereka menyempatkan diri nyekar ke makam leluhur. Andre Moller (2005) yang memotret aktivitas Ramadan di Jawa juga mengungkapkan bahwa tujuan mengunjungi kuburan pada Idul Fitri berdasarkan keinginan untuk dimaafkan anggota keluarga yang telah tiada.

Kebiasaan meminta maaf kepada keluarga dan handai taulan tidak terbatas pada yang masih hidup. Tradisi sungkeman atau permintaan maaf di hari yang suci itu merupakan kegiatan yang sangat emosional. Sering dijumpai orang menangis tersedu-sedu dan ini cukup mengagetkan bila dikaitkan dengan sikap orang Jawa pada umumnya yang tidak memperlihatkan perasaan apa saja yang dianggap keterlaluan di depan orang lain.

Advertisement

 

Memori

Ternyata ritual mudik selain dimaknai sebagai momentum melebur dosa juga dipakai untuk menguatkan memori tentang sejarah keluarga atau yang lebijh dikenal dengan sebutan trah. Kekurangan buku Kebudayaan Jawa (1982) karya Koentjaraningrat dan Keluarga Jawa (1983) buah pena Hildred Geertz adalah luput mengulas unsur trah dalam sistem kekerabatan Jawa. Padahal, trah jadi bagian tak terpisahkan dalam kelembagaan sosial masyarakat di Jawa.

Advertisement

Trah diartikan sebagai kumpulan resmi dan alur waris yang menghubungkan tokoh genealogis yang berderajat dan bermartabat tinggi sehingga terbentuk pohon silsilah. Guna ngumpulke balung pisah atau menyatukan seluruh keturunan dari seorang tokoh ke dalam ikatan historis agar hubungan sosial kian akrab dibentuklah paguyuban.

Sanak keluarga yang berada dalam satu garis keturunan tapi terpisah akibat faktor geografis dan kesibukan kerja dapat dieratkan kembali. Di Soloraya dan Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, lumrah kalau memori tentang keluarga terawat dalam batok kepala jalaran sering dituturulangkan. Di daerah bekas kerajaan Jawa ini, paguyuban trah sangat kuat dan banyak jumlahnya.

Keberadaan istana Kasunanan, Kasultanan, Paku Alaman, dan Mangkunegaran membawa dampak atas beragamnya kelompok sosial atau kelas di dalam masyarakat. Organisasi sosial orang Jawa berdasar garis keturunan itu lahir mengacu pada kelas itu. Antara lain, trah bangsawan berasal dari kelompok keluarga raja (sentana dalem), trah priayi berisikan para abdi dalem (pegawai keraton) dan trah wong cilik. Ada pula trah santri yang terbentuk atas dasar keagamaan.

Paguyuban ini umumnya diatur sedemikian rapi. Memiliki struktur pengurus, regulasi dan program kerja yang jelas. Adapun kegiatan untuk merekonstruksi ingatan historis tentang keluarga yakni arisan rutin, ziarah ke makam leluhur setiap Ruwah atau Syakban, halalboihalal setiap Syawal atau pengajian.

Kenangan silsilah keluarga kian mengekal dengan penulisan buku biografi dan mencetak kalender dihiasi foto leluhur lalu dibagikan kepada anggota trah. Aneka tindakan ini memang strategi jitu menjaga emosi anggota keluarga, memelihara ikatan persaudaraan dan juga bentuk politik melawan lupa.

Tidak hanya itu, silaturahmi keluarga besar tersebut bisa memekarkan kasih sayang dan kemauan saling menolong hingga bermuara pada terjaganya keutuhan trah. Seandainya tanpa paguyuban trah, tidak mustahil anak-cucu kepaten obor alias tidak tahu siapa saja sanak saudaranya.

Sulit dimungkiri, bagi orang Jawa sejarah keluarga menjelma menjadi kekuatan politik dan medium memperkuat bisnis keluarga. Tidak jarang demi melestarikan sejarah silsilah dan ekonomi keluarga agar tak beralih ke tangan orang lain yang tidak punya hubungan darah (liyan mbrayan) lantas dijalankan siasat perkawinan endogami alias perkawinan campuran dalam lingkup kekerabatan sendiri.

Bagaimanapun, di tengah kehidupan yang materalistik dan cenderung hedonis, jalinan persaudaraan dan ikatan kekerabatan semacam ini memang selayaknya dijaga dan dilestarikan. Rasa hormat dan darma bakti kepada leluhur sejatinya terus ditunjukkan bukan saja saat mereka masih hidup tetapi juga setelah wafat.

Ritus pulang kampung (=mudik) di Indonesia sepatutnya tidak hanya diisi dengan pamer kemewahan dan kesuksesaan di tanah rantau. Pulang kampung sebaiknya diikuti dengan pengisahan kembali pohon silsilah keluarga di sela acara reriungan dan melepas kangen kampung halaman tentunya. Mudik merupakan saat yang tepat untuk merekonstruksi sejarah keluarga. Sudahkah Anda menulis biografi sejarah keluarga?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif