Kolom
Senin, 21 Mei 2012 - 08:23 WIB

Renungan Paham Kekuasaan Jawa

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (FOTO/Ist)

Heri Priyatmoko (FOTO/Ist)

Kolumnis Solo Tempo Doeloe
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

Advertisement

Sebelum menyoal mengenai bagaimana sikap Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat setelah melakukan rekonsiliasi dan memelihara kewibawaannya, mau tak mau saya harus membuka kembali buah pena Soemarsaid Moertono bertitel Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau (Yayasan Obor, 1985).
Soemarsaid adalah ”raksasa” yang menyediakan pundaknya untuk tempat saya ”berpijak”. Hasil tesis MA yang berbobot PhD itu sukses dirampungkannya di Cornell University di bawah bimbingan pakar sejarah Asia Tenggara, Profesor Oliver Wolters, yang dikenal dingin dan cerdas.
Selain melawan rindu keluarga yang sering merajam hati, ia juga harus menghardik lelah di tubuhnya demi membulatkan konsep nagaragung Mataram, hastha brata, jumbuhing kawula lan gusti dan sederet lagi konsep tentang kekuasaan Jawa.
Tiada jemu dirinya membuka lembar demi lembar Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, Serat Rama, Gatholoco, dan Darma Gandhul untuk menjalin serat budaya kerajaan Mataram Islam abad XVI-XIX. Biar dari segi ketebalan tesis tersebut bisa terbilang tipis, akan tetapi mampu melacak dan menata kembali perkembangan dasar pemikiran bernegara dan kiat mengatur ”negara” Mataram.
Seusai diterbitkan, tesis ini ternyata menggemparkan jagat intelektual dan menjadi perbincangan mereka yang tekun menenun sejarah Jawa. Pendek kata, tak mungkin sanggup memahami dunia abstrak Keraton Mataram Islam secara utuh tanpa menyimak analisis-analisis tajam dalam kitab yang telah menjadi klasik itu.
Dalam perkembangannya, kekuasaan Mataram Islam memang terpecah belah menjadi empat, antara lain Kasunanan Surakarta, Kasultanan Ngayogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman yang disebabkan oleh faktor ego ketimbang politik licik bule Belanda. Sengketa kekuasaan terus saja terjadi. Pada gilirannya, Soemarsaid tidak pernah menyaksikan ontran-ontran perpecahan sekaligus perdamaian raja kembar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat lantaran telah tutup usia pada 1987 lalu.
Kurang lebih selama delapan tahun Istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat berkubang dalam kasus yang pelik yaitu siapa yang pantas duduk di singgasana. Selama kurun itu pula, terpaan masalah datang silih berganti dan sering kali mengundang kepedihan dan keprihatinan warga sehingga gatal untuk ikut bersuara.
Namun, apa pun komentar publik haruslah dimaknai secara positif. Artinya, pedasnya kritik dan riuhnya masukan itu justru menjadi tolok ukur masih tingginya kepedulian publik terhadap masa depan keraton pewaris dinasti Mataram Islam ini. Bagi segenap masyarakat, walau hegemoni kerajaan tradisional dinyatakan tumbang selepas negara Republik Indonesia berdiri dan wibawanya tercabik-cabik oleh gerakan brutal antiswapraja, tapi tetap saja ia adalah bagian penting dari sejarah panjang Kota Solo yang masih menyimpan ”harta karun” untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam kaitannya dengan peristiwa atau arus sejarah nasional, boleh dikatakan nasib Keraton Kasunanan Surakarta lebih tragis dibanding saudara kandungnya, Keraton Kasultanan Ngayogyakarta. Istana di Solo tidak turut merasakan ranumnya buah kemerdekaan Republik ini, walaupun leluhur mereka, Sultan Agung, Paku Buwono VI dan Paku Buwono X, kemudian hari diberi gelar sebagai pahlawan nasional atas perannya melawan penjajah kolonial Belanda.
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta dapat menikmati manisnya status daerah istimewa, di mana keraton juga berfungsi sebagai pusat politik lokal, lantaran rajanya sekaligus menempati posisi sebagai Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Akhirnya, Paku Buwono XII yang menjadi saksi tegang atas proses berdirinya Indonesia dan merelakan wilayah kekuasaannya menjadi karesidenan, harus lega dengan pemberian sebutan Sunan Mardika.
Kekuasaan keraton tinggal sakugering payung, mengikuti lingkaran tembok istana yang kekar. Juga tidak berlaku lagi pemilahan konsep kewilayahan praja kejawen seperti kutha raja, negara agung, manca negara, dan pesisiran. Kekuatan raja makin menyusut  secara drastis. Timbul pertanyaan, masih relevankah paham kekuasaan Jawa dan beberapa konsep Jawa sebagaimana yang ditulis Soemarsaid yang perlu dipegang raja demi mempertahankan wibawanya di alam Republik Indonesia kini?

Spiritual
Sifat kekuasaan Jawa sangat spiritual, namun dalam titik tertentu bisa ditelaah dengan akal sehat alias sesuai nalar. Setelah rekonsiliasi Paku Buwono XIII Hangabehi dan Paku Buwono XIII Tedjowulan, pada Rabu (16/5), kini sudah tidak ada lagi ”matahari kembar” di Keraton Kasunanan Surakarta.
Tedjowulan bersepakat meletakkan gelar Sinuhun Paku Buwono XIII dan mendapat gelar baru. Tinggal Hangabehi sebagai satu-satunya pucuk pimpinan keraton. Untuk menjalankan ”roda pemerintahan keraton” dan menjaga kelestarian wibawa agar tidak melorot, mestinya Paku Buwono XIII Hangabehi menerapkan konsep Jawa yang kiranya relevan dan dianggap paling pokok.
Salah satunya adalah hastha brata yang merupakan nasihat atau piwulang bagi seorang raja dalam melakoni kehidupan. Hastha brata atau astha brata berarti ”delapan kebijakan” yang menghimbau raja berbuat kebajikan seperti delapan dewa, yaitu Endra, Surya, Bayu, Kuwera, Baruna, Jana, Candra dan Brahma.
Fachry Ali dalam bukunya Refleksi Paham Kekuasaam Jawa dalam Indonesia Modern (1986) yang juga mengutip Soemarsaid turut menyebutkan bahwa pada dasarnya astha brata mengajarkan tentang moral berkuasa, kebajikan-kebajikan yang harus direalisasikan, tantangan-tantangan yang harus dihadapi dan sikap diri yang bijak, senyum dan meluruskan yang bengkok-bengkok, berbuat baik dan bertindak bijaksana kepada rakyat (abdi dalem). Raja dituntut untuk memberikan teladan yang bagus dan menunjukkan rasa perdamaian yang mendalam.
Raja tidak sekadar figur penguasa yang mempunyai otoritas sekuler yang luas, namun sekaligus kekuatan spiritual dan kekuatan sosial. Sebagai emanasi dari kekuatan spiritual, kekuatan sekuler dan kekuatan sosial, raja merupakan kekuatan transendental yang berfungsi sebagai sokoguru masyarakat yang tugas utamanya menjaga keutamaan nilai-nilai keutamaan Jawa. Apabila raja menyimpang dari hastha brata dan norma kesusilaan, bukan hanya wibawanya yang, tetapi juga akan menjadi satria wirang.
Raja di era kontemporer harus mampu mengatur kelakuan sosialnya menurut tata karma sopan santun. Dengan ini ia akan menguasai lahiriahnya. Kecerdasan emosional dan spiritual lebih diutamakan. Raja menemukan keseimbangan batin dengan cara menenangkan perasaan-perasaannya menjadi kesatria pinandhita, seorang kesatria yang sekaligus menjadi guru rohani. Dengan begitu, jagat cilik-nya (keraton) tidak akan mengalami berbagai kegoncangan. Masyarakat hormat kepadanya, keraton juga kajen.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif