Angkringan
Minggu, 27 Mei 2012 - 10:50 WIB

ANGKRINGAN: Kota Pelajar, UAN Jeblok Hingga Ijazah Palsu

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pakdhe Harjo sengaja menumpuk koran langgananya edisi seminggu terakhir. Ini tidak biasa, karena tak perlu waktu lama kertas-kertas bekas itu beralih fungsi menjadi pembungkus kacang atau nasi kucing untuk  warung angkringan.

Diam-diam Nyono, sang ponakan, memperhatikan  gerak-gerik Pakdhe Harjo. Dalam hati dia membatin, pasti ada yang wigati dan menganggu pikiran pakdhenya. Maklum, 15 tahun ngenger, membuatnya tahu betul tabiat, juga cara berpikir sang maestro warung angkringan tersebut.

Advertisement

Pura-pura nggak tahu, Nyono coba membereskan tumpukan koran tadi. “Eee…kok lancang kowe iki. Mengko dhisik, jarke wae disitu!” suara keras Pakdhe Harjo menggelegar.

“Buat apa tho Pakdhe. Mung koran bekas saja. Biasanya ini kan sudah jadi sampah, setelah sukses dipakai untuk mbungkus nasi kucing. Toh Pakdhe ini juga bukan pelajar, yang ditugasi gurunya bikin kliping atau nyimpen artikel,” Nyono mencoba ngeles.

Advertisement

“Buat apa tho Pakdhe. Mung koran bekas saja. Biasanya ini kan sudah jadi sampah, setelah sukses dipakai untuk mbungkus nasi kucing. Toh Pakdhe ini juga bukan pelajar, yang ditugasi gurunya bikin kliping atau nyimpen artikel,” Nyono mencoba ngeles.

“Kamu ini nggak ngerti. Makanya baca, resapi, dan pikirkan apa isi berita koran. Cari tahu kenapa beritanya kog bikin miris ati. Kalo soal korupsi elite partai politik aku  wis gak mikirin. Tapi iki Nyon…iki…!!!,” nada bicara Pakdhe Harjo terdengar emosional.

Nyono mulai mengendor. Niatnya mengalihkan tumpukan koran ke dapur urung. Kini dia membaca judul beberapa headline Harian Jogja yang terbit sepanjang pekan ini. Ada Ijazah UGM DiBanderol Rp25 juta, DIY Terburuk di Jawa, dan Era Suram Kota Pelajar.

Advertisement

“Iya aku ngerti Pak Dhe. Tapi mbok wis, nggak usah dipenggalih dalam-dalam. Urusan gini sudah ada yang mikirin. Ngapain harus kita. Kita ini yang penting kerja biar bisa makan. Kalo soal pendidikan, kualitas dan seterusnya, biar itu diurus para pamong dan guru, mereka kan dibayar untuk itu?” Nyono coba menenteramkan suasanya.

Dijawab begitu, Pakdhe Harjo malah tambah muntab. “Kowe iki pancen ra nggenah. Sudah tahu ini menimpa kotamu, generasimu, lha kog malah ngomong kaya ngono. Jogja itu adalah barometer pendidikan. Julukannya saja Kota Pelajar, kalo anak SMA-nya paling banyak gak lulus di Jawa, Ijazah UGM dipalsu apa masih mau diam saja?”

“Aku juga tahu, bahwa sistem UAN itu banyak yang perlu dibenahi. Tapi seburuk apapun sistem ujian akhir itu, mestinya Jogja kudu linuwih dibanding daerah lain. Masak sama Banten yang provinsi baru saja kalah,” Pakdhe Harjo makin menjadi.

Advertisement

“Lha terus njuk ngapa kalo kalah sama Banten?” Nyono mulai penasaran.

“Malah tanya kenapa? Kamu tahu nggak jika pendidikan di Jogja ini kehilangan reputasi, ijazah  sarjananya meragukan maka ratusan ribu pelajar dan mahasiswa itu nggak mau ke sini,” Pakdhe Harjo makin serius.

Nyono lalu menyahut, “masak sih sampai begitu Pakdhe. Ya gak papa tho mereka nggak datang ke sini, biar kota nggak makin sumpek dan jalan-jalan nggak penuh dengan kendaraan mahasiswa dari luar kota.”

Advertisement

“Cara pikirmu itu yang keblinger Nyon. Kamu tahu ndak? Ekonomi Jogja  itu sangat mengandalkan para pelajar dan mahasiswa. Setahun lebih dari Rp3 triliun duit mengalir ke sini, semuanya dibelanjakan untuk bayar sekolah, beli sabun,  termasuk  makan di warung angkringanku ini. Mau warung sepi dan kamu nggak bayaran?”

Wuih Pakdhe ini memang pikirannya jauh kedepan. Tibane mung wedhi warungnya gulung tikar?”

“Itu cuma salah satu contoh, ben otakmu yang pendek ini bisa ngerti. Jelek-jelek gini aku peduli, kita ini nggak boleh terlena dengan sebutan Kota Pelajar lalu jumawa. Perbaikan harus terus kita lakukan, Jogja itu punya modal besar untuk menjadi yang terdepan dalam pendidikan,” sahut Pakdhe Harjo.

Mendengar petuah yang makin bijak, Nyono lalu kembali duduk dan menunggu Pakdhenya bicara lebih banyak. “Lah kowe ini kenapa malah duduk. Ayo sana kerja, mau tetap makan nggak? Wis awan.”

Nyonopun ngeloyor ke dapur, mempersiapkan dagangan untuk digelar sore ini.

Hery Trianto

Wartawan Harian Jogja

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif