Tokoh
Jumat, 1 Juni 2012 - 17:26 WIB

Ahmad Fuadi: Pribadi Sukses, Pribadi yang Bermanfaat

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Fuadi (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Ahmad Fuadi (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Man jadda wajada. Puluhan kali Ahmad Fuadi menyampaikan hadis itu saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional Meraih Impian bersama Ahmad Fuadi dengan tema Rasakan Dahsyatnya Man Jadda Wajada dan Keajaiban dari Man Shabara Zhafira, di GOR Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Rabu (30/5/2012).

Advertisement

Penulis novel Negeri 5 Menara itu memiliki pengalaman yang banyak dengan kata-kata ampuh man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh akan berhasil.

“Jangan pernah remehkan mimpi. Impian bisa berubah jadi kenyataan. Man jadda wa jada. Berjuang sungguh-sungguh, berdoa sungguh-sungguh dan ikhlas. Tuhan Maha Mendengar,” kata Ahmad di depan sekitar 200 peserta seminar.

Advertisement

“Jangan pernah remehkan mimpi. Impian bisa berubah jadi kenyataan. Man jadda wa jada. Berjuang sungguh-sungguh, berdoa sungguh-sungguh dan ikhlas. Tuhan Maha Mendengar,” kata Ahmad di depan sekitar 200 peserta seminar.

Lelaki kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972 itu mengaku tidak pernah menyangka apa yang diinginkan bisa menjadi kenyataan. Man jadda wa jada ikut mengantarkan anak ketiga pasangan Suhasni dan almarhum M Faried Sulthany itu menulis novel Negeri 5 Menara.

Berbagai keberhasilan yang diraihnya, salah satu faktor penyebabnya berawal dari kepatuhan kepada ibundanya. Setelah lulus MTs di Padang Panjang, ibunya menginginkan Ahmad menuntut ilmu di sekolah agama. Pria berkacamata itu mulanya merasa terpaksa ketika harus meneruskan di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo

Advertisement

Ahmad yang pernah menjadi wartawan Majalah Tempo itu merasakan ketaatannya kepada ibunya membawa banyak manfaat. Lewat Novel Negeri 5 Menara, dia meraih tiga penghargaan yaitu Longlist Khatulistiwa Literary Award 2010, Penulis dan Fiksi Terfavorit, Anugerah Pembaca Indonesia 2010 dan Buku Fiksi Terbaik, Perpustakaan Nasional Indonesia 2011.

Dia menilai perlu menulis tentang pesantren karena pesantren menghasilkan orang-orang lintas wilayah. Orang-orang pesantren ada di mana-mana. Ia menjumpai orang-orang pesantren di Amerika Serikat, Rusia, London dan lain-lainnya.

“Menulis mengantarkan saya mendapatkan beasiswa ke Canada. Waktu itu, ada pertukaran pemuda antar Negara. Syaratnya harus bisa menari dan menyanyi. Padahal saya tidak bisa menyanyi dan menari yang bagus. Saya hanya menunjukkan tulisan-tulisan saya dan akhirnya mendapatkan beasiswa itu. Saya katakan menulis itu salah satu cara diplomasi,” papar suami Danya “Yayi” Dewanti.

Advertisement

Soal tulis menulis, peraih beasiswa SIF-ASEAN Visiting Student Fellowship, National University of Singapore itu menyampaikan empat hal yaitu why, what, how dan  when. Dia menyatakan sebelum menulis supaya meluruskan niat. Yaitu punya jawaban kenapa menulis. Dengan memiliki sebuah alasan, tulisan akan lancar.

Menulis itu salah satu cara untuk bermanfaat. Mengutip sebuah hadis, Ahmad mengatakan sebaik-baik manusia yang paling bermanfaat buat orang lain.

Alumnus Universitas Padjajaran itu mengatakan apa yang akan ditulis yaitu menulis sesuatu yang dikenal, diketahui dan ada di sekitar kita. “Tulislah tulisan yang kita care, familiar dan yang dekat-dekat,” lanjutnya.

Advertisement

Soal bagaimana menulis, Ahmad menyebutkan perlunya membaca buku-buku dan referensi lain. Arsip berupa foto dan data-data lain juga ikut mendukung sebuah tulisan. Dia menekankan pentingnya membaca. Lantas kapan kita mesti memulia menulis?

Ahmad menyatakan dari sekarang juga. Sedikit demi sedikit lama-lama bisa menjadi buku. Tiap hari menulis dan yang penting konsistennya. Pengalamannya menjadi wartawan turut mendukung menjadi penulis. Sebab menjadi wartawan tidak bisa menunda-nunda sebuah tulisan yang akan dijadikan berita keesokan harinya.

“Kapan saja dan di mana saja bisa menulis. Biasanya, prime time habis Subuh. Kadang kalau malam juga bisa menulis. Pengalaman masa lalu menjadi wartawan ikut membantu. Energinya seperti wartawan tanpa beralasan tidak mood,”  jelas penulis Ranah 3 Warna itu.

Peraih CASE Media Fellowship, University of Maryland, College Park, tersebut menganggap menulis sangat luar biasa kekuatannya. Menulis menjadikan seseorang yang sangat berbeda dan membuat awet muda.

“Tulisan atau buku tidak tua dan mati. Tulisan tidak akan pernah dikubur. Tulisan yang baik akan mengirimkan kebaikan,” terang lelaki yang memperoleh Beasiswa Fulbright, Program Pascasarjana, The George Washington University.

Pria yang meraih beasiswa British Chevening, Program Pascasarjana, University of London, London tersebut ingin menjadi pribadi sukses yaitu pribadi yang bermanfaat bagi orang lain.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif