Lifestyle
Selasa, 21 Agustus 2012 - 08:52 WIB

Mereka Bercerita Lewat Lukisan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agus Siswanto (Agusis) bersama lukisan-lukisannya di rumahnya, Kamis (16/8/2012). Agusis termasuk pelukis Solo yang sangat rajin berpameran. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Agus Siswanto (Agusis) bersama lukisan-lukisannya di rumahnya, Kamis (16/8/2012). Agusis termasuk pelukis Solo yang sangat rajin berpameran. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

“Dulu banyak orang yang menganggap ini bukan gambar,” kata Agus Siswanto atau Agusis, pelukis Solo yang dikenal dengan gaya naifismenya itu. Maklum, lukisannya memang tidak melulu menampilkan keindahan yang dicari sebagian orang.

Advertisement

Di rumahnya, Jl Nusa Indah IV, Madyotaman, Ketelan, Banjarsari, berderet lukisan-lukisan yang telah dihasilkannya beberapa bulan terakhir. Dari banyak lukisan kanvas tersebut, tidak ada satupun gambar panorama atau potret manusia. Sekilas lukisannya mirip dengan gambar buatan anak-anak, tapi ada cerita yang muncul susunan obyek-obyek itu. Ada gambaran detil bagaimana perajin batik memoles kain polos jadi batik, proses produksi di pabrik batik bahkan gambaran orang-orang yang berbondong-bondong belajar batik.

“Naifisme itu memang seperti kekanak-kanakan, lugu, jujur, apa adanya, enggak dipercantik. Biasanya memang menggunakan penyederhanaan bentuk,” katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (16/8) lalu. “Menggambarnya santai, kalau mletot dikit enggak ada beban karena mainnya di konsep.”

Advertisement

“Naifisme itu memang seperti kekanak-kanakan, lugu, jujur, apa adanya, enggak dipercantik. Biasanya memang menggunakan penyederhanaan bentuk,” katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (16/8) lalu. “Menggambarnya santai, kalau mletot dikit enggak ada beban karena mainnya di konsep.”

Aliran ini sebenarnya sudah populer di dunia, termasuk Indonesia sejak era 1990-an lalu. Terinspirasi dari karya beberapa maestro pelukis seperti Pablo Picasso dan Widayat sejak masih kuliah di ISI Solo, Agusis memang mantap menekuni naifisme sebagai pilihannya dalam berkarya. Menurutnya ini lebih menantang dari pada pembuatan lukisan realis yang pernah dibuatnya saat masih SMA.

Tantangan tersebut adalah bagaimana memasukkan cerita atau narasi ke dalam selembar kanvas. Di dalam setiap lukisan Agusis, pasti ada cerita yang diusung karena itulah kekuatan utamanya. Sebelum melukis, Agusis terlebih dulu harus menyiapkan konsepnya secara matang dan melalui berbagai riset. “Inilah yang sulit. Apa yang tidak ada di dunia, kita wujudkan.”

Advertisement

Untuk melukis batik, Agusis mempelajari berbagai motif batik dari berbagai daerah di Indonesia. Motif-motif itulah yang diadopsinya saat menggambarkan ibu-ibu yang sedang membatik atau para kepala negara yang pakai baju batik. Hasilnya, orang yang teliti bisa menemukan batik mana yang ada dalam lukisan Agusis. “Bagi saya ini seperti paper atau tesis, tapi dalam bentuk lukisan.”

 

Konsep

Advertisement

Konsep dan detil menjadi kekuatan utama beberapa pelukis dan membuatnya beda dengan lukisan yang dijual di jalanan. Hal ini pula yang dirasakan oleh Herri Soedjarwanto, pelukis Solo yang kini lebih dikenal dengan karyanya yang realis. Ada banyak pelukis realis di Indonesia. Yang berbeda, Herri selalu mengusung konsep dan detil di setiap karyanya.

“Biasanya orang melukis manusia itu sangat detil, tapi pemandangan malah tidak detil. Bagi saya lukisan landscape juga harus detil,” katanya saat ditemui di rumahnya, Jl Anggur VII, Jajar, Solo, Jumat (17/8) lalu.

Sebuah lukisan landscape yang baru saja selesai dibuat Herri di rumahnya menunjukkan kekuatan itu. Sekilas lukisan itu seperti gambaran keindahan panorama Bali biasa, dengan para wanita di tengah hamparan sawah, Gunung Agung di seberang, sungai kecil dan dua perempuan sedang di dapur mereka. Tapi sesungguhnya ada cerita yang terselip di dalamnya. “Gunung Agung seperti kiblat bagi orang Bali, semua obyek ini berkiblat ke sana. Ini ada orang-orang mengurus padi di sawah, kemudian ditumbuk dan dimasak mereka sendiri. Ayam-ayam ini juga ikut memakannya.”

Advertisement

Lukisan itu memang gambaran tentang pedesaan Bali, tapi sesungguhnya semua itu sudah tidak bisa lagi ditemui. Justru dengan lukisan itu, Herri ingin membangkitkan memori orang akan suasana Bali di era 1960-an yang kini hilang. Kesederhanaan dan keharmonisan Bali tempo dulu itu kini banyak dicari orang. “Saya tantang para fotografer, coba temukan pemandangan ini. Saya yakin tidak akan ketemu.”

Herri memang sudah terbiasa dengan konsep dan detil dalam lukisan-lukisan realisnya. Hal ini sudah diakui berkali-kali oleh para penikmat lukisannya, termasuk para petinggi pemerintahan semasa Orde Baru. Ceritanya saat itu Dullah (yang dikenal sebagai maestro realisme) hendak menggelar pameran di Jakarta. Karena Dullah hendak menampilkan lukisan tentang Bung Karno, pemerintah tidak setuju kecuali ada lukisan lain yang menggambarkan Pak Harto. “Pak Dullah pusing, akhirnya dia minta seluruh muridnya mengajukan konsep tentang lukisan Pak Harto, ternyata punya saya yang dipakai. Ini prestise buat saya.”

Konsep lukisan Pak Harto itu memang berbeda. Jika biasanya orang lebih banyak menggambarkan tokoh dalam posisi yang sangat formal, maka Herri menempatkan wajah Pak Harto dalam sebuah cerita. Dalam lukisan Herri, Pak Harto digambarkan sedang bersama anak-anak buahnya mempersiapkan Serangan Umum 1 Maret. Oleh Dullah, lukisan itulah yang dikirim untuk dipamerkan di Jakarta. Pihak Istana Negara pun senang dan lukisan itu menjadi satu-satunya lukisan yang mereka beli dalam pameran tersebut.

Lukisan hasil Agus Siswanto di rumahnya, Kamis (16/8/2012). (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif