SOLO--Dunia persekolahan saat ini tak ubahnya seperti sebuah mesin yang memproduksi lulusan, tapi telah hilang sisi kemanusiaannya. Akibatnya, sebagian produk sekolah adalah anak pintar yang lemah mentalnya, berpendidikan tinggi tapi melakukan korupsi.
Pendapat itu disampaikan salah satu guru besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof Dr Bambang Sumardjoko, saat jumpa pers di Rumah Makan Rasa Mirasa, Sukoharjo, Kamis (31/5/2012).
Pidato pengukuhan Bambang sebagai guru besar UMS ke-17 akan dilaksanakan Sabtu (2/6) di Auditorium Muhammad Djazman, UMS, bebarengan dengan pengukuhan guru besar UMS lainnya, Prof Dr Harun Joko Prayitno sebagai guru besar UMS ke-16.
Pada pidato pengukuhan besok, Harun akan menyampaikan pidato pengukuhan berjudul Realisasi Tindak Tutur Direktif Dalam Pembelajaran Pragmatik: Berdaya, Berorientasi dan Berstrategi Kesantunan Positif. Sedangkan pidato pengukuhan Bambang berjudul Kepemimpinan dan Budaya Sekolah Sebagai Strategi Penguatan Karakter Peserta Didik.
Lebih lanjut Bambang mengungkapkan kondisi sekolah layaknya mesin itu terjadi karena sifat humanisme tidak ada lagi dalam dunia pendidikan. Padahal pendidikan yang humanis atau pendidikan yang memanusiakan manusia, saat ini sangatlah penting. Salah satu strategi yang harus diterapkan yaitu menjadikan guru dan orangtua sebagai model keteladanan siswa.
Menurutnya, praktik pendidikan yang selama ini terjadi telah melahirkan ekses negatif. Yaitu pendidikan bersifat analitis mekanistis dengan mendasarkan doktrin reduksionisme dan mekanistik, pendidikan hanya sebagai penggerak dan pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan.
“Pendidikan yang memanusiakan pada hakikatnya merupakan pendidikan sebagai pemberdayaan yang memungkinkan peserta didik dapat mengekspresikan pendapatnya,” jelasnya.
Artinya, kata Bambang, peserta didik diberdayakan, mampu membuat pernyataan, memberikan kontribusi dalam setiap aktivitas pembelajaran sehingga menjadi aktif, kreatif dan inovatif. Pemberdayaan juga akan menjadikan peserta didik berani mengambil sikap secara kritis.
“Selain butuh keteladanan, hal itu bisa diwujudkan dengan mnciptakan lingkungan sosial budaya yang kondusif sehingga memungkinkan peserta didik belajar secara nyaman dan aman,” katanya.