Soloraya
Senin, 21 November 2011 - 14:43 WIB

Mengenang kejayaan Bengawan Solo

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

FESTIVAL GETEK--Walikota Solo Joko Widodo dan Wakil Walikota Solo Hadi Rudyatmo bersama ratusan warga mengikuti Bengawan Solo Gethek Festival dari kampung Ngepung, Pasarkliwon menuju Jurug Kecamatan Jebres, Minggu (201/11/2011). Rencananya Festival tersebut akan dijadikan kalender wisata tahunan oleh Pemkot Solo. (JIBI/SOLOPOS/ Sunaryo Haryo Bayu)

(Solopos.com)–Solo masa depan adalah Solo masa lalu. Tagline yang diusung Walikota Solo, Joko Widodo itu tercermin dalam gelaran Bengawan Solo Gethek Festival, Minggu (20/11/2011). Berikut laporan wartawan SOLOPOS, Suharsih.

Advertisement

Pada masa jayanya sekitar abad ke-18-19, Bengawan Solo memiliki kedudukan sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Bisa dibayangkan, berbagai alat transportasi sungai saat itu seperti getek dan perahu lalu lalang membawa berbagai barang, mulai hasil bumi hingga kain batik.

Para saudagar, pedagang, bangsawan dalam bermacam busana, maupun pengendali getek berseliweran di sungai terpanjang di Pulau Jawa itu.

Advertisement

Para saudagar, pedagang, bangsawan dalam bermacam busana, maupun pengendali getek berseliweran di sungai terpanjang di Pulau Jawa itu.

Suasana serupa itulah yang pada Minggu (20/11/2011) coba dihidupkan kembali melalui acara bertajuk Bengawan Solo Gethek Festival. Kalimat terakhir syair lagu Bengawan Solo ciptaan sang maestro keroncong, almarhum Gesang, muncul sebagai ruhnya, “Itu perahu…riwayatmu dulu. Kaum pedagang selalu naik itu perahu”.

Acara itu cukup mampu menyedot perhatian masyarakat. Sejak pagi, masyarakat sudah memenuhi tepi Sungai Bengawan Solo wilayah Ngepung di perbatasan Sangkrah dan Semanggi, Pasar Kliwon yang difungsikan sebagai pelabuhan. Mereka datang untuk menyaksikan persiapan pemberangkatan
para peserta festival.

Advertisement

”Mungkin tidak banyak orang masa kini yang ingat bahwa dulu Bengawan Solo adalah sarana lalu lintas perdagangan utama yang sangat ramai. Berbagai komoditas diangkut ke daerah lain melalui sungai ini. Festival ini sedikit banyak akan mengingatkan orang pada masa itu,” kata Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Solo, Widdi Srihanto, saat ditemui wartawan di sela-sela acara.

Nuansa tempo dulu makin kental dengan alunan musik keroncong yang terdengar dari panggung kehormatan. Begitu pula dengan pakaian para peserta yang memakai pakaian rakyat khas masa itu, yakni celana kain dan baju lurik atau sorjan. Termasuk Walikota dan Wawali yang mengenakan pakaian ala Joko Tingkir, lengkap dengan ikat kepala dan alas kaki bertali.

Begitu Jokowi tiba di lokasi sekitar pukul 10.00 WIB, acara langsung dimulai. Satu per satu getek meluncur beriringan. Di antara peserta ada yang menampilkan musik dari bambu dan ada pula yang menampilkan musik barongsai berikut petasannya.

Advertisement

Perjalanan sejauh kurang lebih 5 km sampai ke Taman Ronggowarsito di Kelurahan Pucangsawit itu ditempuh dalam 1,5 jam. Ketika iring-iringan tiba di pemberhentian terakhir itu, mereka disambut oleh tepuk tangan warga yang sudah menunggu cukup lama.

Tampak di antara penonton yang menunggu itu, sepasang suami istri mantan anggota Tentara Pelajar (TP) di masa perang kemerdekaan. Sang suami, Suhendro mengaku merasakan betul perubahan kondisi Bengawan Solo dulu dan sekarang.

”Dulu sungai ini sangat ramai sebagai jalur perdagangan. Tapi sekarang tak lebih dari tempat untuk membuang limbah industri. Pemerintah sekarang sangat kurang perhatiannya pada sungai ini,” jelas mantan pejuang berusia 86 tahun itu kepada SOLOPOS (JIBI).

Advertisement

Sementara bagi istrinya, Yugiyanti, 84, festival getek itu mengingatkannya pada cerita kakeknya yang dulu berprofesi sebagai pedagang dan kerap menggunakan sungai itu untuk mengangkut arang dan kain batik ke Surabaya. Seperti suaminya, ia berharap pemerintah lebih memperhatikan kondisi
Bengawan Solo.

Festival getek itu memang baru kali pertama digelar. Namun Pemkot berharap event itu bisa terus dihidupkan, menjadi bagian dari tradisi masyarakat hingga menjadi agenda tetap pariwisata di Solo.

”Dalam hal ini, tentunya kami berharap turis-turis dari negara-negara yang punya ikatan emosi dan kenangan dengan Bengawan Solo seperti Jepang dan Belanda bisa makin rutin datang. Acara ini akan jadi agenda tahunan dan terus dievaluasi agar selalu memberi suguhan lebih menarik,” kata Widdi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif