Angkringan
Selasa, 20 Maret 2012 - 10:51 WIB

ANGKRINGAN: "Pembangkangan" Jelang 1 April

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sudah tiga hari ini warung angkringan Pakdhe Harjo kehilangan 2 hidangan  andalan, ceker goreng dan sate jerohan. Simbok Ngesti, sang  pemasok setia juga tak nongol lagi. Pelanggan sudah bolak-balik tanya, dan hanya bisa dijawab Pakdhe Harjo dengan mengangkat bahu atau menggeleng kepala.

Simbok Ngesti ini adalah satu dari tujuh pemasok warung angkringan itu. Sistem yang dipakai adalah konsinyasi. Jadi pemasok menitipkan barang, lalu Pakdhe Harjo membayar sejumlah barang yang laku, dikurangi keuntungan yang diambil. Inilah sebuah potret kemitraan sejati.

Advertisement

Karena kemitraan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, membuat Pakdhe Harjo gundah gulana. Bukan saja karena omsetnya turun, tetapi juga karena kekhawatiran terjadi apa-apa pada diri Simbok Ngesti, janda dengan anak-anak yang telah hidup mandiri di luar kota.

Siang itu, sambil menyiapkan dagangan Pakdhe Harjo memanggil Nyono. “Apa kamu dengar kabar dari Simbok Ngesti. Jangan-jangan dia sakit sampai gak bisa masak ceker dan sate jerohan,?”

Lha kalo aku juga gak tahu persis tho Pakdhe. Cuma kalo liat gak ngasih kabar dalam tiga hari pasti ada yang tidak beres. Jangan-jangan sakit. Atau Simbok Ngesti lagi perg jenguk cucunya yang di Wonosari,” jawab Nyono agak serius.

Advertisement

Dahi Pakdhe Harjo berkerut. Sejenak kemudian dia menjawab,” Apa tak sebaiknya kita datang kerumahnya. Aku kog was-was, jangan-jangan  bener ada apa-apa?”

“Ya Ayo,” Nyono menjawab sambil berdiri menuju vespa butut Pakdhe Harjo yang parkir di samping rumah. Lalu meluncurlah dua lelaki  padhe dan keponakan itu ke arah rumah Simbok Ngesti.

Rumah sederhana dengan bale-bale kecil diteras itu tampak kosong. Namun, Pakdhe Harjo dan Nyono tak perlu menunggu menunggu sampai mengetuk pintu karena suara berat dari dalam sudah terdengar. “Monggo. Silahkan duduk dulu.’’

Sejurus kemudian, seorang perempuan paruh baya muncul. Dialah Simbok Ngesti lakon yang sedang dicemaskan oleh Nyono dan Pakdhe Harjo. “Lha kog tumben mampir, pasti gara-gara gak dikirim sate jerohan dan ceker goreng ya.”

Advertisement

Mendapatkan skak seperti itu, Pak Dhe Harjo langsung ngomong to the point. “Lha iya, sampeyan sudah tahu gitu lho. Mbok lain kali kalo lagi prei itu ngomong dulu. Saya sih seneng lihat sampeyan segar bugar begini, tetapi angkringan saya ini yang terancam, sudah tiga hari kehilangan dagangan favorit.”

“Ya aku memang sengaja. Soale lagi gelo, kecewa,” jawab Simbok Ngesti.

Lha gelo karo sopo? Sama saya. Ee… lhadalah, memangnya saya ini salah Apa?”

“Iya Mbok Ngesti, kenapa kecewa. Apa karena aku?” Nyono ikut Nimbrung.

Advertisement

“Bukan-bukan karena  Pakdhe Harjo bukan juga karena  kamu Nyono. Aku ini kecewa dengan keadaan. Keadaan yang mawut gara-gara harga bensin sama solar mau naik,” tutur Simbok Ngesti.

“Lha karena solar, apa hubungannya sama produksi sate dan ceker,” kali ini Pakdhe Harjo mulai bingung.

“Justru itu. Pemerintah ini seperti gak mau belajar dengan sejarah, kalo kenaikan harga solar dan bensin berhubungan dengan  banyak akibat ikutan, seperti harga semua barang, seperti ceker dan jerohan di pasar. Aku yo wegah, lha mosok belum lagi pemerintah mengumumkan kenaikan disalip sama kenaikan harga lainnya,” Simbok Ngesti mulai tampak emosi.

“Ini kan tidak adil buat pelanggan sampeyan Pakdhe. Saya juga gak tega naikin harga setoran sampeyan, lah wong pelanggan angkringan  juga orang kecil, penghasilan juga belum naik. Makanya daripada aku melu mumet. Mending ra dodolan dhisik!”

Advertisement

Pakdhe Harjo terdiam. Akal sehatnya tidak bisa menerima alasan Simbok Ngesti. Ini jelas-jelas cara berpikir yang subversif dan berbahaya bagi kelangsungan bisnis angkringannya. Bagaimana jika seluruh pemasok berbagai jenis makanan diangkringan ini melakukan hal yang sama, mogok berproduksi.

 

Bisa jadi, orang seperti dirinya akan menganggur, para pelanggan kelimpungan mencari warung makan murah. Padahal angkringan bukan saja tempat makan, tetapi ajang pergulatan pemikiran rakyat pinggiran. Bagi Pakdhe Harjo, warung angkringan miliknya adalah media eksistensi untuk kegemarannya berpidato.

Lalu, “Ya sampeyan mbok jangan begitu tho Mbok. Kemarahan sampeyan pada pemerintah ini salah alamat,” Pakdhe Harjo mulai membujuk.

“Salah alamat gimana. Saya ini cuma pedagang kecil, gak punya daya. Mending sampeyan berdua ini pulang, saya lagi ingin sendiri, sambil pingin liat nanti, apalagi yang terjadi setelah 1 April, saat bensin dan solar benar-benar naik. Ini adalah cara saya buat protes,” Simbok Ngesti terus nyerocos.

Merasa diusir, Pakdhe Harjo dan Nyono balik kanan. Mereka rupanya tak berminat untuk melawan ‘pembangkangan’ ini. “Nanti saja kembali kesini, setelah 1 April. Aku mau semedi dulu,” teriak Simbok Ngesti sambil menutup pintu.

Advertisement

Hery Trianto

Wartawan Harian Harjo

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif