News
Sabtu, 21 Januari 2012 - 06:14 WIB

BBM: Pengusaha Pilih Opsi Kenaikan Harga Ketimbang Pembatasan

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ILUSTRASI (JIBI/SOLOPOS/Dok)

ILUSTRASI (JIBI/SOLOPOS/Dok)

SOLO – Pengusaha dan pengelola SPBU di Solo lebih memilih opsi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Advertisement

Opsi pembatasan BBM yang berlanjut konversi pemakaian BBM ke gas, dinilai ribet dan sulit diterapkan. Pengelola SPBU Lor Beteng, Danang Romi Wijaya, saat ditemui Espos di SPBU setempat, Jumat (20/1/2012), mengungkapkan menaikkan harga BBM lebih masuk akal diterapkan daripada opsi lain. Memang jelang kenaikan harga, bakal terjadi lonjakan pembelian BBM subsidi (premium). Namun selanjutnya masyarakat akan menyesuaikan diri. “Karena BBM adalah kebutuhan, jadi tetap akan beli lagi walau harga naik. Tapi kalau pembatasan, pekerjaan SPBU menjadi sangat berat karena harus memilah-milah pembeli. Naikkan saja bertahap, sedikit-sedikit,” kata Danang.

Jika harga BBM dinaikkan, pengelola SPBU hanya perlu menambah modal dalam jumlah yang masuk akal. Misal harga naik Rp500, maka pihaknya hanya membutuhkan tambahan modal Rp4 juta untuk 8 KL. Angka ini lebih bisa diterima daripada persoalan yang harus dihadapi mana kala pembatasan diterapkan.

Pembatasan BBM, lanjut dia, juga berpotensi memicu kecurangan atau pelanggaran dalam banyak hal. Beda harga premium dan pertamax yang terlampau jauh membuat pemilik mobil pribadi akan mencari cara untuk tetap pakai premium. Walaupun untuk itu, mereka harus beli pada pedagang bensin eceran.

Advertisement

“Bensin eceran Rp5.000/liter tentu lebih murah daripada pertamax lebih dari Rp8.000/liter. Pengecer akan cari cara agar tetap bisa kulakan walau tidak boleh pakai jeriken,” ujarnya.

Mengenai rencana konversi gas, Danang menilai hal itu masih terlalu jauh. Pasalnya investasi SPBG tidak bisa dilakukan dalam beberapa bulan saja. Selain itu dibutuhkan pula biaya yang besar. Dan lagi, sambungnya, masyarakat belum tentu mau.

Pilihan kenaikan harga BBM juga lebih disukai kalangan pengusaha mobil. Ketua Masyarakat Otomotif Surakarta (Most), Ibnu R Sahoer, menyatakan opsi kenaikan harga BBM lebih jelas ketimbang pembatasan BBM serta konversi ke gas. Kalau pun ada pengaruh, paling hanya tampak 2-3 bulan saja. Bagi pengusaha, kejelasan itu lebih dibutuhkan. “Ya, kira-kira begitu. Orang akan beli mobil kalau jelas. Kalau tidak jelas, mereka akan pikir-pikir dulu. Mereka pilih yang simpel,” ungkapnya.

Advertisement

Sementara soal konversi ke gas, Ibnu melihat hal ini juga sulit diterapkan. Penggunaan bahan bakar gas berpotensi menghapus hak garansi terhadap mobil. Pasalnya, mobil dibuat dengam standar yang tidak bisa diubah sesukanya. Mobil yang beredar di Tanah Air ditetapkan memakai BBM bukan gas. Kecuali, kata dia, jika agen tunggal bisa memberi jaminan garansi, pengusaha tidak akan keberatan.

Di sisi lain, Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Solo, Joko Suprapto, juga menyiratkan dukungan untuk kenaikan harga BBM, meski dia berharap ada pengecualian untuk angkutan pelat kuning. Sejauh ini, Organda Solo masih bersikap menunggu keputusan pusat.

“Kami belum bertindak. Tahun lalu saat diminta mengumpulkan data pemakaian BBM angkutan pelat kuning, sudah saya sampaikan. Bahkan pengusaha saya oyak-oyak. Ternyata tahun lalu tidak ada kelanjutan. Jadi sekarang, saya pilih menunggu,” ucap Joko.

JIBI/SOLOPOS/Tika Sekar Arum

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif