Kolom
Selasa, 17 Juli 2012 - 08:52 WIB

Penghapusan Outsourcing dan Resistensi Korporasi

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Flo K Sapto W, Praktisi pemasaran, terlibat aktif dalam rekrutmen karyawan

Flo K Sapto W, Praktisi pemasaran, terlibat aktif dalam rekrutmen karyawan

Kamis (12/7) ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengadakan aksi demo di Istana Negara dengan tiga tuntutan yaitu  penghapusan sistem outsourcing, penghapusan sistem upah murah dan penolakan wacana 2 % dari 5 % asuransi kesehatan ditanggung oleh buruh. Di dalam demo tersebut para buruh memberikan tenggat kepada pemerintah untuk melaksanakan tuntutan tersebut pada 1 Januari 2014. Jika pemerintah tidak ada respons positif, demo lebih besar akan diadakan lagi sehabis lebaran.

Advertisement

Sebagian besar buruh tentu saja bersyukur atas upaya perbaikan nasib yang sedang diperjuangkan rekan-rekan mereka yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja. Namun ada sebagian buruh -terutama yang masih dalam status kontrak- yang mempunyai pandangan agak berbeda dengan mainstream yang diyakini para buruh. Perbedaan pandangan itu berkenaan dengan pengalaman yang selama ini dialami.

Renumerasi dan Potongan Gaji. Sejak pemberian UMR/UMK ditetapkan oleh pemerintah dan harus dilaksanakan para pengusaha, nasib buruh memang mengalami perbaikan. Namun di dalam prakteknya sebagian buruh justru merasakan sebuah situasi yang tidak nyaman. Berbagai kebijakan internal perusahaan justru kemudian membelenggu buruh sehingga kian terpojok. Misalnya dalam bentuk komposisi gaji yang dibulatkan sesuai UMR / UMK. Sepintas sistem renumerasi seperti ini mengindikasikan kepedulian perusahaan terhadap upah minimum. Sebab akan dianggap sebagai GP (gaji pokok) yang pada gilirannya akan bisa diharapkan dipakai juga sebagai perhitungan dalam memberikan THR. Namun pada kenyataannya buruh yang bersangkutan masa kerjanya tidak akan sampai pada penerimaan THR. Hal itu dikarenakan ada ketentuan-ketentuan lain yang akan mengkondisikan buruh yang bersangkutan sudah akan mengundurkan diri sebelum waktunya.

Ketentuan yang lain itu misalnya adalah potongan gaji yang dihitung berdasarkan pro rata dari jumlah take home pay dibagi jumlah hari dalam bulan berjalan untuk setiap ketidakhadiran kerja, baik yang disertai surat keterangan sakit dari dokter maupun tidak. Praktek pemotongan gaji sebagai konsekuensi dari absensi ini berdasarkan semangat kedisiplinan terlihat adil dan kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada perusahaan. Sebab perusahaan berlindung dibalik pasal 93 ayat 1 UU Tenaga Kerja no 13 tahun 2003. Biasanya ketentuan ini juga disertai keterlambatan pemberian gaji. Sehingga ketentuan semacam ini cenderung memberatkan buruh jika tidak dirunut akar permasalahannya. Hal ini terjadi terutama di sejumlah daerah yang kehidupan sosial kemasyarakatannya masih kental. Berdasarkan pengalaman yang ada di perusahaan yang menerapkan sistem ini minimal seorang buruh -yang sudah mencoba tetap masuk kerja dengan menghindari berbagai kewajiban sosial di lingkungannya (melayat, hajatan, dsb.)- bisa dipastikan akan absen sehari dalam sebulan. Ketidakhadiran satu hari biasanya dipakai buruh untuk mencari dana talangan. Ketidakhadiran itu umumnya terjadi pada 1-2 hari sehabis tanggal gajian. Bukan karena gaji yang baru saja diterimanya sudah habis. Melainkan karena gaji belum diterima. Sehingga harus mencari talangan untuk berbagai kewajiban yang sudah harus dibayarkan.

Advertisement

Sistem Reinburstmen. Berdasarkan perhitungan efisiensi dan perimbangan cash flow beberapa perusahaan dipastikan menerapkan tight money policy dan use other’s money first. Implikasinya bagian Finance & Accounting belum akan mengeluarkan expenses ketika masih bisa mengupayakan suplai melalui pembayaran tempo mundur. Efek langsung biasanya dirasakan bagian pembelian dan operasional. Di internal sistem ini sukses mendorong bagian pembelian mengupayakan barang modal tanpa harus bayar CoD (cash on delivery). Akan tetapi bagi operasional sering kali harus tombok dulu (ATK, transportasi, akomodasi, dsb.). Praktek tombok-menomboki ini banyak dilakukan buruh yang masih berstatus kontrak. Memang kebijakan ini hanya dijalankan di perusahaan-perusahaan yang tidak normal. Tetapi kecenderungannya beberapa perusahaan  yang normalpun sekarang menerapkan kebijakan serupa.

Risiko Kerja Tidak Adil. Ketentuan internal lain yang juga memberatkan para buruh kontrak adalah adanya risiko kerja tertentu yang harus ditanggungnya dalam bentuk nominal. Misalnya di perusahaan yang menempatkan buruh kontrak sebagai tenaga penjualan langsung. Perusahaan membebankan ongkir (ongkos kirim) ke konsumen. Sering kali konsumen tidak mau menanggungnya dengan asumsi pembelian sudah termasuk ongkir atau barang akan diretur. Tenaga buruh kontrak yang berada dalam posisi ini cenderung akan mengambil risiko menanggung biaya ini daripada omzetnya berkurang. Selain itu juga adanya ketentuan penerimaan retur hanya akan bisa diterima jika tidak lebih dari tujuh hari. Pada banyak kasus konsumen tidak akan menepati ketentuan ini dan tetap akan melakukan retur atau tidak akan order lagi. Status barang returan ini dengan demikan juga akan menjadi  beban buruh yang bersangkutan.

Resistensi Korporasi. Sulit disangkal perusahaan yang menerapkan sistem ini biasanya juga melakukan rekrutmen sehabis lebaran. Sehingga kontrak yang ditawarkan tetap bermasa kerja satu tahun. Perusahaan yang menerapkan sistem ini juga cukup strategis dengan tidak memberlakukan ketentuan-ketentuan internal ini ke karyawan-karyawan inti. Kepada staf yang berada pada posisi-posisi kunci justru telah diikat oleh perusahaan dengan serangkaian pinjaman lunak untuk rumah, kendaraan, biaya sekolah anak dsb, yang dicicil tanpa bunga dengan potong gaji. Saat ini banyak korporasi telah menerapkan ketentuan ini dengan berbagai variasi dan kombinasinya. Bisa jadi ini adalah sebuah bentuk resistensi korporasi terhadap upaya-upaya pencabutan sistem outsourcing. Sebab tanpa dicabut pun buruh sudah akan tereliminasi dengan sendirinya. Untuk mengundurkan diri pun buruh juga tidak bisa seenaknya. Beberapa korporasi mempunyai ketentuan adanya jaminan dalam bentuk ijazah asli atau dokumen lain. Jaminan itu harus ditebus buruh karena dianggap wanprestasi sebab mengakhiri kontrak kerja sebelum waktunya.

Advertisement

Sebagai catatan akhir, kondisi ini tidak lebih baik daripada ketika outsourcing masih diberlakukan. Penetapan UMR/UMK lebih tinggi juga belum tentu menjadi solusi terbaik. Sebab korporasi akan menggunakannya sebagai tendensi mempekerjakan lebih sedikit orang untuk lebih banyak pekerjaan (multy task). Kesempatan kerja menjadi terbatas. Ada dua skenario bisa dijadikan asumsi: 1. Jika misalnya ditetapkan UMR/UMK Rp2 juta di suatu daerah maka korporasi hanya akan merekrut satu personel. 2. Jika ditetapkan UMR/UMK Rp 1 juta maka paling tidak dalam satu keluarga dengan dua tenaga kerja akan bisa bekerja. Kondisi pada asumsi kedua akan menjadikan keluarga itu mempunyai daya beli lebih tinggi daripada ketika hanya ada satu orang bekerja. Dalam skala akumulatif tingkat nasional kondisi kedua itu tentunya akan lebih dipilih oleh  pemerintah dan korporasi -walau tidak dikehendaki oleh buruh. 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif