Kolom
Selasa, 6 Maret 2012 - 12:23 WIB

Menulis, Marah dan Menangis

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tito S Budi, Dosen STKIP PGRI Ngawi Alumnus Magister Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Sebelas Maret (FOTO/Dok)

Tito S Budi, Dosen STKIP PGRI Ngawi Alumnus Magister Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Sebelas Maret (FOTO/Dok)

Apa relasi antara menulis, marah dan menangis? Relasi semantis barangkali tidak ada. Tapi relasi kausalitas masih bisa dilacak dan dirunut.
Syahdan, dalam pembukaan Rembug Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2012 di Depok, Senin (27/2/2012), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh menyindir kalangan perguruan tinggi yang menolak keharusan memublikasikan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan mahasiswa. ”Wajar juga kalau marah karena dibangunkan akibat perguruan tinggi selama ini ‘keenakan tidur’. Tidak mau bekerja lebih keras, padahal potensi itu ada,” kata Mendikbud (Kompas, 28/2).
Alhasil, seberapa pun ngotot kalangan perguruan tinggi yang menolak itu pantang mundur, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud dengan surat edarannya akan terus minum jampi tolak-kendur alias bertahan dengan keputusannya. Dengar saja seloroh Dirjen Dikti, P Djoko Santoso, di Universitas Negeri Semarang belum lama ini,”Sarjana ora nulis, ora ilok…”
Dengan mencoba untuk tidak berpikir njomplang, sebenarnyalah kedua belah pihak, baik yang menerima dan menolak ketentuan itu, memiliki argumentasi masing-masing. Mendikbud gusar, betapa perguruan tinggi di Indonesia sudah amat ketinggalan dengan negara-negara lain. Bukan saja ketinggalan dengan perguruan tinggi di Eropa atau Amerika, tapi bahkan oleh negara tetangga atau sepantar. Selama 10 tahun terakhir, kata Mendikbud, Malaysia, Turki, China, perkembangannya melesat, sedangkan Indonesia jalan di tempat.
Sementara yang menolak juga punya alasan yang masuk akal. Wong menulis kok dipaksakan. Namanya juga belum siap, jika dipaksakan bukan tidak mungkin hanya akan melahirkan tulisan-tulisan kelas tong sampah. Kalaupun lahir jurnal di mana-mana kualitasnya tak lebih dari jurnal abal-abal. Nah!

Advertisement

Tradisi Menulis
Jika ditelisik lebih jauh, sejatinya bukan persoalan tulisan kelas sampah dan minimnya ketersediaan jurnal, tapi lebih kepada lemahnya kemampuan menulis. Jujur saja, kemampuan menulis mahasiswa, dosen, guru, guru besar, dewasa ini masih dalam tanda tanya besar (jika tak mau dibilang amat mengecewakan).
Maraknya science crime berupa pembajakan karya ilmiah, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang guru besar Universitas Riau, yang mengubah judul buku Budaya Bahari menjadi Sejarah Maritim, cukup menjadi bukti.
Kemudian kasus 125 guru peserta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Universitas Negeri Malang yang dinyatakan tidak lulus karena menjiplak karya tulis ilmiah (KTI) orang lain (baca: Radar Ponorogo, 11/10/2011), turut menegaskan bahwa menulis di kalangan sekolahan masih menjadi persoalan mendasar.
Kasus penjiplakan karya tulis ilmiah dapat digolongkan sebagai kejahatan intelektual. Dan itu merupakan tengara bahwa kehidupan akademik kita sedang sakit. Pasien yang sakit memerlukan obat. Obat yang mujarab berupa pil pahit. Dan pil pahit itu adalah tradisi menulis secara jujur, bukan menjiplak, mencuri, dan meng-copy-paste.
Kiranya semua mafhum adanya, menulis bukan pekerjaan yang gampang. Buku karya Arswendo Atmowiloto, Mengarang Itu Gampang, laris manis di pasaran, menginspirasi ribuan pembelinya, tapi kebanyakan hanya menjadikan orang bermimpi menjadi pengarang dan tak pernah benar-benar mulai mengarang. Seorang mahasiswa S2 boleh saja bangga ngalor ngidul menenteng buku Rowena Murray, How to Write a Thesis, tapi jika saat menyusun tesis akhirnya menyelinap ke rumah “tukang jahit” tesis ya apa artinya?
Tak ada rumusan yang lebih konkret untuk membangun tradisi menulis kecuali dengan memulai menulis itu sendiri. Ada baiknya mendengar nasihat Roland Fishman dalam Creative Wishdom for Writers, yakni thinking about writing or talking about writing or worrying about writing is not writing. Jadi, cekak aos-nya, langsung menulis sajalah. Tidak usah ribut memikirkan bagaimana menulis itu, memperbincangkan, apalagi mencemaskan.
Pada beberapa kelas jurnalistik dan penulisan kreatif tempat saya mengajar atau berceramah, saya sering mengatakan: menulis itu sama dengan pasangan pengantin baru. Tak perlu sekolah dan kursus. Percayalah, anak-anak akan berlahiran, walau tak didahului sekolah atau kursus terlebih dahulu. Perkara jadi laki-laki atau perempuan, berparas elok atau biasa-biasa saja, tak pernah menjadi persoalan besar. Paling kalau kurang mencocoki hati ya bikin lagi. Begitu juga menulis.

Mental Gampangan
Hal yang paling sulit, menurut Mendikbud Muhammad Nuh, adalah mengharapkan tumbuhnya kesadaran secara alami. Karena itu, perlu dikagetkan dengan peraturan baru agar perguruan tinggi bangun dan berubah. Kalangan perguruan tinggi yang marah adalah reaksi yang lumrah, karena merasa punya kekuatan untuk menolak.
Sedangkan guru-guru yang menangis setelah dinyatakan tidak lulus PLPG akibat menjiplak karya tulis ilimiah orang lain juga wajar, karena tak memiliki keberanian melawan kecuali mengulang dengan membuat karya ilmiahnya sendiri secara jujur.
Kesadaran memang harus dibangkitkan. Ada yang lambat-laun terlupakan selama ini bahwa kehidupan akademik bukanlah kehidupan yang natural, tapi kehidupan yang tak luput dari campur tangan, kreasi dan konstruksi. Kehidupan akademik, karenanya, adalah kehidupan yang dikonstruksikan. Atau meminjam istilah Beus dan Doorn, ia adalah sebuah geconstrueerde samenleving.
Selama ini kalangan pendidikan kita sudah terbiasa berjalan dengan mental yang gampangan. Serba cepat, serba instan. Dalam tempo kurang dari dua tahun seorang lulusan SMA bisa memperoleh gelar S1. Seorang pejabat yang tidak nggenah kuliahnya, kapan, di mana, tiba-tiba di belakang namanya bertengger gelar magister ini-itu. Bahkan ada yang saat ditanya berapa satuan kredit semester (SKS) yang ditempuh untuk memperoleh gelarnya itu jawabannya masih lancar anak taman kanak-kanak (TK) yang ditanya berapa jumlah balon yang dibelikan ayahnya kemarin.
Seruan dan keputusan Mendikbud soal persyaratan calon sarjana wajib menulis di jurnal ilmiah barangkali adalah cubitan yang dianggap terlalu keras. Memangnya jika tak dicubit kalangan akademisi bisa sadar sendiri?
Setengah abad yang lampau, saat Amerika Serikat merasa ketinggalan oleh Uni Soviet soal teknologi ruang angkasa, Senator JF Kennedy kontan nyeletuk: What’s wrong with American classroom?
Sekarang, saat pendidikan kita mulai jauh tertinggal dengan pendidikan di negara lain, apakah tidak sepatutnya kita pun bertanya: What’s wrong with Indonesian classroom?
Okelah, saat keharusan menulis itu tak bisa dihindari lagi, maka orang boleh marah, menangis, mengutuk, patah hati. Tapi, menulislah, just write!

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif