Kolom
Senin, 5 Desember 2011 - 11:49 WIB

Jawa perlu berapa kongres?

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bonari Nabonenar, anggota panitia Kongres Bahasa Jawa V (JIBI/SOLOPOS/dok)

Bonari Nabonenar, anggota panitia Kongres Bahasa Jawa V (JIBI/SOLOPOS/dok)

Ketika Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V berlangsung, seorang pemilik akun Facebook bernama Edie S Triwida yang merupakan guru Bahasa Jawa mengunggah status di Grup Sastra Jawa Gagrag Anyar. Dia menulis dhumateng ingkang ndherek KBJ V nyuwun tulung titip pesen dipun usulaken supados Jawa Timur kersaa ngawontenaken Kongres Guru Basa Jawa saben 4 taun gentosan saben kabupaten. Bab dana kedahipun saking APBD provinsi lajeng kandhap wonten kabupaten ingkang angsal jatah minangka penyelenggara!.
Advertisement

Maksudnya, ia titip usulan agar Pemprov Jatim mengagendakan Kongres Guru Bahasa Jawa (KGBJ) setiap empat tahun sekali dengan dana dari APBD provinsi dan tempat penyelenggaraannya digilir setiap kabupaten/kota. Itu usulan yang bagus. Tentu dengan catatan, jangan meniru KBJ yang menyedot dana hingga beberapa miliar rupiah. Saya membayangkan, dengan modal keinginan untuk melakukan yang terbaik demi profesi guru dan perbaikan sistem serta membahas berbagai problematika pengajaran bahasa Jawa di sekolah, batas tertinggi Rp 1 miliar sudah dapat digunakan untuk menggelar KGBJ.

Dalam sebuah obrolan santai di luar forum persidangan, pada hari kedua KBJ V (Senin, 28/11) muncul gagasan untuk menggelar Kongres Budaya Jawa. Ini bukan gagasan baru. Berbarengan dengan penganugerahan Hadiah Rancage di Surabaya, awal 2000-an, digelar pula Pekan Budaya Jawa sebagai semacam kegiatan pengantar untuk menuju Kongres Budaya Jawa yang hingga kini belum pernah terlaksana(?). Wacana perlunya Kongres Budaya Jawa antara lain muncul setelah mengetahui dalam Kongres Bahasa Jawa V pembicaraan makalah-makalah persoalan kebudayaan dengan memanfaatkan bahasa sebagai alat bantu analisis hanya sebagai contoh.

Advertisement

Dalam sebuah obrolan santai di luar forum persidangan, pada hari kedua KBJ V (Senin, 28/11) muncul gagasan untuk menggelar Kongres Budaya Jawa. Ini bukan gagasan baru. Berbarengan dengan penganugerahan Hadiah Rancage di Surabaya, awal 2000-an, digelar pula Pekan Budaya Jawa sebagai semacam kegiatan pengantar untuk menuju Kongres Budaya Jawa yang hingga kini belum pernah terlaksana(?). Wacana perlunya Kongres Budaya Jawa antara lain muncul setelah mengetahui dalam Kongres Bahasa Jawa V pembicaraan makalah-makalah persoalan kebudayaan dengan memanfaatkan bahasa sebagai alat bantu analisis hanya sebagai contoh.

Edi Sedyawati dari Universitas Indonesia dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang didaulat panitia untuk menjadi salah seorang pemakalah utama membuat makalah berjudul Aktualisasi Filsafat Jawa Dalam Kehidupan Pascamodern. Ia berbicara tentang filsafat dan bukan tentang bahasa Jawa, walau di akhir makalahnya dikutip beberapa contoh ungkapan yang memenunjukkan pedoman perilaku orang Jawa, yaitu mikul dhuwur mendhem jero, wani ngalah luhur wekasane, alon-alon waton kelakon, jer basuki mawa beya. Kita pasti sepakat makalah-makalah jenis ini pasti sangat tepat ditampilkan di dalam Kongres Budaya Jawa dan bukan di Kongres Bahasa Jawa.

Sebagian besar makalah KBJ V lebih terasa ditulis dengan penyudutpandangan yang keliru. Misal, mendedah nilai-nilai sopan santun, kebajikan, etos, yang terkandung di dalam naskah-naskah sastra Jawa klasik. Makalah-makalah seperti itu pasti lebih terkesan dibuat untuk meyakinkan bahwa sekarang masih penting untuk menginternalisasi nilai-nilai budaya Jawa seperti yang diwariskan para leluhur dan mengaktualisasikannnya di dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Advertisement

Untunglah, di luar makalah yang ditampilkan/dibahas di dalam persidangan-persidangan, panitia KBJ V memberi oleh-oleh para peserta berupa buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan terbitan Balai Bahasa Yogyakarta, dua keping CD (Program Alih Aksara Jawa dan Dasa Nama/Sinonim) yang diproduksi Dinas Kebudayaan Provinsi DIY serta mendapatkan buku antologi Cerpen dan puisi Jawa berjudul Pasewakan (terbitan Konggres Sastra Jawa III bersama Elma Tera) serta novel berbahasa Jawa karya Suparto Brata berjudul Donyane Wong Culika.

Fokus
Memusatkan pembahasan hanya pada persoalan-persoalan bahasa Jawa dan tidak melebar ke persoalan kebudayaan pasti juga akan menjadi salah satu variabel untuk menekan biaya penyelenggaraan. Jumlah peserta bisa lebih dirampingkan, misalnya hanya 200-300 orang. Tempat penyelenggaraannya tidak di hotel bintang lima dan makalah yang ditampilkan sebanyak-banyaknya 20-25 saja.

Pada era sekarang ini, bahasa Jawa memiliki beberapa persoalan, antara lain, pertama, kesenjangan antara ragam tutur dan ragam tulisan, seperti tercermin pada kesulitan yang dihadapi banyak orang ketika harus membedakan kapan menuliskan ”cara” dan kapan harus menuliskan ”coro”, kapan harus menuliskan ”wedi” dan kapan harus menuliskan ”wedhi.”

Advertisement

Kedua, semakin tergerusnya perasaan bangga menggunakan bahasa Jawa di kalangan generasi muda Jawa. Ketiga, ketidakpedulian lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta pada saat menggunakan bahasa Jawa ragam tulisan, misal untuk kepentingan pembuatan kain rentang, selebaran, poster dan lain-lain. Lalu, persoalan tantangan. Tantangan yang dihadapi bahasa Jawa sekarang adalah apakah ia dapat meningkatkan ”derajatnya” dari ragam tutur/lisan ke dalam ragam tulis secara signifikan atau tidak.

Fakta membuktikan di antara 130-an juta orang Jawa di Indonesia terbit tiga majalah berbahasa Jawa, yaitu Jaya Baya (Surabaya), Panjebar Semangat (Surabaya) dan Djaka Lodhang (Jogja) yang masing-masing terbit sekali dalam sepekan dan jika dijumlahkan total oplah ketiga majalah itu pasti tidak mencapai 100.000 eksemplar. Secara kasar, itu berarti tidak mencapai 10% orang Jawa yang melek bacaan berbahasa Jawa.

Kegetiran itu pun tergambar saat terbit buku berbahasa Jawa. Buku novel, Cerpen atau kumpulan puisi Jawa terbaik yang diterbitkan dan terjual 1.000 eksemplar pada bulan pertama sangat minimal kecuali yang kalau ada ”dipaksakan”. Apakah itu dapat dipandang sebagai bukti kegagalan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah? Itulah antara lain pertanyaan yang mestinya dapat dijawab dalam Kongres Bahasa Jawa V.

Advertisement

Tantangan berikutnya adalah, peningkatan derajat bahasa Jawa dari sekadar sebagai bahasa ekspresi (sastra), termasuk untuk keperluan pembuatan syair tembang (campursari, misalnya) menjadi bahasa pengetahuan. Masih belum terpenuhinya secara utuh keinginan panitia KBJ V untuk membebaskan persidangan-persidangan, bahkan sejak acara pembukaan hingga penutupan dari penggunaan selain bahasa Jawa adalah bukti bahwa bahasa Jawa belum berdaya secara optimal di tengah-tengah masyarakatnya sendiri.

Ironisnya, fakta membuktikan bahasa Jawa sesungguhnya jauh lebih ”analitis” daripada bahasa Indonesia. Misalnya, bahasa Jawa memiliki istilahnya masing-masing untuk: batang kelapa (glugu), daun kelapa (blarak), pucuk daun kelapa (janur), kelapa muda (degan), bunga kelapa (manggar) dan seterusnya.

Orang sering masih bertanya bagaimana halnya dengan istilah-istilah pengetahuan modern, termasuk istilah-istilah teknik yang tidak dimiliki bahasa Jawa? Bukankah setiap bahasa memiliki mekanisme penyerapan dari bahasa lain? Inilah pula persoalan-persoalan yang mestinya menjadi bidang garap Kongres Bahasa Jawa. Alih-alih menyelesaikan persoalan di dalam kama-nya sendiri, Kongres Bahasa Jawa V malah nggedhabyah, melebar ke urusan-urusan kebudayaan (Jawa).

Bertolak dari gambaran tadi, kiranya perlu sekalian saja diagendakan kongres kebudayaan Jawa, festival budaya Jawa, kongres sastra Jawa, festival sastra Jawa, kongres guru Bahasa Jawa, lomba menulis sastra dan karya ilmiah berbahasa Jawa dan mungkin beberapa agenda “Jawa” lainnya. Jika untuk tiap-tiap program itu diagendakan masing-masing dengan biaya Rp 1 miliar, diadakan sekali dalam 1-5 tahun, itu tidak akan menambah beban pemerintah.

Anggaran belanja tidak bertambah, tetapi akan semakin banyak pihak/kepentingan terakomodasi. Dengan demikian kita punya tambahan alasan untuk berharap bahasa, sastra dan budaya Jawa akan memperoleh kejayaan sebagai bagian dari kebhinekaan Indonesia. (Artikel ini murni pendapat pribadi penulis)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif