Lifestyle
Sabtu, 10 Maret 2012 - 11:43 WIB

DISK JOCKEY(DJ): Anak Muda di Tengah Pesta

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - FOTO/Istimewa

FOTO/Istimewa

Asap rokok bercampur musik disko yang kencang memenuhi arena terbuka di sebuah hotel berbintang Soloraya, beberapa waktu lalu. Ratusan orang penikmat dugem yang kebanyakan orang-orang muda berduit, tenggelam di dalamnya. Sementara di panggung, sang disk jockey (DJ) terus memutar lagu-lagu yang membuat mereka semakin kepayang.

Advertisement

Begitulah cara anak-anak berkantong tebal ini berpesta. Hiburan eksklusif dalam pesta ini bukanlah band terkenal atau band Top 41 melainkan DJ dengan keping-keping CD berisi ratusan musik disko yang di-remix  sendiri. “Dulu saya heran, kok bisa ya lagu nyambung terus. Saya pikir itu kaset disambung-sambung, ternyata tidak,” kenang Sony Djoko Utomo yang kini dikenal sebagai DJ paling senior di Solo, Kamis (1/3).

Karena penasaran, Sony memberanikan diri masuk ke beberapa diskotek yang waktu itu masih menjamur di Solo. Saat itu, Sony masih duduk di SMP dan belum tahu apa-apa soal DJ. Dalam benaknya, aksi DJ bersama keping-keping piringan hitam di panggung adalah pekerjaan yang menyenangkan.

Begitulah sampai akhirnya Sony ngebet belajar menjadi DJ. Sony akhirnya serius belajar mengolah musik disko di Dynasty DJ School pada 1992. Butuh waktu empat bulan baginya untuk benar-benar bisa mengolah piringan hitam menjadi musik disko yang bagus. Saat itu, dia baru bisa merasakan bahwa menjadi DJ tak semudah dalam bayangannya dulu.

Advertisement

“Dulu, untuk mendapat title DJ itu susah sekali. Belajar dari mulai alat dan fungsinya, ada ujian setiap level. Kalau sekarang ditanya ini alat apa dan fungsinya, saya pasti bisa jelaskan,” kata Sony.

Sejak Kelas II SMA, Sony mulai beraksi di berbagai diskotek di Solo dan berbagai kota besar. Sony memulai kariernya sebagai DJ di Diskotek Nirwana pada 1992, kemudian pindah ke Freedom, MM Discotic (Semarang) dan Legend yang waktu itu masih di kawasan Pasar Kembang. Sony juga sempat bermain di Surabaya pada 1995 saat ada pertukaran DJ antara Freedom dengan Studio East Surabaya. DJ asli Kalilarangan ini memang sering berpindah-pindah demi karier.

Karier DJ memang tak semudah bayangan orang, terutama saat belum punya nama. Para DJ muda di Jakarta memang sering bergelimang uang karena banyak job di hotel atau klub-klub malam yang menjamur di sana. Tapi di Solo, hal itu sulit terjadi.

Advertisement

“Saya menyayangkan kalau ada DJ yang baru awal sudah bertanya berapa bayarannya, itu sama sekali beda dengan saya dulu,” kata Riefia Sukma Putra yang dikenal dengan sapaan DJ Riefi.

Riefi adalah salah satu dari sedikit DJ yang masih bertahan di Kota Solo. Memulai karier dengan kursus DJ di Solo DJ School (sudah lama tutup) selama tiga bulan, Riefi tidak langsung menikmati hasilnya begitu saja. Seperti layaknya orang baru yang belum punya nama, waktu itu, Riefi memang tidak pernah berharap bisa mendapatkan uang dari profesi DJ.

Pada 1997, Riefi memulai kariernya dengan menjadi DJ gratisan di berbagai acara atau pesta. Pada 1990-an, DJ menjadi tren dalam kehidupan gemerlap remaja. Mulai dari panggung besar hingga pesta kecil-kecilan, mengundang DJ adalah kebanggaan. Pada masa itu, Riefi tidak langsung mencari uang tapi lebih sering manggung secara gratisan.

“Saya dulu itu sempat enggak dibayar, tapi ya mau saja karena memang sudah senang duluan,” ujarnya.

Kesenangan dengan musik disko adalah satu-satunya alasan para DJ ini memilih menjadi entertainer dengan piringan CD (dulu piringan hitam). Kesenangan itu berlanjut menjadi profesi sambil menjalani masa sekolah dan kuliah. Setelah lulus dari Jurusan Manajemen FE UNS, Riefi tetap menggeluti profesi itu hingga sekarang. Riefi pun sempat merangkul orang-orang yang berminat menjadi DJ. Salah satunya adalah Fahreza Adithiyo yang kini dikenal dengan DJ Reza.Elite

Baik Sony, Riefi dan Reza kini secara reguler manggung di Space Kafe Bola, Beteng, Solo. Selebihnya mereka juga freelance untuk tampil dalam berbagai pesta yang umumnya digelar di berbagai vila dan hotel. Inilah yang membuat profesi ini terkesan elite.

“Yang bikin elite karena kami sering keluar-masuk hotel dan bergaul dengan orang-orang berduit,” kata Reza, Jumat (2/3) lalu.

Reza memulai karier dengan belajar dari beberapa DJ asal Solo, termasuk Riefi. Sebelumnya, pekerjaan Reza juga tidak jauh-jauh dari pesta dan DJ karena sempat menggarap berbagai event pesta di Soloraya. Pada 2004, dia menjadi event organizer dalam sebuah rave party yang digelar di sebuah vila di Tawangmangu. “Waktu itu di vila milik Setiawan Djodi, pestanya terbuka di dekat kolam renang dan ada DJ-nya. Itulah yang membuat saya tertarik menjadi DJ,” ungkapnya.

Me-remix musik-musik nonpopuler untuk menghibur orang-orang kelas atas memang menjadi sensasi tersendiri. Di luar itu, ada kesan bahwa DJ terkait pesta orang-orang berkantong tebal karena memang harga tiket rave party bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Namun hal ini juga sering menimbulkan kesan buruk pada pesta malam dan berdampak pada pandangan orang terhadap DJ.

“Banyak orang beranggapan bahwa dugem itu harus mabuk, padahal dugem itu menawarkan musik yang tidak ditemukan di tempat lain,” katanya.

Untungnya, perlahan-lahan kesan itu semakin hilang karena disko sudah semakin biasa di kalangan orang muda di perkotaan. Meskipun kini hanya sedikit klub malam yang eksis di Solo, anak-anak muda cukup sering memanfaatkan jasa para DJ sebagai hiburan alternatif misalnya dalam pesta ulang tahun.

“Saya sering dapat job di Hailai atau hotel, kebanyakan anak-anak SMA yang menggelar sweet seventeen,” kata Jojo, DJ yang juga dikenal sebagai penyiar radio.

Bisa dibilang, Jojo adalah DJ Solo yang paling sering tampil di acara-acara remaja, khususnya pesta sweet seventeen. Jojo memang sering juga tampil di berbagai acara pesta besar di Malang, Semarang, Jogja dan Madiun, namun yang paling sering tetap di pesta remaja.

Tampil di acara seperti ini menuntut Jojo untuk tampil beda. Jika dalam pesta umumnya DJ tampil dua hingga tiga jam, tidak demikian halnya pada acara remaja. Di acara ini, Jojo cukup tampil satu jam atau bahkan sempat hanya 15 menit. Maklum, pesta remaja biasanya tidak pernah lebih dari pukul 23.00 WIB.

Lagu-lagu yang diputar pun umumnya berbeda dengan lagu-lagu remix yang diputar di rave party atau klub malam. Jika di klub, lagu yang diputar adalah lagu yang murni disko, pada acara remaja lagu-lagu yang disukai justru yang berbau pop. Para remaja ini justru lebih suka lagu-lagu milik Rihanna dan artis pop lainnya namun di-remix sehingga lebih kencang. Namun yang jelas, pesta-pesta ABG ini juga sama mahalnya dengan pesta-pesta orang dewasa.

“Saya juga heran sweet seventeen  bisa seperti itu, padahal kalau buat saya sendiri, uang segitu harusnya bisa buat pernikahan,” ujar Jojo bercanda.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif