Lifestyle
Selasa, 10 April 2012 - 13:14 WIB

BATOK: Buka Lapangan Kerja Dengan Batok

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Espos/Adib Muttaqin Asfar

Espos/Adib Muttaqin Asfar

Jika ada orang yang berupaya mengurangi pengangguran dengan sampah, Sigit Wahyu Nugroho adalah salah satu contoh terbaik. Pemuda yang masih tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Hukum UNS ini memberdayakan beberapa pemuda di Kampung Kauman untuk memproduksi kerajinan dari batok atau tempurung kelapa.

Advertisement

Semua berawal dari keprihatinannya melihat pemuda di kampungnya yang susah mendapatkan pekerjaan. Dari situlah Sigit berusaha mencari ide usaha agar bisa melibatkan para pemuda di sekitar rumahnya. Dia berkeliling Pasar Malam Ngarsapura untuk melihat-lihat kerajinan yang mungkin bisa dibuatnya. “Saya mencari sesuatu yang harganya murah tapi bisa dijual mahal,” kata Sigit saat ditemui di rumahnya, Jl Trisula II No 21, Kauman, Solo, Sabtu (7/4) lalu.

Hingga suatu saat dia menemukan satu bahan mentah sebagai bahan kerajinan, yaitu tempurung kelapa yang sering dijadikan sampah. Pada awal 2011, Sigit mulai memproduksinya kecil-kecilan dan menjualnya sendiri ke Ngarsapura. “Awalnya saya cuma membuat gantungan kunci kecil-kecil dan bros. Saat itu cuma bikin 50, setelah itu saya jual di Ngarsapura dan ternyata habis,” kata Sigit.

Advertisement

Hingga suatu saat dia menemukan satu bahan mentah sebagai bahan kerajinan, yaitu tempurung kelapa yang sering dijadikan sampah. Pada awal 2011, Sigit mulai memproduksinya kecil-kecilan dan menjualnya sendiri ke Ngarsapura. “Awalnya saya cuma membuat gantungan kunci kecil-kecil dan bros. Saat itu cuma bikin 50, setelah itu saya jual di Ngarsapura dan ternyata habis,” kata Sigit.

Sadar bahwa kerajinan buatannya laku di pasaran, Sigit mencoba membuat yang benda berukuran lebih besar. Dia mulai membuat miniatur becak, tempat permen, wadah tisu, bahkan tas dari batok dan benda fungsional lainnya. Pesanan pun bertambah banyak baik dari pesanan dari luar kota maupun penjual di Pasar Ngarsapura. Apalagi dia mempromosikan produknya lewat sebuah blog beralamat batokcraftsolo.blogspot.com.

Saat itulah Sigit mulai merekrut tenaga baru untuk membantunya. Seiring keinginannya membuka lapangan pekerjaan baru buat rekan-rekannya, dia juga membutuhkan tenaga untuk menambah produksinya. Jumlahnya memang tidak banyak, yakni hanya tiga orang karyawan. Namun itu sudah cukup untuk memberi mereka pekerjaan bagus.

Advertisement

Sigit dan rekan-rekannya pun membuat kerajinan ini dengan modal yang sederhana. Tempurung kelapa yang jadi bahan bakunya, bisa diperoleh dengan mudah di Pasar Legi. Harganya pun sangat murah, yaitu cukup menebusnya dengan Rp7.000 perkarung dan minimal harus membeli sebanyak tiga karung. Kini setelah setahun menjalankan usahanya, Sigit pun harus memesannya pada para penjual tertentu. Hal ini karena tempurung kelapa juga cepat habis untuk memenuhi permintaan pembuat kancing dari tempurung.

Faktor lain yang membuatnya hanya butuh sedikit modal adalah proses produksi yang tidak membutuhkan peralatan mahal. Dalam membuat kerajinan, Sigit hanya membutuhkan alat manual yang disebutnya sebagai gergaji oklok. Meskipun manual, alat ini bisa dipakai untuk membuat puluhan kerajinan tiap hari.

“Cuma pakai itu saja, kemudian di-finishing dengan impra yang mirip dengan vernis,” katanya.

Advertisement

Soal pasar, Sigit nyaris tidak mengkhawatirkannya. Justru sebaliknya, barang-barang produksinya begitu cepat terjual di pasar, termasuk stannya di Ngarsapura yang dikelolanya sendiri. Pesanan pun terus berdatangan dari berbagai kota terutama Jogja dan Semarang. Di kedua kota itu, Sigit menitipkan barang-barangnya di toko-toko suvenir. Jika habis, mereka segera memesannya kembali sesuai permintaan konsumen.

“Saya produksi berdasarkan pesanan saja. Ini malah ada pesanan 350 buah belum saya buat. Tapi tiap hari kami bikin meskipun sedikit-sedikit.”

Soal harga, Sigit menawarkan produknya dengan harga terjangkau. Harga produknya yang kecil-kecil seperti bros dan gantungan kunci biasa dijual seharga Rp3.000 perbuah. Sedangkan barang-barang besar bisa dijual seharga Rp20.000-Rp30.000 perbuah. Produk paling mahal adalah tas batok yang diakui paling sulit pembuatannya dan dijual seharga Rp65.000-an. Sigit pun sepertinya tak terlalu memburu keuntungan. “Sebulan omsetnya mungkin sampai Rp1,5 juta, tapi itu masih kotor.”

Advertisement

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif