Tokoh
Senin, 2 Juli 2012 - 11:07 WIB

Candra Malik: Jalan Sufi Kaum Urban

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Candra Malik (FOTO: Lutfiyah/JIBI/SOLOPOS)

Candra Malik (FOTO: Lutfiyah/JIBI/SOLOPOS)

Minggu (17/6) pagi, Candra Malik menepati janjinya bertemu Espos. Sekitar pukul 09.00 WIB, laki-laki berambut gondrong itu telah tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah hotel berarsitektur khas Jawa di jantung Kota Solo.

Advertisement

Bukan hal mudah menemui suami Anis Ardianti ini. Apalagi, dalam beberapa pekan terakhir, waktunya banyak dihabiskan “berkelana” dari satu daerah ke daerah lain untuk memperkenalkan buah karyanya dalam bermusik. Bermusik bukan kegiatan utamanya. Dia lebih dikenal sebagai sufi.

Kendati dikepung seabrek kegiatan, laki-laki yang biasa disapa Gus Candra ini seperti menyimpan banyak energi. Sepanjang perbincangan dengan Espos, ia tampak semangat mengalirkan cerita tentang kegiatannya. Tak jarang di tengah obrolan, nada bicaranya terdengar meninggi penuh antusias saat ia menggulirkan kisah tentang kehidupan sunyi sebagai seorang sufi.

Advertisement

Kendati dikepung seabrek kegiatan, laki-laki yang biasa disapa Gus Candra ini seperti menyimpan banyak energi. Sepanjang perbincangan dengan Espos, ia tampak semangat mengalirkan cerita tentang kegiatannya. Tak jarang di tengah obrolan, nada bicaranya terdengar meninggi penuh antusias saat ia menggulirkan kisah tentang kehidupan sunyi sebagai seorang sufi.

Bisa jadi Anda membayangkan sufi merupakan orang yang jauh dari gemerlap dunia dan hanya menghabiskan waktunya untuk berzikir dan beribadah. Anggapan itu akan runtuh saat bertemu dan berbincang dengan Gus Candra. Dia seperti kebanyakan orang. Bahkan, sepanjang pertemuan dengan Espos, tangannya tidak jauh-jauh dari Blackberry yang sesekali ia lihat layarnya.

Dalam berpenampilan pun ia begitu santai, mengenakan kaus abu-abu berpadu dengan celana jeans dan sepatu. Bedanya, ia menutupi rambut gondrongnya dengan peci hitam.

Advertisement

“Apa di diskotek tidak ada Tuhan? Apa di wilayah industri tidak ada Tuhan? Justru dengan seperti ini saya bisa leluasa untuk berbuat dan melakukan sesuatu di sana,” katanya.

Menurutnya, apa yang ia lakukan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW yang menekankan dakwah dilakukan sesuai dengan bahasa kaumnya. Jika ingin dekat dengan dunia industri, menurutnya, berdakwah harus menggunakan bahasa industri termasuk memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Twitter. Dengan sikap dan pandangannya itu, ia mudah diterima di semua lapisan masyarakat. Gus Candra juga berhasil mengajak orang-orang di perkotaan termasuk orang kaya untuk menyadari rahman dan rahim Allah SWT bahkan mengikuti kelas sufi yang ia ampu. Beberapa orang bahkan datang sendiri memintanya sebagai guru salah satunya musisi Uki Rebek.

“Kegelisahan itu milik setiap orang, tidak hanya orang miskin. Kalau tidak ada yang masuk ke sana lalu bagaimana mana nasib mereka (orang kaya)? Begitu juga dengan orang rusak, sombong sekali jika ada ahli agama yang tidak mau masuk ke kaum yang rusak. Padahal Rasulullah diturunkan ke bumi kepada kaum yang rusak, itu rumusnya,” tegasnya.

Advertisement

Berbicara tentang sufi dengan ayah tiga anak, Abra Bumandhala Byoma, Arane Langit Manik Maya dan Cyra Akasha Bumi, seperti tidak ada ujungnya. Sesekali, tutur katanya yang tertata rapi disulam dengan kalimat-kalimat beraroma filsafat, membuat Espos tertegun dan manggut-manggut. Salah satunya dalam menyikapi hidup agar terasa enteng dengan menerima segala sesuatu sebagai ilmu. Rumusnya, ilmu adalah cahaya dan semua orang butuh cahaya. Apa pun yang dialami manusia entah sedih, benci, cemburu atau fitnah ketika semua itu dianggap sebagai cahaya maka ia akan menerima dan berterima kasih karena bisa belajar tentang semua itu.

Bukan satu tahun atau dua tahun Gus Candra bergelut di jalan sunyi sebagai seorang sufi. Ia mengakrabi dunia dan ritual-ritual tasawuf sejak masih kecil. Guru yang banyak mengajarinya kala itu adalah Abdullah Ali, kakeknya. Ia juga belajar kepada Habib Ja’far bin Badar bin Thalib bin Umar bin Ja’far di lingkungan Pasar Kliwon, Solo dan seorang mursyid (guru) yang tinggal di Sukowono, Jember, Kiai Muhammad Muna’am.

Ketika jalan hidup mengantarkannya sebagai wartawan, laki-laki kelahiran 25 Maret 1978 ini tidak lantas menanggalkan bajunya sebagai seorang sufi. Sebaliknya, gairahnya belajar tentang kearifan sufisme semakin meletup-letup. Ketajaman intuisinya terus ia asah dengan meneruskan belajar sufi ke sejumlah ulama tarekat termasuk Syekh Hisyam Kabbani tokoh sufi Naqsabandy Haqqani. Kini, sebagian waktunya banyak dihabiskan untuk bersilaturahmi, ziarah dan menjadi pengasuh pesantren tasawuf Asy Syahadah di Desa Segoro Gunung di lereng Gunung Lawu, Karanganyar dan masih menekuni dunia jurnalisme. Dia menyebut apa yang ia lakukan adalah umpan kecil bagi kebaikan.

Advertisement

Advertisement
Kata Kunci : Jalan Kaum Sufi Urban
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif