Kolom
Senin, 6 Agustus 2012 - 09:12 WIB

Menggugat Komitmen Presiden SBY

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mohammad Jamin, Dosen Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Mohammad Jamin, Dosen Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Adu kekuatan dalam perebutan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam menyelidiki kasus pengadaan simulator ujian memperoleh surat izin mengemudi (SIM) kian memanas, tidak sehat dan menjurus pada penghalalan segala cara. Sekalipun demikian, hal itu belum membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak terusik dan masih tetap adem ayem.

Advertisement

Bahkan Polri menantang tidak akan menghentikan  penyidikan sebelum ada keputusan pengadilan yang menyatakan institusi itu tidak berhak. Secara yuridis, perebutan kewenangan antarlembaga negara semacam  ini seharusnya diadili dan diputus Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, sesungguhnya penyelesaian oleh MK sebenarnya dapat dihindari jika masing-masing pihak kembali kepada aturan hukum normatif dan tidak memaksakan diri karena kepentingan tertentu.

Sekalipun sebelumnya KPK menggeledah Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri dan menyita sejumlah dokumen (meski sempat dihalang-halangi polisi yang bertugas di Korlantas),  pihak kepolisian juga ngotot akan mengusut kasus itu. Bahkan, setelah mengikuti jejak KPK menetapkan lima tersangka pada (1/8), Polri menyalip dengan langsung melakukan penahanan (yang di luar kebiasaannya). Ini adalah bagian dari tawar menawar. Sebagian besar barang bukti terlanjur disita KPK, kini giliran Polri yang ”menguasai” para tersangkanya.

Advertisement

Sekalipun sebelumnya KPK menggeledah Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri dan menyita sejumlah dokumen (meski sempat dihalang-halangi polisi yang bertugas di Korlantas),  pihak kepolisian juga ngotot akan mengusut kasus itu. Bahkan, setelah mengikuti jejak KPK menetapkan lima tersangka pada (1/8), Polri menyalip dengan langsung melakukan penahanan (yang di luar kebiasaannya). Ini adalah bagian dari tawar menawar. Sebagian besar barang bukti terlanjur disita KPK, kini giliran Polri yang ”menguasai” para tersangkanya.

KPK bersikeras tidak akan mundur dari penyidikan kasus ini meski sebagian besar tersangka ditahan polisi. Sesuai UU tentang KPK, penyidikan perkara yang sudah dimulai lembaga ini tidak bisa diganggu aparatur penegak hukum lain. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan KPK bertekad mengusut kasus ini sampai tuntas dan menyerahkan kepada pengadilan untuk memutuskannya.

Menanggapi sikap ngotot Polri, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala menyarankan agar Polri legawoamenyerahkan kasus simulator SIM ke KPK. Kasus itu harus ditangani KPK agar tidak terjadi konflik kepentingan  apalagi ada jenderal yang terlibat. Tapi, Polri justru berkilah mereka tidak tahu KPK sudah mulai menyidik.  Kabareskrim Polri Komjen Sutarman merasa tidak melihat ada instrumen hukum yang bisa menghentikan penyidikan perkara yang telah mereka tangani.

Advertisement

Perburuk Citra Polri

Penyidikan dan penetapan tersangka oleh Mabes Polri terhadap kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM secara yuridis adalah cacat hukum karena melanggar Pasal 50 UU No 30/2002 tentang KPK. Tiga dari lima tersangka baru yang ditetapkan oleh kepolisian sudah lebih dahulu dijadikan tersangka oleh KPK (1/8) dalam kasus yang sama. Jika Polri tetap menyidik kasus ini, Kejaksaan Agung bisa menolak berkas penyidikan kepolisian yang akan dilanjutkan ke penuntutan karena proses penyidikannya cacat hukum.

Pasal 50 ayat 3 UU No 30/2002 tentang KPK menyatakan dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Sedangkan Pasal 50 ayat (4) menyatakan dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Advertisement

Konsekuensinya penetapan tersangka oleh Polri tersebut cacat hukum. Pihak Polri tidak berwenang melakukan penyidikan kasus korupsi yang sudah diselidiki lebih dahulu oleh KPK. Justru sikap keras kepala dan pengingkaran (ignorance) terhadap UU tersebut  patut dicurigai sebagai bagian dari upaya Polri melokalisasi kasus korupsi dengan cara ”membajak” tersangka dan mempertahankan barang bukti dengan petugas yang nongkrongi dokumen di Kantor KPK.

Publik masih ingat betul betapa kasus rekening gendut jenderal polisi dan kasus beberapa jenderal dalam perkara Gayus Tambuan yang diredam oleh Mabes Polri karena tidak mungkin ”jeruk makan jeruk”. Bersikerasnya Polri menguatkan dugaan publik sebagai pola penyelamatan para petinggi mereka karena hampir mustahil jika hanya Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo yang bermain tanpa melibatkan jenderal-jenderal lainnya ataupun para perwira menengah lainnya.

Sudah bukan rahasia lagi jika aroma korupsi masih melekat di tubuh Polri, baik di tingkat bawah, tengah hingga di tingkat atas yang melibatkan sejumlah jenderal. Selama ini, praktik korupsi di institusi ini seolah tak tersentuh (untouchable) karena mereka yang berkuasa memainkan hukum.

Advertisement

Menggugat Presiden SBY

Apa pun argumentasi yang dikemukakan masing-masing pihak, kisruh antara KPK dan Polri dalam menentukan siapa yang berhak untuk menyidik kasus pengadaan simulator SIM harus segera diakhiri. Presiden SBY harus segera mengambil tindakan dengan cara menginstruksikan Kepala Polri untuk menyerahkan seluruh proses penyidikan ke KPK.

Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang, mengingat Polri berada di bawah Presiden. Jadi, perlu perintah Presiden SBY kepada Kapolri untuk menghentikan penyidikan kasus ini dan membantu KPK sepenuhnya. Tidak cukup SBY menyerahkan masalah ini kepada Menko Polhukam Djoko Suyanto yang kemudian hanya menggelar jumpa pers (SOLOPOS, 5/8) dengan mengimbau agar ”konflik” KPK dan Polri ini harus dicarikan solusi dan jangan terjadi benturan antarlembaga penegak hukum.

Sangat disayangkan hingga saat ini Presiden SBY belum secara langsung memberikan perhatian terkait dengan kisruh ”cicak vs buaya” jilid ke-2 ini. Kalau pun SBY memberi pernyataan, baru melalui juru bicara presiden yang mengatakan Presiden SBY tidak mau ikut campur dalam kasus ini. Dalihnya presiden membatasi diri (untuk tidak campur tangan) karena ini adalah ranah hukum. Juru bicara Presiden SBY berharap agar keduanya tidak saling berkompetisi dalam menyelesaikan kasus yang sama.

Dalih tidak mau intervensi dalam kasus ini amat lemah. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Presiden SBY dapat menggunakan kekuasaan dan kekuatannya memerintahkan Kapolri (sebagai bawahan dan bagian dari pemerintah) menyerahkan kasus ini ke KPK sesuai UU No30/2002 tentang KPK.

Diamnya SBY hanya menguatkan sinyalemen sikap peragu dan setengah hati SBY dalam memberantas korupsi dan ironis dengan gembar-gembor dalam kampanye pemilihan presiden yang konon akan berdiri paling depan memberantas kourpsi.

Sikap mendiamkan konflik KPK-Polri akan memunculkan citra buruk bagi Presiden SBY sendiri. Oleh karena itu seharusnya Presiden SBY berani dan segera angkat bicara untuk menyelesaikan polemik ini.

Jika Presiden SBY terus-menerus diam justru dapat diartikan dia melanggar undang-undang karena membiarkan Polri merebut kewenangan KPK yang diatur undang-udang. Setidaknya, itu untuk menebus kekeliruan Presiden SBY yang  justru ”intervensi” kepada penegakan hukum dengan memberi grasi kepada terpidana narkoba Schapelle Leigh Corby. Atau memang benar Presiden SBY sudah demikian parah?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif