News
Selasa, 29 Mei 2012 - 08:00 WIB

PILAR DEMOKRASI: Aksi Kelompok Intoleran Ancaman Bagi Demokrasi

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kebebasan berserikat, berpendapat dan berekspresi dijamin konstitusi. Sayangnya, kini kebebasan tersebut mulai dirampas oleh kelompok-kelompok intoleran yang mengatasnamakan agama. Diskusi buku karya Irshad Manji di Komunitas Salihara, di kampus UGM dan LKIS Yogyakarta jadi contohnya. Terakhir, kelompok itu menentang rencana konser Lady Gaga di Jakarta, dengan alasan penampilan dan syair lagu yang dibawakan Gaga dinilai tidak sesuai dengan nilai Islam dan budaya bangsa Indonesia.

Aksi kelompok  intoleran tersebut sudah menjadi ancaman bagi kebebasan berpikir, dan lebih jauh ancaman demokrasi. Tema inilah yang diperbincangkan dalam program Pilar Demokrasi KBR68H, dengan mengundang tiga narasumber yakni Radhar Panca Dahana (budayawan), Rumadi (Peneliti Wahid Institute), dan Brigjen Pol HM Taufik (Kepala Biro Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri).

Advertisement

Menurut Rumadi, merujuk penelitian Wahid Institute tahun 2008-2011, tren intoleransi dari waktu ke waktu cenderung meningkat, baik jumlah kasusnya, maupun tindakan intoleransi yang dilakukan kelompok tersebut. Kalau dipetakan dari sisi aktornya, ada aktor kategori non state, yaitu kelompok yang sering menggunakan simbol-simbol dan jargon-jargon keagamaan, untuk melakukan tindakan-tindakan intoleran dengan kekerasan. Di pihak lain ada yang masuk kategori state actor, dalam hal ini aparat kepolisian, karena setiap kali ada tindakan intoleran, aparat kepolisian tampak gamang bila sudah berhadapan dengan isu keagamaan.

Radhar mengaku geram karena tiba-tiba ada kelompok yang melakukan “pengadilan” terhadap karya intelektual atau produk budaya, menurut ukuran mereka sendiri, seperti Kejaksaan Agung di masa lalu. Menurut dia hal itu melawan kultur dan akal sehat.

Menurut Radhar, kalau mereka tidak senang ya tidak usah menonton, atau buang bukunya ke tempat sampah, tapi  jangan melakukan vandalisme, jangan menghasut orang melakukan hal yang sama. “Berarti reformasi sudah gagal memperjuangkan, memelihara bahkan mempromosi pluralisme, toleransi, mempromosi karya-karya intelektual,” tegas Radhar.

Advertisement

Taufik berpendapat, ada ketentutan yang harus dipahami dan diikuti masyarakat, khususnya yang akan melaksanakan kegiatan berkaitan dengan penyampaian kegiatan di muka umum. Intinya ada keharusan untuk memberitahukan kepada aparat kepolisian. Sebetulnya sederhana saja hanya menyampaikan pemberitahuan, apa maksud dari pemberitahuan ini, supaya aparat kepolisian mengetahui bahwa tempat itu ada kegiatan masyarakat.

Radhar menanggapi kebijakan pihak kepolisian selama ini, yang dianggap normatif, karenanya harus ada terobosan-terobosan yang kreatif menanggapi situasi yang berkembang di masyarakat. Misalnya ketika melarang produk kebudayaan seperti Lady Gaga itu. Menutut Radhar,   jangan juga menggunakan alasan Menkopolhukam Djoko Suyanto itu, yang mengizinkan konser Lady Gaga agar tidak mendapatkan kesan suka melarang pertunjukan asing. Menurut Radhar ada persoalan kultural yang seharusnya juga menjadi pertimbangan Djoko Suyanto.

Rumadi mengaku kurang sreg dengan istilah kelompok-kelompok intoleran. Rumadi lebih senang menyebut anak jadah demokrasi. Rumadi menyebut anak jadah tidak dikehendaki kelahirannya, tetapi kita tidak bisa menolak. Yang dikhawatirkan,  kata dia, kelompok-kelompok seperti itu hidup dan lahir dari proses demokrasi, tapi justru membunuh ibu kandungnya sendiri yang menurut Rumadi, telah terjadi sekarang. Menurut dia, atmosfir yang ditumbuhkan itu memang atmosfir yang tidak memberikan ruang bebas kepada publik untuk menyampaikan pendapat dan itu adalah bentuk teror terhadap kecerdasan publik dan teror kebebasan akademik.

Advertisement

Artikel ini merupakan rangkuman perbincangan program Pilar Demokrasi KBR68H.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif