Kolom
Selasa, 17 Januari 2012 - 14:07 WIB

Mendobrak Kultus Pendidikan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Cahyadi Kurniawan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Solo. (FOTO/Istimewa)

Cahyadi Kurniawan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Solo. (FOTO/Istimewa)

Revolusi pendidikan sebagaimana yang ditulis Daryono di Mimbar Mahasiswa SOLOPOS, Selasa (10/1/2012), untuk menanggapi tulisan Rodliyah Safitri, Revolusi Pendidikan Awal Kecerdasan Sosial, di Mimbar Mahasiswa SOLOPOS, Selasa (3/1/2012), dinilai perlu untuk mengatasi kegagalan sistem pendidikan dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) “impian” yang diidamkan pendidik maupun peserta didik.

Advertisement

Daryono menyesalkan tingginya tingkat pendidikan tidak diikuti dengan perilaku yang bermoral. Sementara itu, Rodliyah berpendapat pendidikan dengan nalar kapitalistik telah mendorong orang semakin cerdas, namun juga merontokkan kohesi sosial di dalam masyarakat. Keduanya sependapat penting dilakukannya revolusi pendidikan.

Poin penting mengapa muncul anggapan gagalnya sistem pendidikan adalah kegagalan dalam memandang pendidikan itu sendiri. Baik Daryono maupun Rodliyah yang telah dikecewakan oleh sistem pendidikan selama ini menganggap pendidikan (formal) sebagai panasea atas segala macam krisis patologis dalam masyarakat. Mereka terjebak dalam kultus pendidikan bahwa institusi pendidikan formal menjadi satu-satunya jalan untuk meraih kebahagiaan, kemakmuran, kekuasaan, dan kemasyhuran.

Advertisement

Poin penting mengapa muncul anggapan gagalnya sistem pendidikan adalah kegagalan dalam memandang pendidikan itu sendiri. Baik Daryono maupun Rodliyah yang telah dikecewakan oleh sistem pendidikan selama ini menganggap pendidikan (formal) sebagai panasea atas segala macam krisis patologis dalam masyarakat. Mereka terjebak dalam kultus pendidikan bahwa institusi pendidikan formal menjadi satu-satunya jalan untuk meraih kebahagiaan, kemakmuran, kekuasaan, dan kemasyhuran.

Daryono khawatir penambahan kuota peserta didik untuk program studi (prodi) tertentu (Daryono menyebutkan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan/FKIP) akan berdampak pada sepinya peminat pada prodi-prodi lain. Kekhawatiran itu sebenarnya hanya isapan jempol belaka. Kita tentu sepakat prodi pendidikan dokter yang dikenal mahal di manapun ia berada tak pernah terdengar kekurangan mahasiswa apalagi prodi-prodi lain yang “harga bangku”-nya di bawah itu.

Berangkat dari pandangan itu (baca: kultus pendidikan), para profesor, guru besar, dosen, guru, rektor, beramai-ramai menyusun sebuah model pendidikan yang ideal. Kini, model pendidikan itu kita jumpai dalam bentuk jenjang dan kurikulum pendidikan. Sayangnya, model pendidikan itu cenderung berkiblat ke Barat mengingat pendidikan di Timur merupakan dampak hegemoni pendidikan Barat.

Advertisement

Positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta (F Budi Hardiman, 2011). Positivisme dengan tegas menolak metafisika sebagaimana ia menolak bentuk pengetahuan lain seperti: etika, teologi, dan seni termasuk agama. Dampak pemikiran Comte tak sekadar melahirkan pendidikan sekuler tetapi juga hadir klasifikasi pengetahuan yang sering kita jumpai dalam kurikulum pendidikan kita. Sebagian dari pengetahuan itu lantas menjadi kunci dalam menentukan kelulusan peserta didik.

 

Utopia

Advertisement

Model pendidikan itu sejalan dengan irama modernisasi yang berlangsung kala itu, salah satunya industrialisasi. Pendidikan lalu diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan tenaga untuk menunjang industrialisasi. Hal itu masih berlangsung hingga sekarang dan kita menyebutnya dengan istilah pendidikan vokasi. Begitu juga dengan tujuan pendidikan kita saat ini.

Pendidikan diorientasikan agar mampu menghasilkan manusia-manusia yang berdaya saing serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Sehingga orang-orang seperti Daryono dan Rodliyah kecewa sebab pendidikan dianggap telah melahirkan manusia yang abai terhadap moral dan kohesi sosial. Pendidikan telah melahirkan manusia-manusia kota dengan pengetahuan luas namun individualistik. Maka dari itu, mereka menggagas perlu sebuah revolusi pendidikan.

 

Advertisement

Jika Karl Marx memaknai revolusi sebagai upaya untuk menghapus kelas, penguasaan terhadap faktor produksi, perlawanan terhadap penindasan kaum borjuis, lal, revolusi seperti apakah yang dikehendaki Daryono dan Rodliyah? Apakah pendidikan yang ada saat ini telah menindas pihak-pihak tertentu, katakanlah peserta didik, orangtua atau masyarakat dalam jumlah yang masif?

Justru sebaliknya, kultus terhadap pendidikan menguat seiring dengan kesulitan ekonomi yang melanda masyarakat. Masyarakat semakin memuja pendidikan sebagai jalan keluar dari jerat kemiskinan, kemelaratan, dan keterbatasan (materi). Secara eksplisit, para orang tua berharap, semoga dengan pendidikan anak-anaknya akan mendapatkan pekerjaan yang layak, yang lebih baik sehingga kualitas hidupnya meningkat dan tak seperti keadaan si orangtua. Bukankah begitu

 

Revolusi pendidikan sebagai solusi yang ditawarkan Daryono dan Rodliyah hanyalah utopia belaka. Semangat revolusi hanya merefleksikan semangat terburu-buru, abai terhadap proses atau dengan kata lain terburu nafsu. Pendidikan adalah sebuah proses penanaman pemikiran dan perilaku yang mustahil dilakukan secara instan seperti halnya mengolah mi siap saji.

Hal fundamental yang perlu dilakukan adalah penghapusan kultus terhadap pendidikan. Pendidikan bukanlah panasea atas segala patologi dalam masyarakat. Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya untuk membebaskan manusia, melahirkan ide-ide baru, dan pada akhirnya memanusiakan manusia.

Mengutip pernyataan Paulo Freire (2008), belajar bukanlah mengonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide. Bukan sekadar menciptakan manusia yang siap bekerja. Mungkin begitu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif