“Di hari Nyepi ini kan umat Hindu saatnya untuk merenung. Jadi yang ke sini memang sengaja untuk berdiam diri melakukan perenungan,” ujar Pandede Pura Aditya Rawamangun, Brahmacarya Bhargawa Chaitanya kepada wartawan di lokasi.
Tidak ada aktivitas mencolok di Pura ini. Umat Hindu yang datang ke Pura Aditya hanya berdoa dan meresapi makna Nyepi yang bertepatan dengan tahun baru Saka 1933. Asap dupa dan pernak-pernik Nyepi menyelimuti kompleks Pura.
Setelah melakukan sembahyang, kebanyakan di antara mereka tidur-tiduran di pendopo depan yang masih menyatu dengan pura. Tak sedikit juga di antara mereka yang sekadar membaca atau berbincang namun dengan suara lirih.
“Banyak di antara mereka yang melakukan puasa makan dan minum dan puasa bicara. Nanti sore kita akan adakan diskusi seputar perayaan nyepi,” imbuh Brahmacarya.
Sehari sebelumnya, arak-arakan ogoh-ogoh (patung besar berbentuk raksasa hijau dan merah) berlangsung meriah. Pagi hari, ogoh-ogoh diarak berkeliling pura di Pura Aditya Jaya Rawamangun.
“Setelah selesai, ogoh-ogoh dibakar sebagai perlambang musnahnya simbo pengganggu,” terang Brahmacarya.
(dtc/tiw)