News
Rabu, 7 Desember 2011 - 19:41 WIB

Lemhannas: Budaya saling sandera antarelite politik lemahkan bangsa

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Budi Susilo Supandji (JIBI/SOLOPOS/dok)

Budi Susilo Supandji (JIBI/SOLOPOS/dok)

Jakarta (Solopos.com) – Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) menilai budaya saling sandera antar-elit politik dengan pemerintah akan melemahkan ketahanan negara dan meruntuhkan bangsa.
Advertisement

“Bila dilihat dari kacamata Pancasila, budaya saling menyandera justru bisa meruntuhkan bangsa,” kata Gubernur Lemhannas Budi Susilo Supandji di sela-sela seminar bertema Aktualisasi Budaya Hukum Guna Memantapkan Demokratisasi dalam Rangka Ketahanan Nasional di Kantor Lemhannas, Jakarta, Rabu (7/12/2011).

Sistem hukum di Indonesia, kata dia, masih belum berjalan sempurna sehingga terjadi budaya saling sandera di kalangan elit politik, tetapi Lemhannas melihat masih ada usaha dari sejumlah pemangku kepentingan menuju jalan yang lebih baik. “Kebebasan dan keterbukaan yang merupakan ciri masyarakat demokratisasi, masih belum diimbangi oleh penguatan budaya patuh dan taat hukum masyarakat,” ujarnya.

Namun, lanjut dia, di Lemhannas para calon pemimpin diajarkan dan diyakinkan akan kebenaran Pancasila karena Pancasila mengajarkan falsafah gotong-royong, bukan budaya saling menyandera. “Para pemimpin bangsa lebih baik saling bekerja sama untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini dengan mengusung semangat kebangsaan dan gotong-royong serta tidak saling menyalahkan,” ucap Budi.

Advertisement

Di tempat yang sama, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, menilai demokratisasi maupun budaya hukum sulit diterapkan di Indonesia karena kondisi penegak hukum, parlemen, dan masyarakat masih belum mendukung.

“Hal ini bisa dilihat dari indeks pembangunan manusia di Indonesia yang masih rendah. Terlebih, penegak hukum belum optimal karena rekruitmen penegak hukum masih berbau KKN,” ujarnya. Ikrar mengaku mendapatkan informasi bahwa untuk menjadi jaksa saja seseorang harus mengeluarkan hingga Rp250 juta, padahal oknum jaksa ini tak lolos seleksi. “Kalau seperti ini bagaimana kita bisa menegakkan hukum,” kata Ikrar.

Seperti halnya di parlemen, dirinya melihat parpol masih saling sandera dalam hal penegakan hukum. Kasus yang menonjol berbau saling sandera ini adalah kasus mafia pajak dan cek pelawat. “Saya khawatir peran media massa sebagai pilar demokrasi keempat ikut terseret-seret juga pada budaya saling sandera seperti ini. Media harus tetap berkomitmen sebagai watchdog untuk mengawasi para koruptor, bukan melindungi mereka,” ujar Ikrar.

Advertisement

JIBI/SOLOPOS/Ant

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif