News
Jumat, 20 April 2012 - 08:06 WIB

MYANMAR: Kisah Belalang dan Demokrasi yang Baru Mekar...

Redaksi Solopos.com  /  Tutut Indrawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aung San Suu Kyi (Reuters)

Aung San Suu Kyi (Reuters)

Seekor belalang ditangkap lalu dimasukkan ke dalam sebuah gelas. Kemudian bagian atas gelas ditutup rapat menggunakan kertas. Merasa terkungkung, si belalang berusaha sekuat tenaga untuk terbang menembus kertas yang menutup kebebasannya.

Advertisement

Berulang kali ia melompat, namun setiap kali itu pula ia kembali terempas ke dasar gelas. Lama kelamaan, si belalang tak lagi melompat dan memilih berdiam diri di dasar gelas.

“Dan saat kertas itu dilepas dari gelas, belalang tetap tak beranjak dari tempatnya. “Mengapa? Karena secara psikologis, belalang masih merasa ada kertas menutupi permukaan gelas, sehingga ia diam saja, padahal kenyataannya tidak ada. Saya khawatir ini juga terjadi pada masyarakat kami, rakyat Myanmar yang baru saja mendapatkan kebebasan setelah sekian lama hidup di bawah bayang-bayang rezim militer,” ungkap Zeya Thu, Deputy Chief Editor The Voice Weekly, sebuah surat kabar mingguan terkemuka di negaranya Aung San Suu Kyi itu, Kamis (19/4/2012) malam di Traders Hotel Singapura.

Advertisement

“Dan saat kertas itu dilepas dari gelas, belalang tetap tak beranjak dari tempatnya. “Mengapa? Karena secara psikologis, belalang masih merasa ada kertas menutupi permukaan gelas, sehingga ia diam saja, padahal kenyataannya tidak ada. Saya khawatir ini juga terjadi pada masyarakat kami, rakyat Myanmar yang baru saja mendapatkan kebebasan setelah sekian lama hidup di bawah bayang-bayang rezim militer,” ungkap Zeya Thu, Deputy Chief Editor The Voice Weekly, sebuah surat kabar mingguan terkemuka di negaranya Aung San Suu Kyi itu, Kamis (19/4/2012) malam di Traders Hotel Singapura.

Bersama Aung Tun, pegiat LSM di Myanmar, keduanya berbicara soal masa depan Myanmar dalam acara yang disponsori Temasek Foundation bertema Forum on Media and Political Change in Myanmar yang juga dihadiri jurnalis SOLOPOS.

Kekhawatiran Zeya Thu memang cukup beralasan. Kebebasan yang didapatkan rakyat Myanmar dari cengkeraman rezim militer yang otoriter bukanlah akhir dari sebuah perjuangan puluhan tahun dan sudah memakan banyak korban, termasuk yang dialami Suu Kyi.

Advertisement

“Pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita lakukan, apa yang seharusnya kita lakukan. Kebebasan ini bisa menjadikan kami lebih bermartabat atau justru membuat kami tampak bodoh karena gagal memanfaatkannya untuk kepentingan negeri ini,” lanjut pria penulis buku tentang Jenderal Aung San (ayah Aung San Suu Kyi-red) ini.

Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Meski terbit optimisme akan masa depan yang lebih baik bagi Myanmar, tetap saja keraguan membayangi. Myanmar memang sungguh tertinggal di banding negara-negara Asia Tenggara lainnya. Myanmar butuh banyak orang-orang terpelajar, ahli-ahli ekonomi modern dan anak-anak muda melek politik untuk mempercepat pembangunan di negara yang mayoritas penduduknya hidup sebagai petani ini.

Dibutuhkan pula generasi yang melek teknologi karena itu menjadi sebuah keniscayaan dalam pembangunan sebuah negara.

Advertisement

“Ada lelucon seperti ini. Di negeri kami, akses internet paling cepat ada di parlemen. Karena hanya sedikit sekali anggota parlemen yang mengakses internet, sementara mayoritas tak bisa internet. Mereka ini sudah terlalu tua untuk duduk di parlemen,” jelas Aung Tun, kolumnis di Myanmar Times dan peneliti di Myanmar Egrees, dalam kesempatan yang sama.

Lebih jauh Aung Tun menyatakan 35 juta-40 juta rakyat Myanmar ada dalam reading age. Namun mereka sama sekali tak terjangkau media, yang semestinya bisa ikut berfungsi mendidik mereka.

“Anak-anak muda yang lahir pada 1990-an bahkan tidak tahu ‘kecantikan’ demokrasi, federalisme, dan beragam kegiatan politik yang semestinya mereka harus tahu. Ini karena pendidikan untuk rakyat sangat rendah. Siapa yang bisa memastikan demokrasi yang baru mekar ini, tidak layu begitu saja?” tanya Aung Tun.

Advertisement

Dua jurnalis Myanmar yang mendapat beasiswa di Asia Journalism Fellowship 2012 di Singapura, Myo Myat Myat Tun dan Tu Tu Tha menyuarakan hal yang sama. Di satu sisi, mereka bahagia karena Myanmar kini lebih terbuka dan bebas. Namun mereka juga tidak tahu akan seperti apa Myanmar ke depan dengan kebebasan ini.

“Saat kami nonton film The Lady, kami semua menangis, karena kami sangat mencintai Aung San Suu Kyi. Kami hanya berharap kebebasan yang diperjuangkan selama ini, benar-benar memberikan sesuatu yang lebih baik bagi rakyat Myanmar.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif