Tokoh
Senin, 13 Agustus 2012 - 09:37 WIB

WYNNE PRAKUSYA: Hidup untuk Tenis

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wynne Prakusya (FOTO: Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

Wynne Prakusya (FOTO: Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

Begitu menginjakkan kaki di arena tenis Bengawan Sport Center Solo, Rabu (8/8) sore, memori masa kecil Wynne Prakusya kembali berseliweran.

Advertisement

Bagi Wynne, ruangan di samping kolam renang itu merupakan tempat bersejarah yang menjadi saksi perjuangannya. Jauh sebelum pindah ke Jakarta dan merintis karier sebagai pemain tenis profesional, perempuan berkulit putih itu menghabiskan masa kecilnya berlatih di tempat itu.

“Dulu di sini ada lima lapangan tapi sayang sekarang berkurang tinggal tiga lapangan, cukup menyedihkan juga. Saya latihan di sini ketika masih usia tujuh tahun sampai sembilan tahun,” ujarnya kepada Espos, sembari membandingkan kondisi tempat itu dengan yang dulu.

Advertisement

“Dulu di sini ada lima lapangan tapi sayang sekarang berkurang tinggal tiga lapangan, cukup menyedihkan juga. Saya latihan di sini ketika masih usia tujuh tahun sampai sembilan tahun,” ujarnya kepada Espos, sembari membandingkan kondisi tempat itu dengan yang dulu.

Kedatangan mantan pemain tenis nasional ini ke arena tenis Bengawan Sport Center tidak sendiri. Sore itu, ia membawa rombongan pemain tenis Singapura yang tergabung dalam klub UNI untuk berlatih tanding di sela-sela liburan ke Kota Bengawan. Dalam beberapa tahun ini, anak pasangan Pawana Prakusya dan Liliana Gunawan ini mencurahkan waktunya melatih klub tersebut. Menjadi pelatih tenis di Negeri Singa diakuinya terjadi tanpa sengaja.

Setelah memutuskan gantung raket pada 2006 lantaran cedera pinggang, Wynne memilih melanjutkan kuliah D3 Jurusan Bisnis Manajemen di Management Development Institute of Singapore (MDIS). Melanjutkan sekolah saat itu dipilihnya untuk mengobati kesedihannya.

Advertisement

Di Singapura, pamornya sebagai pemain profesional dengan prestasi cemerlang–salah satu yang paling moncer sebagai petenis peringkat 74 dunia–rupanya diketahui banyak orang. Setelah lulus kuliah, Wynne kerap didatangi orang yang ingin dilatih olehnya.

Dari situ, terbukalah ide untuk mendirikan sekolah tenis yang ia beri nama VVIP International. Nama itu merupakan gabungan dari huruf depan namanya–VV jika digabung berarti W– dan I nama depan saudara kandungnya Ivana. Sedangkan P berarti Prakusya. Saat ini, dia melatih sekitar 40 anak.

“Saya menetap di Singapura untuk beberapa tahun. Sekarang sibuk melatih, selain karena hobi, saya juga suka anak-anak,” ujarnya.

Advertisement

Istri Frans Erick yang April lalu baru dikaruniai momongan ini juga sibuk mengelola agen properti bersama saudaranya di Singapura. Di sela-sela waktunya, ia aktif memberikan pelayanan gereja.

Ditanya apakah ingin kembali lagi menekuni karier profesional sebagai pemain tenis, Wynne hanya menggeleng. Hanya saja, perempuan bertubuh atletis ini mengaku kerap dilanda rasa kangen bertemu sesama atlet tenis seperti pemain tenis Thailand, Tamarine dan petenis China, Li Na, serta beberapa pemain tenis lainnya.

“Mereka semua masih pada main, saya sering kangen mereka. Apalagi, dulu kami memang dekat,” ucapnya.

Advertisement

Kendati begitu, perempuan berusia 31 tahun ini mengaku bersyukur menjalani hidupnya. Justru, setelah tidak lagi terjun secara profesional, saat ini, ia bisa kembali ke Solo dalam waktu yang cukup lama. Padahal, ketika masih menjadi pemain profesional, hidupnya hanya untuk latihan, latihan dan latihan serta mengikuti berbagai turnamen.

“Atlet itu harus punya komitmen, disiplin, kerja keras dan rela berkorban. Hidupnya hanya untuk latihan dan turnamen, ketemu keluarga jarang. Dulu saya bertemu mama satu tahun sekali saja wis bejo. Sekarang, saya malah bisa liburan dua pekan di Solo, bisa kumpul keluarga,” ungkapnya.

Walau sudah lama meninggalkan tenis profesional, bukan berarti ia melupakan begitu saja dunia yang membesarkan namanya. Merosotnya prestasi tenis Indonesia menjadi bagian kegelisahannya saat ini. Ia mengaku geregetan melihat petenis Indonesia yang kurang memiliki kemauan untuk bermain lebih bagus lagi.

“Ada petenis yang berpikir kalau sudah peringkat 200-an sudah cukup. Padahal, saya dan Anggie (Angelique Widjaja) dulu getol mengejar prestasi dan peringkat,” imbuhnya.

Tapi di luar itu, tenis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Wynne. Banyak jejak memori yang ditinggalkan tenis. Ia pernah mengecap suka, duka dan tenis pula yang mengajarinya pengalaman hidup, mendewasakan cara berpikir sekaligus bagaimana menghadapi orang dan menjalani kehidupan.

Advertisement
Kata Kunci : Hidup Tenis Wynne Prakusya
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif