News
Selasa, 5 Juni 2012 - 10:30 WIB

PEMBIBITAN AYAM KAMPUNG: Dari 50 Ekor Kini 1.500 Ekor...

Redaksi Solopos.com  /  Tutut Indrawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - PELUANG USAHA--Widi Nur Susanto menujukkan anak ayam kampung hasil pembibitan yang ditekuninya di Baturono RT 3/RW III, Joyosuran, Pasar Kliwon, Pasar Kliwon, Solo, Senin (4/6/2012). Pembibitan ayam kampung menjadi berkembang setelah 12 tahun menekuni usaha tersebut. (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)


PELUANG USAHA--Widi Nur Susanto menujukkan anak ayam kampung hasil pembibitan yang ditekuninya di Baturono RT 3/RW III, Joyosuran, Pasar Kliwon, Pasar Kliwon, Solo, Senin (4/6/2012). (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)

Di halaman rumah di Baturono RT 3/RW III, Joyosuran, Pasar Kliwon, Solo tersedia setumpuk kardus yang masing-masing kardus berisi seratusan day old chick (DOC) atau ayam kampung berumur satu hari.

Advertisement

Tepat di sisi tumpukan kardus berisi DOC tersebut, ada tumpukan telur ayam kampung yang masih tertata rapi. Telur-telur itu adalah hasil sortasi yang tidak layak untuk di tetaskan menjadi DOC.

Widi Nur Susanto, pemilik usaha pembibitan ayam kampung ini sudah menjalani usaha ini selama 12 tahun. Awalnya, usaha pembibitan ayam kampung ini diawali hanya dengan kapasitas 50 ekor ayam. Saat ini, sudah mencapai 1.000 ekor hingga 1.500 ekor.

Widi membuat mesin tetas sendiri. “Dari satu mesin, sekarang saya sudah punya 80 mesin tetas,” kata Widi, saat ditemui Solopos.com, di lokasi usahanya, Senin (4/6/2012).

Advertisement

Mulanya, ia tidak tahu kemana DOC itu harus dipasarkan. Setelah bertahun-tahun mempelajari seluk beluk usaha ini secara autodidak, ia pun akhirnya menemukan pasar sendiri. “Bibit ayam kampung saya jual kepada peternak ayam di Jogja, Sleman hingga Bantul.” Kemudian, dari mana Widi mendapatkan bahan baku yang tak lain adalah telur ayam kampung itu sendiri?

Untuk saat ini, kata Widi, rupanya tidak mudah untuk mendapatkan bahan baku bibit ayam kampung. “Minimnya pasokan telur ayam kampung ini yang masih jadi kendala saya. Tapi, saya terus memperluas jaringan bisnis, baik untuk memasok telur maupun memasarkan DOC.”

Berburu Telur

Advertisement

Ia terpaksa harus mencari bibit ayam dari para pengepul di daerah pelosok, mulai dari Kopeng hingga Cepogo, Boyolali. Setiap lima hari, ia bisa mendapatkan sekitar 1.000 hingga 1.500 telur ayam kampung, dengan harga Rp1.500 per butir. Telur-telur tersebut, dimasukkan kedalam mesin tetas dengan jangka waktu selama 21 hari. Setelah menjadi DOC, harganya bisa mencapai 4.500 per ekor. “Tapi, biasanya hanya 60% telur yang berhasil menetas.”

Penjualan DOC ini tentunya dilanjutkan dengan usaha pembesaran ayam kampung. Ia mengkalkulasi, jika setiap 100 ekor DOC dipelihara secara intensif selama 70 hari, maka pada saat panen itu berat rata-rata ayam kampung sudah bisa mencapai rata-rata 9 ons per ekor. Atau total 90 kilogram ayam kampung. “Harga ayam kampung saat ini berkisar Rp24.000 per kilogram atau harga terendahnya Rp21.000 per kilogram.”

Untuk membesarkan ayam kampung ini, tentu butuh proses. Hingga usia 3 pekan, DOC harus disimpan dalam kandang pemanas. Setelah itu, dimasukkan ke kandang pembesararan dengan luas sekitar 8 meter persegi untuk 100 ekor ayam kampung. “Selama masa pemeliharaan, ayam harus rutin diberi vaksin ND dan vitamin.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif