Lifestyle
Senin, 13 Februari 2012 - 12:57 WIB

GIGOLO: Rp 30.000 Jasa Intip

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Mau intip kucing bermain? Rp 30.000 cukup,” tawar Iman (bukan nama sebenarnya-red), germo dan pemilik sebuah panti pijat.
Seperti profesional lainnya, Iman tak segera menunjukkan cara bagaimana mengintip kucingnya bermain. Dia masih berahasia. Saat Espos menolak tawarannya, Iman pun bicara meski tetap tak menunjukkan lokasinya.
“Caranya melihat melalui lubang intip. Tapi lubang intipnya itu rahasia. Beri Rp 30.000 nanti saya beri pertunjukan,” kata dia kepada Espos.
Iman mengaku mendapat tambahan penghasilan dari menyewakan lubang intip.
Begitu vulgarnya transaksi esek-esek di panti pijat ini menjadi keprihatinan pendamping Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang juga aktivis di LSM Mitra Alam, Taholi Laila. Pasalnya, panti pijat esek-esek sekarang ini terkesan justru dilindungi Pemkot.
Dulu, sambung Taholi, urusan panti pijat dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sekarang, urusan itu dipindahkan ke Dinas Kesehatan Kota (DKK).
Lucunya lagi, sambung Taholi, DKK mengategorikan panti pijat sebagai balai pengobatan. Sehingga, panti pijat esek-esek bisa melenggang dengan sertifikat.
“Menurut saya fenomena sekarang ini sangat aneh dan lucu. Kalau memang DKK bersikukuh panti pijat 100% murni balai pengobatan lantas kenapa ada layanan mobile VCT untuk pemeriksaan HIV/AIDS. Itu artinya kan DKK tahu kalau di tempat itu banyak yang berpotensi terserang HIV,” jelasnya.
Penutupan resos Silir malah jadi ironi karena panti pijat justru menjamur. “Saya yakin lebih banyak panti pijat di  Kota Solo ini yang menawarkan jasa plus-plus atau bukan balai pengobatan. Lantas apa bedanya ini dengan lokalisasi?”
JIBI/SOLOPOS/Ayu Prawitasari

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif