Lifestyle
Senin, 26 Maret 2012 - 11:24 WIB

BATIK: Survive dengan Pewarna Alam

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - WARNA ALAM--Pekerja mencelup kain batik kelarutan pewarna alam secara berulang untuk mendapatkan warna yang diinginkan, di Batik Warna Alam Rosso, Bantul, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

WARNA ALAM--Pekerja mencelup kain batik kelarutan pewarna alam secara berulang untuk mendapatkan warna yang diinginkan, di Batik Warna Alam Rosso, Bantul, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Seiring perkembangan teknologi, muncul teknik pewarnaan sintetis pada proses pewarnaan batik. Jenis pewarna ini menggunakan bahan indigosol, basis procion, indanthreen dan naptol. Warna sintetis ini hasilnya jauh lebih tajam dan memberikan keseragaman warna. Namun, warna sintetis ini kurang ramah terhadap lingkungan.
Kerusakan lingkungan yang kian parah ikut membangkitkan kesadaran untuk membuat produk dengan bahan yang ramah lingkungan, salah satunya batik dengan pewarna alam. Kesadaran menciptakan produk batik yang ramah lingkungan membuat beberapa perajin batik menggunakan proses warna alam. Termasuk Surosso, yang menggarap batik warna alam di kawasan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta sejak 2005. Hal itu juga dilakukan oleh Harsono, perajin batik di Bekonang, Sukoharjo. Surosso melakukan proses warna alam dengan memanfaatkan kulit kayu, daun hingga akar-akaran untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Menurut Rosso, demikian sapaan untuk Surosso, proses pembuatan warna alam bisa dibuat melalui tiga cara yaitu secara langsung, melalui bejana dan fermentasi. “Proses pewarnaan alam secara langsung, bahan bisa langsung ditumbuk atau diblender kemudian diambil air atau tumbukannya. Cara ini bisa diterapkan pada kunyit, daun katuk dan daun suji,” kata Rosso.
Proses pembuatan warna alam secara bejana dilakukan dengan merebus bahan tersebut dengan perbandingan 1:5 dengan standar khusus. Bahan yang bisa diproses dengan cara bejana adalah daun rambutan, daun mangga, kayu mahoni, secang, teger dan kayu nangka.
Sedangkan pewarnaan alam secara fermentasi dilakukan dengan cara melakukan fiksasi pada daun atau kayu. Fiksasi adalah proses pembusukan dengan cara direndam air serta proses-proses tertentu. Warna biru biasanya dihasilkan dari proses fermentasi sehingga warna biru dari proses pewarnaan alam cukup mahal karena susah mendapatkannya.
Menurut Rosso, tidak semua warna yang diinginkan hasilnya sama dengan pewarnaan selanjutnya. Hal ini disebabkan warna alam sangat dipengaruhi  jenis tanah di mana tumbuhan berasal. Pengaruhnya adalah pada ketajaman warna tersebut. “Sebagai contoh, tanaman gambir yang tumbuh di Jawa dan Bali akan mempengaruhi hasil ketajaman warna cokelat. Warna cokelat yang dihasilkan dari gambir yang ditanam di Jawa akan berbeda dengan gambir yang ditanam di pesisir Bali yang relatif mendapatkan sinar matahari maksimal.”
“Ketika saya merancang membuat warna kuning dengan rebusan kulit kayu pohon nangka misalnya, saya tidak bisa memberi garansi warna yang dihasilkan persis seperti yang ada pada contoh-contoh warna yang sudah ada,” ungkap perajin batik warna alam yang berlokasi di Wiyoro Kidul, Bantul, Yogyakarta ini.
Rosso yang juga merancang busana batik warna alam mengakui motif batik terus berkembang dan makin bervariasi sehingga dia terus mengeksplorasi motif, warna alam yang baru dan desain busana.
Demikian pula mengolaborasikan kain batik warna alamnya dengan tenun lurik Pedan menjadi busana ready to wear yang elegan dan unik.
Kreativitasnya tersebut sangat diapresiasi oleh buyer dari mancanegara. Surosso beberapa kali diminta mengisi workshop dan pameran batik warna alam di Jerman, Prancis dan India.
Sementara, Harsono memanfaatkan warna alam dari hasil rebusan rempah-rempah seperti kunyit, gambir dan kulit kayu untuk memproses warna alam batik produksinya. “Hasil warna alam dari gambar memang terlihat lebih lembut cokelatnya. Agar tidak luntur warna cokelatnya dikunci dengan tawas,” jelasnya.
Hal tersebut juga dilakukan oleh Batik Mahkota Laweyan di kawasan Kampoeng Batik Laweyan, Solo. Namun gerai ini masih fokus memproduksi kain batik warna alam, belum bermain di desain bajunya. “Kami menggunakan warna alam dari gambir, kayu tingi, indigo, serbuk tegeran dan kayu secang,” kata Alpha Febela Priyatmono, pemilik Batik Mahkota.
Untuk menampilkan warna yang lebih cerah, dia membuat variasi warna dari bahan alam dan membubuhkan sedikit pewarna kimia pada motif. “Namun ada juga yang murni menggunakan warna alam, seperti batik warna alam dari kayu tingi, gambir dan indigo.”
Untuk motif, Batik Mahkota Laweyan mempertahankan motif-motif klasik dan sebagian motif kontemporer.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif