Kolom
Selasa, 17 April 2012 - 14:40 WIB

Kesalahan Besar dalam Pendidikan Kita

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Al Iklas Kurnia Salam

Mahasiswa Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Advertisement

Kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan (Tan Malaka).

Pendidikan. Itulah tuntutan pertama RA Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon. Pendidikan pula yang melatar belakangi Mohamad Hatta menggagas Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) bersama Sutan Sjahrir. Bung Hatta berujar dalam memoarnya: dengan memerdekakan jiwa rakyat melalui pendidikan, kemerdekaan fisik bagi bangsa Indonesia akan mudah diperoleh.
Begitu besarnya peran pendidikan bagi berlangsungnya sebuah bangsa hingga kaisar Jepang setelah melihat Kota Hiroshima dan Nagasaki hancur karena dibom atom bertanya pada para pembantunya: berapa jumlah guru yang masih tersisa? Pernyataan kaisar Jepang tersebut mengambarkan tipe seorang pemimpin yang sungguh-sungguh peduli dengan pendidikan negerinya.
Pendidikan bagi sebuah negara memang sangat penting. Pendidikan diselenggarakan bukan hanya untuk menyediakan tenaga kerja bagi industri-industri besar. Bukan pula ditujukan untuk mencetak manusia-manusia berotak pintar yang mampu menguasai teknologi. Tapi, lebih dari itu. Pendidikan diselengarakan sebagai sarana efektif bagi penumbuhan kesadaran kritis. Pendidikan juga dimaksudkan sebagai alat pembebasan manusia, yang dalam istilah Paoulo Freirre disebut ”memanusiakan manusia”.
Peran pendidikan yang mampu melaksanakan tugas-tugas pembebasan manusia seperti itu, menurut Tan Malaka, hanya bisa dicapai melalui pendidikan kerakyatan. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pengejaran skor dalam kerangka the banking concept of education bukan termasuk dalam pendidikan kerakyatan. Pendidikan model ini lebih mirip ”pendidikan yang berdiri atas didikan yang berdasarkan kemodalan” (Tan Malaka,  1921).
Pendidikan gaya bank hanya mendidik manusia secara material sehingga memiliki kekosongan jiwa. Pendidikan gaya bank juga akan melahirkan manusia-manusia yang tertekan secara mental. Manusia seperti ini bisa dipastikan akan berubah menjadi sosok yang memiliki mental inlander atau jika tidak, akan menjadi manusia yang siap menindas manusia lainya.

Salah Urus
Jika saat ini kondisi negara kita masih sama seperti kondisi 40 tahun yang lalu, memiliki prospek ekonomi yang baik tanpa adanya status ekonomi yang sudah baik, maka kita patut bertanya: apa yang sebenarnya telah kita capai selama 40 tahun belakangan? Kenapa kita selalu berakhir pada potensi kesejahteraan tanpa bisa menikmati kesejahteraan secara nyata? (Sri Edi Swasono, 2012)
Seandainya Bung Hatta atau Bung Sjahrir ditanya tentang hal tersebut, mungkin kita akan mendapatkan jawaban yang hampir pasti yaitu: kita telah melakukan kesalahan besar dengan menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi.
Pendidikan kita saat ini adalah bagian dari lahan bisnis. Prinsip-prinsip bisnis berlaku di sini. Bagi Anda yang punya uang silakan sekolah dan kuliah. Tapi, bagi Anda yang tak punya uang, silakan cari uang dahulu, baru anda boleh bersekolah. Begitu pemeo yang sering kita temui dalam masyarakat umum.
Akibatnya, kita bisa melihat betapa banyak anak wajib sekolah yang tak bisa pergi sekolah. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 secara jelas tertulis ”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Hal itu juga berarti, pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan bagi setiap warganya.
Jika kita membaca realitas yang ada, iktikad baik pemerintah untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang baik bagi warganya belum dapat kita lihat. Kita malah melihat upaya-upaya yang lebih canggih untuk mengapitalisasikan pendidikan.
Setelah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dicabut berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010, kini pemerintah mencoba meliberalisasikan pendidikan melalui Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT). Melalui RUU PT pemerintah memberi jaminan bagi perguruan tinggi asing yang ingin membuka program studi di Indonesia. Dampaknya, antarperguruan tinggi akan ada persaingan yang lebih ketat. Dalam hal ini akan berlaku pula prinsip ekonomi. Siapa yang besar akan mampu bersaing dan bertahan. Siapa yang kecil akan tertinggal dan gulung tikar.
Hal-hal seperti itu adalah gejala-gelaja umum yang mengindiksikan pemerintah belum mampu mengelola pendidikan secara baik. Pendidikan dikelola secara salah hingga mutu pendidikan kita tak beranjak dari negara-negara berkembang. Lihat saja data Education For All (EFA) Global Monitoring Report. Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-69 dari 126 negara (kompas.com).
Membangun Kembali
Dalam buku Pendidikan dan Pengajaran Nasional, Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa dalam pendidikan harus diingat kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung pada orang lain (onafhankelijk) dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschhikking).
Pendidikan yang merdeka seperti imbauan Ki Hajar Dewantara tidak mungkin kita capai jika kita masih menerapkan paradigma neoliberal pada sistem berpikir kita. Ukuran-ukuran yang menilai manusia sekedar  homo eoconomicus yang harus selalu bersaing tidak cocok dengan gagasan pendidikan ala Taman Siswa. Selama paradigma neoliberal masih kita pakai dalam sistem pendidikan kita, selama itu pula kita tidak akan menjadikan nilai kemanusiaan sebagai titik sentral dalam perencanaan pendidikan.
Kritik terhadap sistem pendidikan nasional dan cara-cara pelaksanaan yang dilakukan pemerintah ada baiknya juga diimbangi dengan mendirikan pendidikan alternatif. Pada titik ekstrem tertentu, ketika kritik kita selalu terbentur pada dinding birokrasi, ada baiknya kita anggap saja sistem pendidikan yang diselenggarakan pemerintah layaknya sekolah ala pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Para pegiat pendidikan seyogianya memilih sikap seperti Sjahrir, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, Kartini, Soekarno dan lain sebagainya untuk mendirikan sekolah alternatif ketika semua jalan untuk memperbaiki sistem pendidikan sudah buntu.
Kita bisa membayangkan seandainya ada 100 orang tokoh nasional yang benar-benar peduli tentang masalah pendidikan berkumpul dan berdiskusi, mungkin Sekolah Dasar Rakyat (SD Rakyat), Sekolah Menengah Pertama Rakyat (SMP Rakyat), Sekolah Menengah Atas Rakyat (SMA Rakyat) dan Universitas Rakyat bisa dengan mudah kita dirikan. Dengan begitu harapan kita untuk memperoleh pendidikan murah yang humanis akan terpenuhi. Mungkin begitu.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif