Kolom
Kamis, 10 Mei 2012 - 08:17 WIB

Sekolah Menyeleksi Orangtua

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Imam Subkhan (FOTO/Dok)

Imam Subkhan (FOTO/Dok)

Pelaksana Humas Yayasan
Lembaga Pendidikan
Al Firdaus Solo

Advertisement

Tidak lama lagi, penerimaan siswa baru reguler Tahun Pelajaran 2012/2013 di Kota Solo dan sekitarnya dimulai. Khusus untuk program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), akselerasi dan penerimaan siswa baru dari keluarga miskin sudah dilaksanakan. Sedangkan untuk sekolah swasta, penjaringan siswa baru sudah dilakukan jauh hari, bahkan saat ini sudah ada yang penuh daya tampungnya.
Hampir semua orangtua berharap anaknya dapat belajar di sekolah-sekolah favorit, baik negeri maupun swasta, yang dinilai memiliki banyak keunggulan dibandingkan sekolah lainnya. Orangtua tidak segan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas bagi sang buah hati.
Sesungguhnya apa yang diharapkan orangtua atas segudang ekspektasi dari anak-anaknya adalah hal yang wajar. Tetapi kadangkala, harapan yang setinggi langit itu tidak dibarengi upaya dan peran yang maksimal dari orangtua dalam pendidikan anak. Seolah-olah orangtua lupa bahwa anak sebenarnya lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan rumah, tidak dengan sekolah. Karakter anak lebih banyak diwarnai oleh keluarga yang selama ini dilihat, didengar dan dirasakan.
Kini, anak lebih dijadikan simbol kebanggaan dan prestise semata, terutama ketika mereka meraih juara atau prestasi tertentu. Anak hanya menjadi aset untuk dieksploitasi, demi memuaskan ambisi orang-orang dewasa di sekelilingnya. Sebaliknya, ketika anak tidak bisa mencapai apa yang diharapkan orangtua, semua kesalahan dan kegagalan tertumpah pada diri anak.
Jika dicermati lebih dalam, betapa banyak kasus kenakalan anak atau remaja lebih karena kondisi keluarga yang tidak kondusif dan tidak harmonis. Kata-kata kasar, bahkan sampai pada kekerasan fisik, menjadi pemandangan yang biasa bagi anak-anak. Hak-hak sebagai anak yang selayaknya dinikmati terampas oleh keegoisan ayah dan ibu yang telah melahirkannya. Pendidikan di keluarga yang semestinya menjadi yang pertama dan utama harus tergadaikan.
Berdasar pemikiran di atas, berarti bukan hanya anak yang dituntut belajar, tetapi justru orangtua yang harus belajar untuk menjadi orangtua yang baik dan benar. Dipandang dari sudut mana pun, orangtua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak. Mau jadi apa anak kelak, semua sangat tergantung torehan sang ayah dan ibu sejak lahir hingga dewasanya.

Komitmen
Paradigma dan konsep tentang tanggungjawab pendidikan anak harus digeser. Selama ini yang dipahami masyarakat adalah sekolah menjadi pilar utama pendidikan anak, sedangkan orangtua atau keluarga sekadar pendukung. Ada orangtua yang menganggap bahwa persoalan pendidikan anak hanya sebatas penguasaan pelajaran-pelajaran sekolah. Peran mereka di rumah hanya membantu menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) dan tugas-tutas sekolah lainnya. Jika orangtua kesulitan mendampingi anak belajar, mereka tinggal memanggil guru privat ke rumah untuk mengajari anaknya.
Pandangan seperti itu yang harus diubah. Orangtua harus memosisikan diri sebagai pendidik utama. Sekolah sekadar membantu mengoptimalkan bakat dan potensi anak. Pendidikan di rumah sebaiknya diarahkan pada penanaman karakter yang mengacu pada pendidikan agama yang kuat. Sudah saatnya peran orangtua di dalam pendidikan anak diformalkan atau dilembagakan, bukan lagi sekadar imbauan atau ajakan.
Pihak sekolah harus memulainya karena sebagai institusi yang berhubungan langsung dengan orangtua. Langkah awalnya adalah saat penerimaan siswa baru. Selain mengadakan tes seleksi anak dengan standar yang diterapkan, pihak sekolah juga menyeleksi orangtua melalui wawancara khusus.
Isinya berupa persetujuan sekaligus penandatanganan kontrak kerja sama tentang komitmen dan tanggung jawab mendidik anak. Selama ini yang terjadi, pihak sekolah mewawancarai orangtua hanya membahas berapa besar sumbangan atau pungutan. Selebihnya hanya basa-basi ajakan kepada orangtua untuk selalu mendukung pendidikan anak.
Dalam kontrak kerja sama tersebut harus ditulis secara rinci butir-butir kesepakatan antara orangtua dengan pihak sekolah. Pertama, orangtua diminta menyepakati visi, misi dan tujuan pendidikan sekolah tersebut. Setiap institusi pendidikan selalu memiliki visi dan misi yang berbeda sesuai potensi, kultur dan lingkungan, termasuk cita-cita pendirinya, jika itu sebuah yayasan pendidikan.
Visi dan misi sekolah ini mengarahkan kepada profil output yang ingin dihasilkan. Sebelum memutuskan memilih sekolah untuk putra-putrinya, orangtua seharusnya memahami secara detail profil sekolah yang dituju. Konsekuensi dari kesepakatan ini adalah orangtua harus mendukung dan bepartisipasi aktif terhadap semua kebijakan dan program-program sekolah, selama itu demi kepentingan pendidikan anak.
Kedua, orangtua diminta menjalin komunikasi secara intensif dengan pihak sekolah melalui berbagai media yang disediakan. Segala permasalahan yang muncul terkait diri anak, entah itu datangnya dari rumah atau sekolah, harus terkomunikasikan dan terpecahkan dengan baik. Media komunikasi tersebut bisa berbentuk forum pertemuan, baik secara kelompok maupun individual, buku catatan kegiatan peserta didik yang setiap hari diisi oleh guru kelas dan orangtua, serta media komunikasi berbasis teknologi informasi lainnya, seperti telepon, SMS atau pemanfaatan situs jejaring sosial di internet.
Kedua belah pihak harus mau jujur dan terbuka mengenai kondisi anak sehingga penanganannya dapat optimal. Sejak awal masuk, orangtua harus jujur mengenai kondisi anak, seperti perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, termasuk jika ada gangguan psikologis dan kebiasaan-kebiasaan anak lainnya.
Ketiga, orangtua harus menciptakan suasana yang kondusif untuk pembelajaran anak di rumah. Mereka harus menyadari bahwa segala perkataan, sikap, dan tingkah laku selalu diperhatikan dan dicontoh oleh anak, terlebih anak usia prasekolah dan sekolah dasar. Semua program dan pembiasaan yang positif di sekolah harus didukung dan dilanjutkan di rumah.
Keempat, sanksi-sanksi yang diberikan jika orangtua tidak melakukan peran sesuai yang disepakati. Sanksi di sini bahkan sampai dengan ketika sekolah harus mengeluarkan anak untuk kasus-kasus tertentu. Dan yang menjadi pertimbangan utama dalam mengeluarkan siswa adalah seberapa kuat komitmen dan tanggung jawab orangtua dalam proses pendidikan anak.
Ketika seorang murid melakukan penyimpangan tidak serta-merta divonis bersalah sebagaimana orang dewasa. Mereka melakukannya bisa jadi karena belum tahu, meniru, atau sekadar coba-coba, dari apa yang dilihat dan didengarnya. Jadi, orang-orang dewasa di sekitarnyalah yang harus bertanggung jawab.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif