Kolom
Senin, 9 April 2012 - 10:00 WIB

Reformasi Psikologis Lapas

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Susatyo Yuwono, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Susatyo Yuwono, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sepekan terakhir pemberitaan kasus inspeksi mendadak (sidak) Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)  Pekanbaru menarik perhatian kita. Dari sidak itu ada tersangka mafia narkoba berstatus narapidana (napi) dan sipir. Yang lebih menarik adalah respons dari pihak Lapas yang mengadukan tindak kekerasan terhadap sipir yang berjaga saat itu oleh anggota rombongan Wamenkumham. Denny sendiri termasuk yang dituduh menampar sipir.
Banyak fenomena yang mendahului kasus Lapas Pekanbaru ini terkait mafia narkoba maupun yang lainnya. Masih nyata dalam memori kita terungkapnya kasus Artalita Suryani yang memiliki privasi lebih di penjara, sehingga mendapatkan fasilitas layaknya hotel berbintang. Kemudian kasus melenggangnya tersangka korupsi pajak sehingga bisa keluar-masuk tahanan dengan leluasa. Terungkapnya kasus mafia narkoba juga bukan barang baru karena saat ini aparat menetapkan bahwa salah satu sarang mafia narkoba memang penjara.
Mengapa penjara yang seharusnya menjadi tempat bagi penjahat agar insyaf sekarang menjadi sarang kejahatan? Filosofi dasar penjara adalah membatasi kebebasan seseorang sehingga tidak mengulangi kejahatan, menyadari atau insyaf dan mendapatkan pembinaan agar menjadi lebih baik.
Problem ini menunjukkan ada masalah mental di dalam lapas yang sudah akut dan sangat mengkhawatirkan. Masalah psikologis pertama adalah komitmen yang lemah dalam mengikuti aturan. Komitmen menunjuk pada sikap dan perilaku yang setia dan loyal pada objek yang diyakini. Objek yang diyakini dalam hal ini adalah peraturan atau prosedur yang ditentukan dalam seluruh aktivitas di dalam lapas.
Termasuk dalam aturan itu adalah larangan napi memiliki fasilitas handphone dan larangan keluar dari lapas atau tahanan tanpa alasan yang diperbolehkan. Pertanyaan yang paling mudah dikemukakan adalah mengapa aturan ini dilanggar? Apabila para pegawai lapas tidak paham prosedur ini rasanya sangat musykil. Ini lebih banyak disebabkan komitmen.
Apakah komitmen sudah sedemikian rendahnya? Media massa memberitakan ungkapan dari petugas yang ikut sidak bahwa sebagian besar napi memiliki handphone. Komitmen terkait dengan hak dan kewajiban. Apabila hak diterima dengan baik, komitmen sebagai satu kewajiban akan muncul dengan sendirinya. Hak tidak melulu tentang uang atau finansial, namun bisa berupa pemenuhan kebutuhan seperti kebutuhan rasa aman dan keadilan bagi warga negara.
Lemahnya komitmen dalam kasus ini dimungkinkan akibat kurang seimbangnya hak dan kewajiban, dan bisa jadi juga karena teladan yang kurang. Kasus kepala Lapas Nusakambangan menjadi contoh mutakhir bagaimana pemimpin tidak bisa memberi teladan yang baik dalam komitmen terhadap aturan. Status lapas dengan pengamanan maksimum saja bisa jebol prosedurnya, lalu bagaimana dengan lapas yang tidak berstatus itu?
Posisi hierarkis di birokrasi, termasuk lapas, dapat mempermudah penyimpangan komitmen ini. Dengan alasan perintah atasan, sangat mudah untuk melanggar aturan. Apabila bawahan menolak, akan ditindak. Sebaliknya apabila mau mendukung dan bekerja sama, ada imbalannya.
Masalah mental yang serius lainnya adalah keengganan untuk mengakui penyimpangan. Mengaku salah memang merupakan salah satu sikap dan perilaku yang terpuji. Namun, yang mengemuka justru bantahan-bantahan ketika kesalahan itu terungkap. Ini menunjukkan kekerdilan mental dan lemahnya tanggung jawab.
Dalam kasus terakhir malah muncul serangan balik berupa pengaduan atas penamparan yang diikuti ”pemberontakan” pejabat eselon dan pegawai lapas. Masyarakat membaca ini sebagai keengganan mengakui kesalahan dan mengalihkan masalah.

Advertisement

Mental Napi
Masalah mental juga menghinggapi para napi. Lepas dari problem penyimpangan perilaku mereka sejak sebelum masuk penjara (sehingga menyebabkan mereka dipenjara), banyak napi yang bermental korup. Fenomena handphone menunjukkan napi cenderung memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi mereka, meskipun hal itu melanggar aturan.
Menyuap petugas tentu menjadi strategi utama untuk memiliki handphone. Mengapa menyuap? Siapa yang punya inisiatif? Bukankah tiada asap tanpa api? Sangat mudah bagi kita menduga jika tidak ada tawaran atau contoh, tentu napi tidak akan mau mengambil risiko memiliki handphone. Apakah napi yang menyuap? Lepas siapa yang menyuap, sebagai aparat tentu tidak boleh mudah dirayu dengan apa pun untuk melanggar aturan. Aparat yang tangguh adalah mereka yang punya komitmen tidak mau disuap dan juga tidak mencari suapan.

Aad satu masalah lagi, bagaimana bisa bekerja efektif kalau proporsi sipir dengan napi tidak seimbang? Bagaimana bisa efektif kalau proporsi luas penjara dengan jumlah napi sangat jauh dari ideal? Salah satu cara membenahi adalah dengan mengurangi kepadatan lapas. Ini bisa disiasati dengan mengubah model hukuman. Napi dengan kasus tertentu tidak perlu masuk penjara namun melakukan aktivitas yang lain seperti kerja sosial.
Reformasi lain harus dilakukan dengan menyentuh langsung psikologis petugas maupun napi. Pemberlakuan sanksi tegas untuk pelanggaran sekecil apa pun akan menggiring petugas maupun napi untuk tidak menyimpang. Misalnya asimilasi tidak diberikan kepada napi yang melanggar peraturan. Komitmen bahwa setiap pelanggaran pasti kena sanksi tentu akan membuat orang lain berpikir ulang untuk meniru atau ikut-ikutan melanggar.

Pemetaan Potensi
Menumbuhkan komitmen jenis ini tidak bisa tidak harus melalui proses pembudayaan yang tepat. Hal ini hanya bisa dilakukan melalui proses perekrutan dan seleksi yang tepat dalam mendapatkan calon pegawai. Pemetaan potensi psikologis menjadi mutlak agar diketahui siapa yang cocok dan siapa yang tidak terkait komitmen, kejujuran dan motivasinya.
Berbagai aktivitas dapat dilakukan untuk membudayakan komitmen ini, misalnya pengajian atau kegiatan ibadah lainnya yang menekankan kepada kejujuran dan komitmen kerja. Aktivitas yang menunjukkan kebersamaan dalam mencapai komitmen misalnya dengan pelatihan team work yang didahului dengan goal setting setiap individu terkait dengan tujuan institusinya.
Selain induksi dan pelatihan, perlu contoh dan teladan dari pimpinan, sehingga tidak sebatas lips service tentang nilai-nilai. Harus ada bukti teladan nyata dalam sikap dan perilaku sehari-hari di lapas. Contoh menjadi cara paling ampuh menumbuhkan komitmen karena tidak akan ada keraguan dari pegawai terhadap aturan. Dukungan penuh dari pimpinan akan mendorong pegawai bersungguh-sungguh melaksanakan semua prosedur.
Uraian di atas tidak diarahkan pada opini penggantian seluruh pegawai lapas dengan pegawai baru yang berkomitmen, namun lebih menekankan upaya menumbuhkan komitmen pada semua elemen di lapas. Sikap dan gebrakan sebagaimana sidak Wamenkumham Denny Indrayana cukup positif dirasakan masyarakat. Sepantasnya hal ini didukung seluruh elemen lapas, masyarakat serta pemerintah, bukannya malah dikritik dan diancam.
Lepaskan sifat ”saya tidak tersentuh” atau ”sentuh saya, saya serang balik kamu”. Mudah-mudahan ini bukan termasuk hangat-hangat tahi ayam atau bagai bunga yang layu sebelum berkembang. Biarkan embrio perbaikan ini menetas dan berkembang menjadi perubahan yang riil di lapas kita khususnya dan dunia penegakan hukum umumnya. Demi sehatnya psikologis seluruh elemen masyarakat kita. Kepercayaan terhadap hukum menjadi modal untuk menjadi masyarakat yang maju di segala bidang.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif