Solopos-fm
Jumat, 29 Juni 2012 - 11:45 WIB

Ledre Laweyan Sejak 1984

Redaksi Solopos.com  /  Aksara Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

dok

[SPFM], Siapa yang tak tahu ledre Laweyan, kudapan khas Solo dengan bahan dasar ketan kelapa, dan pisang. Namun siapa sangka, di balik moncernya nama Ledre Laweyan yang berlokasi di Jalan Setono RT 02 RW 02 Kampoeng Batik Laweyan, Solo ini, ada perjuangan wanita tua yang kini berusia 70 tahun bernama Sri Martini.

Advertisement

Berbicara tentang sosok inspiratif, tampaknya sangat tepat dengan sosok Sri. Berawal dari modal Rp 50 ribu, Sri pada tahun 1984 mencoba peruntungannya dari kue sederhana ini. Sri yang memiliki hobi masak, awalnya hanya membawa ledre buatannya ke pertemuan maupun arisan kampong. Ternyata dari situ, banyak respon positif yang diterimanya. Alhasil, Sri pun berani mulai menawarkan ledre dengan menitipkannya di sejumlah toko roti dan oleh-oleh.

dok

Sebagai seorang ibu yang ingin mencari nafkah tambahan untuk 4 orang anaknya, Sri menjajakan ledrenya dengan sepeda kayuh. Lambat laun ledre buatannya bisa menembus toko roti dan pusat oleh-oleh ternama di Kota Solo, seperti Abon Varia, Latansa, dan Larasati. Perlahan tapi pasti, ledrenya kian dikenal.

Advertisement

Namun pada tahun 1992, suami Sri meninggal dunia, sehingga memaksa dia untuk berjuang sendiri membesarkan ke empat anaknya. Padahal 3 dari 4 anaknya kala itu masih harus melanjutkan pendidikan. Sri harus melakoni peran ganda, sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. Sri pun mengajak anak-anaknya ikut berjuang, yakni kuliah sambil berjualan Ledre. Sri berjanji akan membiayai sekolah mereka, namun hanya jika anak-anaknya bisa masuk ke pergurunan tinggi negeri.

Ledre buatan Sri memang sedikit berbeda dari ledre asli karena Sri menggunakan ketan matang, bukan yang masih mentah. Ini agar proses membuat ledre menjadi lebih cepat dan secara kualitas juga lebih enak. Harga ledre pun terus mengalami penyesuaian, dari hanya Rp 400 per biji menjadi kini Rp 2000 per biji. Omset Sri per hari antara Rp 200 ribu hingga 600 ribu per hari saat kondisi ramai.

Rasa ledrenya pun mulai bervariasi, mulai dari yang hanya rasa original kini ada bermacam-macam rasa, seperti pisang coklat, pisang keju, dan pisang coklat keju. Selain ledre, Sri juga melayani pesanan resoles, sosis goreng, sosis solo, lumpur kentang, dan srabi penang untuk semakin menarik pembeli.

Advertisement

Ledre Sri merangkak tidak hanya di toko roti, namun juga katering hingga sekarang merambah hotel, seperti Kusuma Sahid, Sahid Jaya, The Sunan Hotel Dana, Hotel Indah Palace, Hotel Agas, dan lainnya. Diakui Sri, bisnis ledrenya mengalami perkembangan pesat tahun 2011 lalu saat kisah hidup beserta bisnisnya diliput oleh salah satu media nasional. Namun hingga kini, Sri tidak memiliki karyawan satu pun. Alasannya, karena tidak semua orang bisa membuat ledre.`

Meski mudah, bagi sebagian orang terbilang sulit. Sri hanya dibantu oleh anaknya, jika banyak pesanan. Sri juga tidak pernah men-display ledrenya. Sebab ledre langsung dibuat setelah dipesan supaya tetap hangat. Pembeli ledrenya tidak hanya berasal dari kota besar di Indonesia, bahkan dari Negeri Jiran Malaysia.

Suka duka pun dialami Sri. Kurang tidur adalah makanan sehari-hari Sri, sebab baginya ini adalah konsekuensi dari usaha. Dari sinilah, pundi-pundi rupiahnya terkumpul hingga bisa menyekolahkan anaknya hingga sarjana, bahkan mereka kini sudah berkeluarga dan memilki rumah sendiri. Moto hidupnya, takwa kepada Allah serta ikhlas. Namun Sri tetap ingin mempertahankan konsep tradisional ledrenya di gang kecil di kampung Laweyan Solo.

Ya…, Sri Martini, dari tangan keriputnya, lahir kudapan khas Solo yang dicari hampir tiap wisatawan yang berkunjung ke Solo. Ledre Laweyan juga ikut menguatkan Kampung Batik Laweyan sebagai salah satu destinasi wisata batik, sekaligus menjadi salah satu ikon pasriwisata Kota Solo. [SPFM/dev]

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif