Angkringan
Minggu, 22 April 2012 - 09:58 WIB

ANGKRINGAN: Kisah Kartini dan Bernard

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pemandangan di Angkringan Pakdhe Harjo malam itu tampak beda. Seorang gadis berusia sekitar 21 tahun duduk di kursi sisi kiri. Dari penampilannya gadis itu begitu modis. Perpaduan rok dengan blazer menunjukkan dia seorang pekerja. Samar-samar karena hanya diterangi lampu redup tampak juga rambut perempuan itu dicat dengan warga kemerah-merahan. Tetapi hal itu tidak mengurangi keanggunannya.

Sudah hampir satu jam wanita itu duduk di tempat tersebut. Bahkan es teh gelas kedua sudah hampir habis. Sudah beberapa hari terakhir cuaca Jogja memang enggak begitu nyaman. Siang begitu terik, sementara malam juga begitu gerah. Jadi wajar jika es teh menjadi minuman paling laris di angkringan Pakdhe Harjo. Dua orang pengunjung setia angkringan Noyo dan Suto pun juga beralih selera memilih minuman tersebut pada malam itu.

Advertisement

Dan seperti biasa, obrolan tanpa alur pun mengalun di bawah tenda biru khas Pakdhe Harjo. Beberapa kali mereka yang ada di tempat itu tertawa lepas. Tetapi pada satu waktu terlihat serius. Tertawa lagi, serius lagi. Begitu seterusnya. Wanita yang menjadi pengunjung baru tempat itu pun sesekali ikut nimbrung menyampaikan pendapatnya.

“Eh Mbak, maaf kita sudah ngobrol dari tadi. Tapi kok belum tahu namanya. Boleh dong kenalan,” kata Noyo tiba-tiba.

“Kartini, Mas,” jawab wanita itu dengan suara pelan.

Advertisement

“Ooo Kartini. Kalau saya Noyo. Teman saya ini Suto. Lha yang duduk di dekat tungku itu Pakdhe Harjo. Dia bosnya angkringan ini,” sahut Noyo lagi.

“Namanya siapa mbak? Kartini?” kali ini Suto yang bertanya.

“Iya,” katanya.

“Asli mana Mbak,” tanya Suto lagi.

Advertisement

“Jakarta,” jawabnya lagi.

“Ah enggak pantes. Mbaknya masih muda. Asli Jakarta masa namanya Kartini. Chaterine mungkin?” sambil bicara Suto kembali mengambil mendoan untuk kesekian kalinya

“Enggak kok. Kartini,” jawab gadis itu lagi.

“Lha ngopo Le, kok ra pantes ki?” setelah dari tadi diam, Pakdhe Harjo pun angkat bicara.

Advertisement

“Ya wangune nek Mbaknya ini namanya Sisca, Nikita, atau Chaterine dan semacamnya. Kartini kan nama masa lalu. Kalaupun masih ada biasanya untuk orang-orang desa,” jawab Suto lagi.

“Tapi benar juga sih omongan Suto itu Dhe. Mbaknya ini paling usianya 21 tahun. Memang tidak pantes bernama Kartini,” tambah Noyo.

“Kalian tidak bisa begitu. Ada apa dengan nama Kartini sehingga dianggap tidak layak lagi dipakai masa sekarang? Apa bedanya nama Kartini sama Chaterine?” tanya Pakdhe Harjo.

“Ya kesannya kan kalau Chaterine itu modern Dhe. Wanita sukses, kaya dan cantik. Kalau Kartini itu lugu, kerja di dapur, jualan di pasar dan sejenisnya,” jawab Suto.

Advertisement

“Ah, ngawur kamu. Itu kan hanya nama. Malah Kartini asli nama Indonesia. Kamu sudah ketularan orang-orang yang lupa dengan dirinya sendiri Le. Lebih memilih hal-hal yang berbau negara orang lain. Padahal milik sendiri tidak kalah hebat dan baiknya,” sergah Pakdhe Harjo.

Untuk sejenak pembicaraan terhenti karena datang seorang pembeli. Setelah melayaninya, Pakdhe Harjo kembali meneruskan pidatonya.

“Itulah masalah kita. Lali asal usule. Lali sangkan paraning dumadi. Karena lupa asal usulnya, akhirnya jalannya pun tidak jelas arahnya. Sesuatu yang baru datang langsung diikuti tanpa pikir panjang. Lha kalau seperti itu lalu disebut apa kita itu? Manusia tanpa akar budaya,” ujarnya.

“Ujung-ujungnya, pikiran kita juga tersumbat. Orang lain bisa bikin mobil, kita masih saja cuma bisa beli. Orang lain sudah bisa terbang ke angkasa luar, kita cuma ndomblong saja. Karena itu tadi. Lupa pada siapa diri kita dan akhirnya cuma nyontek dan niru saja,” lanjutnya.

“Hmmm…masa gitu sih?” kali ini Kartini yang bertanya.

“Lho coba saja perhatikan Mbak. Bangsa kita tidak bisa maju karena lebih suka meniru daripada membuat? Kenapa meniru? Karena merasa yang bukan milinya itu hebat. Malu dengan dirinya sendiri. Coba kalau mau benar-benar mengingat dan mengamalkan ajaran Gadjah Mada, atau Panembahan Senopati. Atau juga Kartini, pasti kita tidak jadi seperti sekarang ini” kata Pak Dhe Harjo.

Advertisement

Mendengar hal itu Suto dan Noyo cuma manthuk-manthuk. Dalam hati mereka malu karena sudah meremehkan diri sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara telepon genggam berdering. Kartini segera membuka tas kecilnya dan menerima panggilan masuk ke ponselnya tersebut.

“Iya, saya tunggu di angkringan sebelah utara jalan ya Ber. Ok,” kata Kartini.

Tidak sampai lima menit sebuah mobil mewah berjalan menepi dengan pelan. Seorang laki-laki bergegas turun dan menemui Kartini.

“Maaf Bu, menunggu lama. Dua ban kena paku jadi lama menggantinya. Maaf,” katanya dengan penuh kesopanan.

“Tidak apa-apa. Eh, ini kenalkan sopir saya. Namanya Bernard,” katanya Suto, Noyo dan Pakdhe Harjo.

“Saya minta pamit. Ini Pakdhe. Kembaliannya buat bayar teman-teman saja,” kata Kartini sambil menyerahkan selembar ratusan ribu.

“Mbak sebenarnya sampeyan itu kerjanya di mana to?” Suto masih sempat bertanya.

Sambil tersenyum Kartini cuma menjawab. “Cuma wiraswasta kok Mas,” katanya merendah. Sopir bernama Bernard itu cuma tersenyum. Sesaat kemudian wanita itu pun sudah meluncur dengan mobil mewahnya. Sementara Suto dan Noyo cuma terbengong-bengong.

“Nah Le, makane jangan meremehkan Kartini. Itu ada Kartini punya sopir bernama Bernard,” kata Pakdhe Harjo sambil senyum kecil.

Amiruddin Z

Wartawan Harian Jogja

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif