Tokoh
Kamis, 5 Januari 2012 - 11:46 WIB

Much Suwono Hadi Sumitro, Pendamping Kaum Marginal

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - AKRAB -- Moch Suwono Hadi Sumitro alias Mbah Wono bersama beberapa anak asuhnya. (JIBI/SOLOPOS/Ahmad Hartanto)

Moch Suwono Hadi Sumitro (JIBI/SOLOPOS/Ahmad Hartanto)

Sejumlah anak dan orang tua berkumpul di sebuah rumah kecil di tepi Kali Anyar utara Terminal Tirtonadi, Minggu (1/1/2012) lalu. Beberapa warga masuk rumah Much Suwono Hadi Sumitro dan keluar dengan membawa satu paket Sembako.
Advertisement

Sejumlah anak bermain balon diawasi ibunya. Tahun Baru 2012 ini memang cukup spesial bagi sebagian warga Gilingan dan sekitarnya. Mbah Wono, panggilan akrab Suwono, menggelar acara bakar jagung bersama, pembagian Juz Amma dan Sembako kepada anak asuh dan warga sekitarnya. “Saya ingin tiap-tiap hari-hari besar seperti ini dapat dirayakan warga dengan cara berbagi,” katanya saat ditemui Espos di rumahnya, Minggu pagi.

Wajahnya cukup capai dan lelah setelah mengatur dan menyiapkan acara tersebut sedari pagi. Di rumahnya yang tak begitu besar itu, buku-buku anak tertata rapi dalam rak. Hiasan-hiasan di dinding dan menggantung di atas kepala dan gambar-gambar yang tertempel sangat identik dengan sebuah ruang khusus tempat belajar anak. Memang di lokasi itulah, lelaki kelahiran Klaten ini mendirikan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Asy Syifa’, dua tahun lalu. PAUD tersebut hanya sebagian dari seluruh kegiatan sosial Mbah Wono di kawasan Tirtonadi.

Advertisement

Wajahnya cukup capai dan lelah setelah mengatur dan menyiapkan acara tersebut sedari pagi. Di rumahnya yang tak begitu besar itu, buku-buku anak tertata rapi dalam rak. Hiasan-hiasan di dinding dan menggantung di atas kepala dan gambar-gambar yang tertempel sangat identik dengan sebuah ruang khusus tempat belajar anak. Memang di lokasi itulah, lelaki kelahiran Klaten ini mendirikan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Asy Syifa’, dua tahun lalu. PAUD tersebut hanya sebagian dari seluruh kegiatan sosial Mbah Wono di kawasan Tirtonadi.

Pemandangan sehari-hari yang bisa dinikmati dari rumah itu adalah air sungai cokelat pekat di bagian utara dan di depan rumah ramai lalu lalang kendaraan yang masuk atau keluar Kota Solo. Sebagai salah satu kawasan sibuk dan pintu Solo dari arah utara, area tersebut selalu bising oleh kendaraan. Tak jarang pula bau tak sedap muncul menyergap hidung saat berada di rumah itu.

Meski begitu, rumahnya cukup bersih dan hijau ditanami sejumlah pohon kecil. Lantainya pun bersih meski memakai pecahan keramik. Gang sempit di depan rumahnya biasa dipakai warga Cinderejo Lor RT 1/ RW V Gilingan, keluar-masuk perkampungan tepi Kali Pepe. Masjid Asy Syifa’ berdiri kokoh di belakang rumah Suwono.

Advertisement

Berdakwah memang bukan urusan gampang. Selalu ada aral merintang dari segala arah untuk menguji niat dan mencoba ketangguhan Much Suwono ini tetap di jalan dakwah. Saat Asy Syifa’ baru berusia dua tahun, ada beberapa pihak yang mencoba mengusik dengan cara membubarkan Majelis Asy Syifa’. Alasannya, katanya, merusak tatanan masyarakat di kawasan Gilingan. Meski ada gangguan, Mbah Wono jalan terus. “Waktu itu Pak Lurah, Pak Camat dan Pak Kapolsek mendukung saya tetap di sini.”

AKRAB -- Moch Suwono Hadi Sumitro alias Mbah Wono bersama beberapa anak asuhnya. (JIBI/SOLOPOS/Ahmad Hartanto)

Namun kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik. Majelis Asy Syifa’ mendapat tempat di hati sebagian besar elemen di kawasan terminal tersebut. Kuncinya, menurutnya, tetap sabar, dihadapi dengan tabah dan ikhlas serta tidak mudah menyerah. Mbah Wono setiap tahun membuktikan keberadaan majelis dan PAUD yang ia dirikan memberikan manfaat bagi warga sekitar. Mulai dari anak-anak prasekolah hingga manula mendapat keuntungan keberadaan Asy Syifa’.
Advertisement

“Untuk anak ada PAUD, di sini gratis. Untuk SD, SMP sampai SMA ada bimbingan belajar, juga gratis. Pengajarnya sukarelawan mahasiswa dari UNS, UMS, Unisri dan IAIN Surakarta. Untuk ibu-ibu ada pelatihan keterampilan, pendampingan usaha kecil. Yang dulu PSK kini sudah bisa mandiri,” imbuhnya.

Beberapa kegiatan itu memang ada pasang surut dan kendala, seperti keterbatasan ruangan. Rumah kecilnya hampir tak mampu menampung lagi beragam aktivitas sosial setiap harinya. Berkat perjuangannya menggagas Dakwah Kaum Marjinal di Solo, sekitar 18 kota di seluruh Indonesia ingin berkiblat tentang penanganan kaum marginal di Solo. “Tahun ini direncanakan ada rapat skala nasional tentang Dakwah Kaum Marjinal. Mereka ingin tahu perlakuan kaum marginal seperti apa, juga proses pemberdayaannya,” katanya.

Ia berharap rencana tersebut dapat diwujudkan sehingga akan makin berkurang kaum marginal di wilayah Indonesia.
Aktivitas Mbah Wono memang tak lepas dari sosial, marginal dan taman. Setiap hari, pekan, bulanan atau peringatan hari besar selalu dilewatkan dengan cara berbagi.

Advertisement

JIBI/SOLOPOS/Ahmad Hartanto

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif