Kolom
Senin, 5 Maret 2012 - 16:37 WIB

Sulitnya Nguri-uri Warisan Negeri

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan InformasiBisnis Indonesia (JIBI). FOTO/Dok

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan InformasiBisnis Indonesia (JIBI). FOTO/Dok

Setiap kali berkunjung ke salah satu kota atau daerah di negeri ini, hati saya sering menjadi masygul menyaksikan begitu banyak kekayaan budaya yang berupa bangunan kuno tak lagi terurus, bahkan cenderung hancur dimakan zaman. Bukan hanya bangunan dari era kolonialisme atau bahkan sebelumnya, banyak pula bangunan dari masa setelah kemerdekaan yang malah sudah tak berwujud.
Hampir di setiap kota/daerah di Indonesia, terutama kota yang dulu menjadi basis warga kolonial Belanda, senantiasa menyisakan jejak berupa bangunan lawas yang seharusnya menjadi khasanah kekayaan budaya bangsa ini.
Apa pun bentuk dan wujud bangunan tersebut, apalagi karena dibangun menggunakan dana hasil keringat para pendahulu kita yang telah berkorban—ataupun dikorbankan—sebagai akibat dari aktivitas kolonialisme Eropa di negeri kita selama beberapa abad itu, hendaknya dilestarikan.
Keberadaan berbagai bangunan yang dengan sendirinya menjadi saksi dari aktivitas penjajahan dengan segala plus-minusnya itu selayaknya dipertahankan sebagai bahan pembelajaran bagi generasi kini dan nanti agar bangsa ini tidak terjajah lagi.
Namun, karena banyak di antara warga negeri ini maupun pemerintah yang tidak memahami substansi kesejarahan tersebut, mereka seakan tidak peduli ketika meratakan sebuah bangunan lawas hanya karena di lokasi itu harus dibangun sebuah gedung atau bangunan komersial.
Melestarikan warisan budaya berupa bangunan lama, baik yang bernilai sejarah maupun bukan, tampaknya belum menjadi kebutuhan bagi warga negeri ini. Sebuah bangunan terkadang bukan sekadar struktur tanpa arti, ia sering kali menjadi landmark arsitektur setempat. Menyepelekan sebuah bangunan lama merupakan sebuah sikap tak berbudaya.
Di berbagai negara yang sudah lebih maju dari kita, kecenderungan untuk merawat dan menghidupkan kembali bangunan lama justru makin menguat. Singapura, misalnya. Pemerintah negeri pulau itu sedemikian getol menghidupkan kembali berbagai bangunan lawas dengan cara memberikan insentif fiskal bagi pemiliknya, sehingga terselamatkanlah warisan budaya yang kemudian diakui sebagai aset bangsa itu dan menjadikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing.
Malaysia pun tak kalah. Negeri jiran itu begitu getolnya menghidupkan kota lama Malaka dengan menyubsidi warga setempat agar bersedia merawat dan menjaga keutuhan berbagai bangunan yang sudah berusia lebih dari dua abad itu, untuk kemudian menjadikannya sebagai paket wisata historis yang juga sangat dinikmati turis asing.
Padahal, bila dibandingkan dengan kondisi Kota Lama Jakarta, yang hingga kini sebenarnya masih memiliki cukup banyak aset budaya berupa bangunan kuno, bisa jadi Singapura maupun Malaka ”tidak ada apa-apanya” karena dari skala jauh lebih besar apa yang dimiliki Jakarta.
Menyaksikan Kota Lama Jakarta dari tepi Kanal Mookevart hampir tidak beda dengan menatap suasana Amsterdam, Belanda. Bedanya cuma aneka bangunan lawas di Kota Lama Jakarta itu banyak yang tidak terurus, termasuk lingkungan sekitaranya. Belum lagi bau air kanal berwarna hitam pekat itu yang sungguh menusuk hidung. Sedangkan di Amsterdam sana, suasana kota sedemikian hidup dan harmonis.
Banyak negara maju yang mati-matian mempertahankan orisinalitas bangunan kota lama yang dimiliki sebagai upaya untuk menjadikan aset itu sebagai daya tarik bisnis maupun turisme, tanpa harus menolak modernisme. Caranya adalah dengan mempertahankan wajah-wajah bangunan lama dan mendampingkannya dengan wajah bangunan modern, termasuk pencakar langit. Ternyata, suasana kota pun tetap cantik.
Beberapa waktu lalu, saya sempat melewati apa yang sebelum ini dikenal sebagai ”rumah cantik” di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Kondisi rumah tersebut kini begitu menyedihkan, porak-poranda layaknya habis dibom. Di berbagai media, terutama media sosial seperti Twitter, belum lama ini, berembus rumor bahwa rumah cantik tersebut konon dibeli oleh Nazaruddin—bekas Bendahara Partai Demokrat—dan diperuntukkan bagi Edhie Baskoro Yudhoyono, sehingga rumah itu harus diperbesar ukurannya. Namun, Istana sudah membantah rumor tersebut.
Pagar seng kini mengelilingi sebidang tanah di mana rumah cantik yang—menilik bentuk arsitekturnya dibangun pada zaman penjajahan Belanda itu—dulu berdiri dengan eloknya. Kondisi rumah yang dilindungi oleh perda sebagai bangunan wajib konservasi itu kini lebih layak disebut sebagai reruntuhan atau bahkan rumah hantu.
Dulu, setiap kali melewati rumah berlantai satu dengan lanskap taman yang asri, penuh dengan tanaman menghijau dan bebungaan, saya selalu menyempatkan diri untuk memperlambat perjalanan kendaraan, berharap agar begitu di perempatan samping rumah cantik itu terhalang lampu merah, sehingga sempat menikmati dan mengagumi produk budaya langka yang kini musnah itu.
Begitulah bangsa kita ini, belum memiliki kapabilitas untuk menjaga atau merawat aset budaya. Boro-boro kita mau melestarikan warisan budaya besar seperti situs reruntuhan Candi Muaro Jambi—sekitar satu jam perjalanan bermobil dari kota Jambi—yang menurut catatan sejarah merupakan warisan sebuah kerajaan besar dan dari skalanya hanya dapat dibandingkan dengan Angkor Wat di Kamboja!

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif