Tokoh
Senin, 9 Januari 2012 - 12:57 WIB

Noor Huda, Mendayung Di Antara Dua Karang

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Noor Huda Ismail (JIBI/SOLOPOS/dok)

Noor Huda Ismail (JIBI/SOLOPOS/dok)

Menarik untuk mencermati kisah hidup Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Noor Huda Ismail. Ia lahir di Jogja, kemudian besar di Solo hingga remaja dan menjadi santri selama enam tahun di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki.
Advertisement

Beranjak dewasa, Huda menempuh kuliah Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merangkap kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Seusai lulus, ia bekerja di Jakarta sebagai PR. “Dahaga saya tidak tercukupi maka saya masuk menjadi wartawan di koran The Washington Post biro Asia Tenggara,” terang dia dengan suara mantap.

Saat menjalani hidup sebagai karyawan dan wartawan, ia mengaku hidup seperti halnya para pemuda lainnya. Namun ada peristiwa yang mulai mengubah jalan hidupnya saat terjadi peristiwa berdarah Bom Bali pada 2002. Yang lebih mengusik perhatiannya yaitu salah satu pelaku bom tersebut ialah santri satu kamarnya semasa di Ponpes Al Mukmin Ngruki. “Saya merasa dijemput oleh sejarah. Dari ribuan wartawan, berapa yang mengalami peristiwa seperti saya (satu kamar dengan pelaku),” katanya.

Itulah momentum yang membuat dia menulis buku Temanku, Teroris? Dia kemudian banyak terlibat dalam kegiatan perdamaian dan rekonsiliasi. Pada 2005, ia memutuskan berhenti dari The Washington Post dan mendapat beasiswa hingga kuliah S2 di Skotlandia. Saat itu, ia mendapat pengalaman yang langka, yaitu satu kampus dengan pewaris tahta Kerajaan Inggris, Pangeran William dan Kate Middleton (kini istri William). “Menjadi pengalaman unik, saya memang satu kamar dengan pelaku (pengeboman) tapi juga satu kampus dan satu flat dengan Pangeran William,” tutur dia.

Advertisement

Kuliahnya selesai pada 2006 dan kembali ke Indonesia. Tiba di Tanah Air, ia memilih menjadi seorang pengusaha dan juga mendirikan yayasan yang menjembatani para mantan pelaku pengeboman dan mantan pejuang Afghanistan dengan masyarakat. Pilihannya bukan masuk ke struktur pemerintahan, melainkan berkarya di bidang wiraswasta dan intervensi sosial di bidang nonagama. “Beberapa kali saya memberikan pelatihan jurnalistik, pernah juga di Ngruki. Ini agar orang berpikir kritis dan tidak akan radikal karena mampu bandingkan pemikiran satu dengan yang lain, tinggal pilih yang mana,” lanjut Huda.

Di Yayasan Prasasti Perdamaian, dia menjadi pendengar yang baik dari para mantan mujahid yang pulang dari Afghanistan yang beberapa di antara mereka terlibat dalam terorisme di Indonesia. Mereka datang sendiri kepada Huda, bukan dirinya yang mencari mereka.

Namun, dia sering dituding macam-macam. Oleh kelompok radikal, dia dituding dekat dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sebaliknya, oleh BNPT, Huda dicurigai dekat dengan teroris. Karena itu, apa yang dia lakukan di Yayasan Prasasti Perdamaian bagaikan mendayung di antara dua karang. Tapi, dia tidak peduli dengan tudingan terhadap dirinya. Yang penting, dia melakukannya untuk kemanusiaan.

Advertisement

Latar belakangnya sebagai santri membuat dia bisa bergaul dengan orang-orang yang selama ini dipojokkan sebagai teroris. Dia menegaskan bahwa pesantren tidak mencetak teroris, melainkan lembaga pendidikan Islam yang murah. Demikian juga Pesantren Ngruki. Ia mengalkulasi dari ribuan alumni, tak lebih dari 100 yang terlibat langsung aksi kekerasan.

JIBI/SOLOPOS/Ahmad Hartanto

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif