Tokoh
Jumat, 6 Juli 2012 - 12:40 WIB

Abidah El Khalieqy, Menulis adalah Panggilan Hidup

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abidah El Khalieqy (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Abidah El Khalieqy (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Penulis novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS), Abidah El Khalieqy, bersemangat ketika diminta bercerita tentang pengalamannya di dunia tulis menulis.

Advertisement

Perempuan kelahiran Jombang, 1 Maret 1965, itu langsung berbagi kisah kepada peserta seminar nasional Akulturasi Seni & Budaya dari Timur Tengah ke Indonesia di Ruang 307 Lantai III Gedung I Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra dan seni Rupa (FSSR) Universitas Sebelas Maret (UNS), Rabu (27/6/2012).

Peserta seminar meminta penjelasan Abidah tentang film PBS yang menimbulkan kontroversi. Anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan suami-istri Abdul Khaliq dan Misnawati itu menuturkan film PBS yang diangkat dari novelnya menjadi kontroversial karena ada distorsi.

Advertisement

Peserta seminar meminta penjelasan Abidah tentang film PBS yang menimbulkan kontroversi. Anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan suami-istri Abdul Khaliq dan Misnawati itu menuturkan film PBS yang diangkat dari novelnya menjadi kontroversial karena ada distorsi.

”Ada penambahan dan pengurangan dari novel di dalam film PBS. Bukunya tidak bermasalah. Novel itu merupakan novel pemberdayaan perempuan,” kata Abidah.

Alumnus Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur (Jatim), itu menganggap penulis itu seperti dalang, kreator, raja atau ratu yang bisa menciptakan tokoh apa pun. Novel tidak mungkin ditulis tanpa tokoh antagonis. Tokoh antagonis memberikan pelajaran banyak hal.

Advertisement

Saat menulis, istri Hamdy Salad ini juga bisa terlarut. Ketika menulis kisah percintaan, ia merasa bahagia dan sewaktu ada cerita sedih pun bisa menangis. Ketika ditemui Solopos.com seusai berbicara dalam seminar itu, perempuan yang menulis cerita pendek Menari di Atas Gunting itu mengaku sudah menulis sejak remaja.

”Menulis itu panggilan hidup,” imbuh ibunda Jauhara Nadvi Azzadine, Geffarine Firdaws dan Zahida Aine Hawwa itu.

Karya-karya sastranya terhimpun dalam berbagai buku antologi seperti An Antology of Poems Southeast (1996), Cyber Album Indonesia-Australia (1998), Force Majeure (2007), Rainbow: Indonesian Womens Poet (2008), Word Without Borders (2009), E-Books Library For Difabel (2007) dan lebih dari 15 buku sastra lainnya.

Advertisement

Ia meraih penghargaan lewat goresan penanya.  Ia mendapat penghargaan seni  dari Pemerintah Provinsi DIY (1998) dan pemenang Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (2003). Dia juga dinobatkan sebagai tokoh 10 Anak Zaman Menerobos Batas oleh Majalah As-Syir’ah (2004).

Dia juga memperolah anugerah Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan Balai Bahasa Award (2008) serta Adab Award dari UIN Sunan Kalijaga (2009).  Kemudian dia dinobatkan dalam Sepuluh Muslimah Kreatif oleh Majalah Noor (2010). Pada 2011 dia memperoleh Anugerah Sastra dari Kemendikbud.

Dia pernah mengikuti Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (1987), aktif di Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) 1987-1989. Ia mewakili Indonesia dalam ASEAN Writers Conference/Workshop Poetry di Manila, Philipina (1995).

Advertisement

Dia juga jadi peserta Konferensi Pengarang Muslimah di Kuala Lumpur, Malaysia (2010), hadir dalam bedah film dan novel PBS di Hongkong (2009) dan Singapura (2010) dan mengikuti program Siswa Bertanya Sastrawan Bicara (SBSB) di berbagai kota besar di Indonesia (2001-2008).

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif