News
Sabtu, 14 Juli 2012 - 10:01 WIB

ASIA CALLING: Berkat Majalah Jugnu, Banyak Anak Keluar dari Prostitusi di India

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sekitar 20 anak laki-laki dan perempuan bekerja di sebuah ruangan. Usia mereka antara enam hingga 14 tahun. Semuanya sibuk. Ada yang menggambar taman, sungai dan pegunungan, sementara yang lain menulis tentang impian masa depan mereka.

Mereka bekerja untuk majalah “Jugnu” edisi berikutnya. Ini majalah yang ditulis anak-anak pekerja seks, untuk anak-anak pekerja seks yang bertujuan menunjukkan jalan keluar. “Jugnu” artinya ulat yang bercahaya, seekor serangga bersinar yang hanya muncul saat gelap.

Advertisement

Prostitusi adalah hal legal di India. Tapi para pekerja seks tetap didiskriminasi masyarakat. Negara Bagian Bihar misalnya, punya 25 lokasi prostitusi dengan 15.000 orang menggantungkan hidupnya pada bisnis pelacuran ini.

Sebagian besar pekerja seks tidak berpendidikan. Bahkan prostitusi seperti tradisi keluarga yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tapi tidak bagi Naseema yang disekolahkan oleh pelacur di sana, seorang dermawan yang ia panggil ‘nenek’. Dia berupaya menghancurkan pandangan itu.

Kembali ke rumah delapan tahun lalu, ia membuat sebuah LSM bernama Parcham di kawasan pelacuran tersebut. Ia adalah Ketua LSM ini sekarang. Parcham membuat majalah “Jugnu” untuk membantu anak-anak di kawasan itu.

Advertisement

Rinky bertugas mengawasi sirkulasi majalah itu. Mereka berjanji untuk mendobrak tradisi prostitusi dalam keluarga dan memberi anak-anak perempuan itu kesempatan untuk hidup baru.

“Murid yang lain dan bahkan para guru kadang memberitahukan fakta kalau anak-anak ini datang dari rumah bordil. Mereka harus menyembunyikan identitasnya saat mereka sekolah atau bekerja di luar,” ujar Rinky.

“Kami mengajarkan anak-anak untuk tidak merasa rendah diri dan mereka selalu bisa melakukan pekerjaan seperti yang lain, walau mereka berasal dari daerah pelacuran. Majalah “Jugnu” membuat anak-anak ini lebih kuat.”

Parcham tidak hanya membuat majalah ini. Mereka juga mendukung klinik kesehatan di enam kawasan lampu merah di utara Bihar. Tapi “Jugnu” adalah sebuah inspirasi bagi anak-anak di seluruh daerah ini.

Advertisement

“Kawasan pelacuran seperti lubang hitam dalam masyarakat. “Jugnu” mencari bantuan dari masyarakat yang ada di luar,” tutur Nikhat, salah satu redaktur majalah Jugnu.

“Sebagian besar orang yang tinggal di kawasan ini tidak punya pilihan selain mengikuti profesi turun temurun itu. Ibu saya tinggal di kawasan ini dan juga bekerja sebagai pekerja seks. Masyarakat tidak percaya kalau saya bisa melakukan hal lain selain menjadi pekerja seks. Untuk membuktikan kalau itu salah dan untuk mencari anak-anak yang punya kemampuan di rumah-rumah bordil, kami buat majalah ini.”

Nikhat sudah membuktikan kalau banyak orang salah – sebelum bergabung dengan majalah ini ia bekerja di sebuah saluran TV Hindu lokal. Kini kemampuannya membantu membuka pintu baru bagi anak-anak lain di daerah itu.

“Banyak anak di sini punya kemampuan. Majalah kami membantu untuk menemukan kemampuan ini, anak-anak yang mungkin satu saat akan jadi penulis, pelukis, jurnalis, dokter, insinyur atau yang lainnya.”

Advertisement

“Banyak ibu di rumah bordil ingin anaknya melakukan pekerjaan di luar rumah bordil. Tapi mereka tidak tahu caranya. Jugnu bertujuan untuk membantu anak-anak di daerah ini memilih kehidupan di luar rumah bordil. Ini mendorong anak-anak untuk bermimpi kalau mereka bisa memilih pekerjaan lain.”

Para reporter “Jugnu” berkumpul untuk pertemuan redaksi setiap bulan untuk merencanakan tema berikutnya. Mereka punya tim yang berdedikasi penuh, terdiri dari lebih 10 reporter yang berusia antara 12 hingga 25 tahun.

Mereka mewawancarai para pekerja seks dan bertanya soal mimpi mereka dan tantangan yang mereka hadapi setiap hari. Dan setiap artikel ditulis tangan, demi menambahkan rasa memiliki para penulisnya.

Majalah itu difotokopi dan didistribusikan ke empat kawasan prostitusi. Mereka menjual hingga 800 eksemplar setiap bulan termasuk 150 pelanggan. Harganya kurang dari Rp10.000, ini untuk menutupi biaya fotokopi.

Advertisement

Saista Parveen, 10 tahun, kontributor tetap majalah ini, mengatakan: “Saya menulis tentang impian saya di majalah ini. Saya juga menulis soal mimpi anak-anak lain. Setelah mendengarkan mimpi mereka, saya tulis tentang mereka di kertas dan menyerahkannya pada Nikhatji, editor kami.”

Anak-anak bilang mereka tidak takut untuk bermimpi mendapatkan pekerjaan lain di luar rumah bordil. Mendapat ilham dari majalah “Jugnu”, sebagian besar anak-anak ini kini bersekolah. Diantaranya, Shekh Nekal, 13 tahun, pelajar kelas enam, mengatakan ia belajar dengan giat.

“Sebagian besar anak-anak di wilayah ini tidak mau bersekolah. Jadi mereka tidak bisa melakukan hal lain selain menarik becak atau jadi tukang ojek. Saya punya mimpi lain. Saya ingin sekolah lebih tinggi.”

“Saya menulis untuk “Jugnu” dan saya merasa lebih kuat. Saya tidak mau jadi penarik becak atau tukang ojek. Saya ingin mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi insinyur.”

Paresh Prasad Singh, sekretaris Palang Merah India bekerja sama dengan Parcham untuk memberikan layanan kesehatan di kawasan pelacuran.

“Dampak “Jugnu” jelas terlihat di kawasan lampu merah. Dengan membaca Jugnu kita bisa mengerti dengan jelas, ada beberapa anak bertalenta yang terjebak di kehidupan itu. Anak-anak yang menulis dan membaca “Jugnu” sangat jelas terlihat kemampuannya dalam masyarakat.”

Advertisement

“Banyak anak yang belajar dengan baik dan beberapa bahkan sudah dapat pekerjaan yang bagus. Hampir setiap anak di daerah itu melakukan upaya yang tulus untuk bergabung dengan masyarakat kebanyakan. Jugnu membawa perubahan revolusioner di daerah pelacuran.”

Meena, 45 tahun, pekerja seks yang bekerja di rumah bordil, dan putrinya, Julie, mengawasi proses produksi majalah dan bergabung dengan aktivis Parcham lainnya.

“Waktu putri saya bergabung dengan “Jugnu” dan Parcham, saya sangat marah. Saya pikir LSM ini tidak baik dan buang-buang waktu dia saja,” ujar Meena.

“Tapi setelah beberapa tahun, saya berubah pikiran. Sekarang saya senang, anak perempuan saya melakukan hal baik seperti membagikan obat untuk pasien TBC. Hidupnya berubah dan saya merasa senang.”

Saista Parveen yakin akan masa depannya sekarang.

“Saya tidak mau bekerja di daerah ini kalau sudah besar. Saya harus mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan mencari pekerjaan di luar. Saya mau jadi polisi dan membuat orangtua saya bangga,” ujar Saista optimistis.

Shaikh Azizur Rahman 
Asia Calling/Bihar, India 

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif