Kolom
Senin, 19 Maret 2012 - 16:55 WIB

Nilai Sejarah KA Kuno

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Dwi Haryanto (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Dwi Haryanto Pencinta kereta api, tinggal di Solo(JIBI/SOLOPOS/Ist)

Sebuah misi yang penuh risiko berhasil diselesaikan dengan baik oleh petugas kereta api (KA) pada 3 Januari 1946. Itulah prosesi boyong praja atau perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia, yang belum genap satu tahun merdeka, dari Jakarta ke Jogja. KA menjadi pilihan utama menjalankan misi ini karena perang masih berkecamuk.
Advertisement

KA bekas kendaraan rombongan Gubernur Jenderal Hindia Belanda jadi pilihan pejuang-pejuang Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) dalam mengawal Pemimpin Besar Revolusi Soekarno atau Bung Karno dan founding fathers lainnya.
Pada saat itu, depo lokomotif uap berlokasi di Jatinegara. AMKA memilih lokomotif paling cepat ketika itu yaitu C2849 dengan  masinis Hoesein serta dua juru api, Moertado dan Soead. Keesokan harinya, KA dengan gerbong kayu tersebut masuk Stasiun Jatinegara guna mendapatkan surat jalan dari pemimpin perjalanan.

Lokomotif yang semestinya melayani trayek reguler ke Stasiun Tanjung Priok guna menyambut pasukan Sekutu yang akan melucuti tentara Jepang tersebut, pagi itu dialihkan ke Stasiun Manggarai untuk dirangkai dengan kereta rombongan para pendiri negara ini. Perjalanan harus menunggu malam tiba. Ini dilakukan lantaran stasiun-stasiun di Jakarta dijaga ketat oleh serdadu NICA.

Advertisement

Lokomotif yang semestinya melayani trayek reguler ke Stasiun Tanjung Priok guna menyambut pasukan Sekutu yang akan melucuti tentara Jepang tersebut, pagi itu dialihkan ke Stasiun Manggarai untuk dirangkai dengan kereta rombongan para pendiri negara ini. Perjalanan harus menunggu malam tiba. Ini dilakukan lantaran stasiun-stasiun di Jakarta dijaga ketat oleh serdadu NICA.

Selepas waktu Salah Magrib, KA bergerbong kayu dengan jendela tertutup perlahan bergerak ke arah barat melewati Stasiun Manggarai dan berhenti di belakang Jl Pegangsaan Timur, tempat kediaman Soekarno yang tak jauh dari Stasiun Cikini. Seluruh lampu gerbong sengaja dimatikan agar tidak mengundang kecurigaan. Pembicaraan dilakukan dengan bahasa isyarat sehingga suasana terasa tegang. Presiden Soekarno bersama rombongan naik, dan koordinator KA, Soegito, memberi aba-aba berangkat tanpa peluit. Bisa dibayangkan suasana menegangkan dan kegelisahan para petugas ini. Kereta pun seolah-olah bagaikan langsir, hanya berkecepatan 5 km/jam ke arah timur melalui Stasiun Manggarai, Stasiun Jatinegara dan Stasiun Klender karena ketatnya penjagaan oleh serdadu NICA.

Alhasil, KA sampai juga di Stasiun Bekasi. Selamatlah rombongan dari sergapan serdadu NICA. Pada 4 Januari 1946 pukul 09.30 WIB, KA itu tiba di Stasiun Tugu Jogja dan disambut Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Itulah sekelumit peristiwa herok yang melibatkan sarana transportasi KA. Namun apa yang terjadi 25 tahun setelah itu?

Advertisement

Itulah kurang lebih penyakit bangsa ini yang tidak menghargai benda bersejarah yang mengandung nilai heroisme. Penyakit inilah yang kembali kambuh seiring terungkapnya kasus penjualan gerbong kuno yang dilakukan pejabat Depo Kereta Api Solo Balapan. Gerbong kuno yang merupakan benda cagar budaya itu disimpan Stasiun KA Jebres.

Terkuaknya skandal hilangnya dua gerbong kuno seakan menggugah kembali betapa mudahnya bangsa ini melupakan sejarah, khususnya sejarah perkeretaapian Indonesia. Secara komprehensif, kasus ini sesungguhnya tidak saja menjadi kesalahann pelaku, melainkan juga kesalahan semua pihak yang tak peduli terhadap benda-benda yang memiliki nilai sejarah. Pihak Balai Pelestarian Benda Bersejarah PT KA, misalnya, mengapa tidak melakukan pelestarian sejak dulu, saat gerbong kuno itu belum telanjur raib? Bukankah di area bekas terminal peti kemas tersebut gerbong itu terbengkalai dan tak terlindungi dari cuaca?

Kota Kereta Api
Walaupun gerbong kuno di Jebres itu tidak terkait dengan kereta yang membawa Soekarno dari Jakarta ke Jogja, namun karena benda tersebut merupakan bukti sejarah keberadaan jalur KA yang menghubungkan Semarang dan Vostenlanden, gerbing kuno otu tetap terkait dengan sejarah bangsa.  Kereta yang dibuat pada waktu yang bersamaan dengan jumenengan Paku Buwono X tersebut menguatkan nilai historitas Solo yang merupakan bagian dari kota KA dan hiruk-pikuk politik abad ke-18. Di Solo ada jalur KA di segala penjuru mata angin, apalagi jalur KA pertama yang dibangun pada 1867 dari Kemijen-Tanggung terus dilanjutkan Ke Solo. Dan yang pasti, gerbong kuno tersebut sangat erat dengan pusat kekuatan militer Belanda di Ambarawa.

Advertisement

Agar kita tidak lekas melupakan sejarah, sudah sepantasnya bangsa ini bisa berlaku lebih arif lagi terhadap peninggalan-peninggalan khususnya perkeretaapian di masa lalu. Bangsa ini pun semestinya belajar dari peristiwa lenyapnya beberapa heritage perkeretaapian dari Bumi Pertiwi yang kini kita sesali dan pada saat bersamaan bangsa lain justru terkagum-kagum.

Berangkat dari kasus di atas, menjadi kewajiban Balai Pelestarian Benda Bersejarah PT KA untuk tidak kecolongan dengan aksi-aksi pencurian atau penjagalan KA kuno. Jangan lagi mengulur-ulur waktu untuk melakukan reservasi benda-benda perkeretaapian yang mengandung nilai sejarah tersebut secepatnya. 

Urgensi reservasi atau perbaikan sama dengan melestarikan sekaligus mengingatkan generasi mendatang  akan pentingnya alur perjalanan peradaban yang terkait dengan perjuangan bangsa serta keteladanan para pejuang, khususnya yang terkait dengan KA.   Walaupun reservasi yang nantinya dilakukan tidak sanggup membentuk ke wujud  serta fungsi aslinya, penyesuaian nilai kegunaan yang relevan akan tetap dikenang anak bangsa.

Advertisement

Setelah reservasi harus ada tindak lanjut yang kontinu agar tidak mangkrak lagi di kemudian hari.  Sejauh ini banyak railfans atau pencinta KA yang mengapresiasi lembaga pimpinan Ella Ubaidi tersebut, khususnya saat melakukan perombakan eks kereta rel diesel (KRD) Kuda Putih  yang tinggal satu gerbong dari Depo Solo Balapan dipindah ke Lempuyangan, Jogja untuk dijadikan perpustakaan. Sayang memang karena tidak ditempatkan di Solo.

Dengan perombakan kembali kereta-kereta kuno beserta kisahnya, tentu akan sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk berbagai kepentingan seperti edukasi maupun rekreasi.  Sebagai catatan, sejak adanya Balai Pelestarian Benda Bersejarah PT KA, ada beberapa sarana yang terselamatkan dari kepunahan, semisal Si Bon-Bon (lokomotif listrik pertama di Indonesia) atau KRD pertama di Indonesia. Benda-benda tersebut tentunya memiliki sejarah perjuangan yang nilainya patut untuk selalu digali kembali.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif