Kolom
Senin, 23 April 2012 - 09:08 WIB

Kebijakan Publik Harus Memihak Konsumen

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi


Bambang Ary Wibowo

Wakil Ketua Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Solo

Advertisement

Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa setiap 20 April diperingati sebagai Hari Konsumen Nasional (HKN). Sedangkan setiap 15 Maret diperingati sebagai Hari Hak Konsumen Sedunia yang awalnya dilandasi pernyataan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy.
Pernyataan yang melatarbelakangi dideklarasikannya Hari Hak Konsumen Sedunia tersebut ada dua yaitu, pertama, konsumen adalah kelompok ekonomi terbesar dalam masyarakat yang dapat dipengaruhi maupun memengaruhi hampir setiap keputusan ekonomi yang dibuat pemerintah (publik) maupun swasta. Kedua, konsumen memiliki hak yang harus dilindungi.
Perlu diketahui jika kita melihat hak-hak yang dimiliki konsumen merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Indonesia sudah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan diwujudkan dalam bentuk UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kita bisa melihat bagaimana hak untuk mendapatkan persamaan dalam hukum serta hak memperoleh informasi merupakan bagian dari hak konsumen yang dilindungi oleh pemerintah. Tulisan ini akan menyoroti bagaimana kebijakan publik di tataran pemerintah daerah yang tidak menutup kemungkinan timbul di Kota Solo ini yang belum memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen.
Menjadi suatu keharusan bagi pemerintah untuk melindungi hak-hak yang dimiliki konsumen dalam setiap kebijakan publik yang diambilnya. Sebelum lebih jauh, kami akan membuka pemahaman tentang posisi ”pelaku usaha” dalam setiap kebijakan publik.
Jika kita membaca Pasal 1 ayat (3) UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diterangkan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pasal ini dengan tegas menandaskan pelaku usaha termasuk di dalamnya adalah badan usaha. Bahwa badan usaha mencakup badan usaha milik negara/daerah yang di dalamnya termasuk pelaksana atau unit-unit yang ditugaskan menjalankan prinsip-prinsip keekonomian yang wewenangnya dimiliki oleh pemerintah daerah.
Bahkan dalam pasal ini ditegaskan dengan jelas dan tegas bahwa pelaku usaha adalah yang menjalankan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Tidak disebutkan apakah kegiatan usahanya bersifat profit (keuntungan) murni maupun nonprofit. Semua tetap dinyatakan sebagai pelaku usaha.
Suatu kebijakan yang mengakibatkan pungutan baik dalam bentuk pajak maupun retribusi wajib hukumnya memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen. Salah satu contoh kasus yang muncul di kota Solo, bahkan tidak menutup kemungkinan di wilayah lainnya, adalah munculnya tunggakan pembayaran pajak penerangan jalan umum (PPJU) serta perparkiran.
Persoalan tunggakan PPJU yang sempat menjadikan beberapa bagian Kota Solo gelap gulita pada Desember tahun lalu menunjukkan kebijakan publik justru merugikan masyarakat yang merupakan konsumen tidak langsung dari PLN. Masyarakat membayar pungutan pajak yang setiap bulan melalui tagihan listrik, namun justru masyarakat yang terkena akibat tunggakan pembayaran PJU oleh pemerintah kepada PLN.
Beberapa anggota masyarakat sempat menanyakan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Solo, bahkan di antara mereka ada yang akan mengajukan gugatan baik kepada PLN maupun Pemerintah Kota Solo. BPSK Kota Solo berpijak pada realitas bahwa konsumen langsung dari PJU adalah Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Penentuan titik-titik PJU merupakan kesepakatan antara Pemkot Solo dan PLN. BPSK Kota Solo menolak pengajuan gugatan kepada PLN.
Bagaimana dengan gugatan kepada Pemkot Solo? BPSK Kota Solo mendasarkan analisis pada UUPK dan melihat fakta hukum yang ada bahwa setoran PPJU ternyata tidak langsung diterima Pemkot Solo dari masyarakat selaku konsumen listrik. PPJU diterima Pemkot melalui PLN yang dananya masuk menjadi pendapatan asli daerah (PAD).
Namun, yang harus menjadi perhatian pemangku kebijakan bahwa saat setoran PPJU itu masuk dalam kas daerah tentu harus dipikirkan penggunaannya. Pemkot Solo tak seharusnya tidak berdalih PPJU masuk sebagai PAD dan tidak lagi ketahuan pemasukan itu berasal dari mana sehingga muncul tunggakan pembayaran PJU di Kota Solo.
Di sinilah terlihat tidak adanya keterbukaan informasi yang menjadi ranah publik dan dilindungi UUPK maupun UU tentang HAM. Masyarakat yang membayar langsung pajak tersebut memiliki hak untuk mengetahuinya.

Pihak Ketiga

Dalam hal penarikan retribusi parkir tanggung jawab atas perlindungan konsumen tetap menjadi beban Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perparkiran. UU tentang Pajak dan Retribusi Daerah menegaskan bahwa pemungutan retribusi seharusnya dilakukan langsung oleh Pemkot Solo dan bukan diserahkan kepada pihak ketiga.
Yusuf Shofie, salah satu ahli hukum perlindungan konsumen, dalam bukunya Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya menandaskan bahwa pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan kepada pihak ketiga. Demikian pula dengan kegiatan penghitungan besaran retribusi, pengawasan, penyetoran retribusi dan penagihan retribusi tidak dapat dikerjakan dengan mengikutsertakan pihak ketiga.
Dengan demikian UPTD Perparkiran tidak bisa  menyatakan pertanggungjawaban atas perlindungan hak-hak konsumen sudah menjadi tanggung jawab sepenuhnya pihak ketiga. Jelas ditegaskan tugas pokok instrumen pengawasan dan penagihan retribusi menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam hal ini unit kerja yang ditunjuk.
Retribusi yang ditarik tersebut seharusnya dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan jalan dan sebagainya, termasuk dalam hal ini tanggung jawab hukum jika terjadi kehilangan kendaraan yang diparkir di di tempat yang dikelola oleh UPTD Perparkiran (yang melibatkan pihak ketiga).
Terhadap unit kerja yang ditunjuk untuk memungut ini masih bisa dikenakan tanggung jawab atas pelaksanaan retribusi parkir tersebut. BPSK Kota Solo sebagai lembaga publik memiliki kewenangan untuk meminta informasi, keterangan hingga data yang diperlukan jika terjadi pelanggaran.
Informasi tentang siapa pihak ketiga yang ditunjuk sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam penarikan retribusi parkir mutlak harus diinformasikan kepada masyarakat. Informasi iti tak boleh ditutupi. Ini sesuai ketentuan dalam UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan UUPK.
Yang harus diperhatikan saat ini adalah penetapan peraturan daerah yang disusun oleh pihak eksekutif dan legislatif karena hampir semua daerah melupakan UUPK sebagai salah satu unsur dalam diktum ”mengingat” dalam peraturan yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat sebagai konsumen saat penyusunan peraturan daerah (legal drafting).
Semoga Hari Konsumen Nasional ini tidak hanya sebagai ritual dalam kehidupan bangsa ini, tetapi bagaimana bisa diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan di tengah masyarakat. Harapoannya, hak-hak konsumen benar-benar dilindungi tidak hanya dalam hubungan keekonomian antara pelaku usaha swasta dengan masyarakat.
Pemerintah harus memulainya dalam setiap aspek kebijakan publik yang memiliki hubungan dengan masyarakat sebagai konsumen. Pemerintah harus memulai mewujudkan kepedulian atas hak-hak konsumen, yaitu hak masyarakat atau hak publik yang dilayani pemerintah, termasuk pemerintah daerah.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif