Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Sekretaris Paguyuban Jagal Kecamatan Ampel, Sri Sumarni mengakui, praktik gelonggongan ini masih ada di Boyolali. Meskipun demikian, upaya penyadaran melalui pendekatan persuasif terus dilakukan paguyuban. “Selain adanya oknum yang serakah, praktik ini menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. Akan tetapi, kini jumlahnya sudah jauh berkurang,” ujarnya, Selasa (10/7/2012).
Marni menyebut, hanya sekitar 5% saja jagal rumahan yang masih memakai teknik penggemukan sapi secara instan ini. Menurutnya, konsumen lebih memilih daging sapi berkualitas dibanding daging hasil gelonggongan. Hal ini yang mendorong para jagal untuk berhenti menggelonggong sapi. Paguyubannya yang beranggotakan sekitar 70 jagal bertekad untuk memproduksi daging berlabel bagus dan berkualitas baik. Pasalnya, konsumen praktis tidak menghendaki daging basah atau gelonggongan.
“Jika ada pelaku penggelonggongan, kami akan menyerahkan sepenuhnya kepada petugas yang berwajib,” imbuhnya. Lebih lanjut ia mengatakan, RPH rumahan di Ampel mencapai 50 tempat. RPH ini masih eksis karena jagal lebih senang menyembelih sapi pada malam hari di rumahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) Boyolali, Darsono mengakui, praktik gelonggongan sapi belum sepenuhnya bisa diberantas di Boyolali. Akan tetapi, jumlahnya terus menurun lantaran para jagal semakin sadar akan kualitas daging. “RPH Ampel milik Pemkab Boyolali tidak menerima sapi gelonggongan. Kami terus melakukan pembinaan kepada para jagal,” ujarnya.
Darsono menjelaskan, pembinaan secara persuasif ini lebih efektif untuk meminimalisir praktik gelonggongan sapi ini. Alhasil, para jagal juga tidak lagi menyembelih sapi betina atau sapi sakit.