Kolom
Sabtu, 12 November 2011 - 17:15 WIB

Media (membunuh) demokrasi

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Akhmad Ramdhon

Akhmad Ramdhon, Pengajar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (ist)

Beberapa pemilik grup media massa besar di Indonesia bergabung dengan partai politik. Mereka menjadi orang kunci di partai politik.

Advertisement

Realitas ini menghadapkan kepentingan politik, kekuatan modal, kekuatan media massa dan kepentingan publik dalam wadah kompetisi merebut kekuasaan. Tulisan berikut membahas hal tersebut dalam konteks realitas media dan demokrasi.

Hiruk pikuk diskusi tentang demokrasi kian hari kian dramatis oleh beragam persoalan yang diurai dan dipaparkan media masa kepada kita sehari-hari.

Ada berbagai pihak yang menempatkan diri pada posisi yang senantiasa bertahan atas beragam persoalan untuk kemudian berargumentasi tentang keberhasilan pemerintahan sekaligus merujuk posisi ini pada eksekutif.

Advertisement

Dan di sisi yang lain, dengan jumlah yang jauh lebih banyak, mengungkapkan beragam kegagalan tentang proses penyelenggaraan negara lalu menyebutkan posisi tersebut pada batas yang tidak tegas namun mereka menyebut diri sebagai oposisi.

Drama keduanya hadir lewat beragam kasus korupsi, politik anggaran hingga perombakan kabinet dengan beragam latar yang menyertai.

Semuanya hadir di tengah-tengah kita lewat media massa untuk kemudian melibatkan kita dalam beragam bentuk ekspresi dan pada titik inilah kita mengenalnya sebagai ruang publik politik. Media hadir sebagai penyangganya.

Sebagai pilar, ruang publik kemudian termekanisasi lewat media. Media lalu bekerja melakukan pertukaran informasi dalam semua relasi politik, aktivitas-komunikasi politik eksekutif, legislatif dan yudikatif, kemudian didiseminasikan keluar dari kepengapan batas-batas ruang politik formal untuk kemudian menjadi bagian dari publik yang lalu mendiskursuskannya (Jurgen Habermas, 1984).

Advertisement

Potret tersebut menjelaskan kenyataan sekaligus memberi bukti atas kegagalan terciptanya ruang publik politis yang mandiri.

Otoritarianisme eksekutif terlanggengkan oleh ketidakberdayaan legislatif dan yudikatif. Eksistensi keduanya tidak lebih dari lembaga-lembaga pembenaran. Konflik dan saling sandera kepentingan menjadi mekanisme negosiasi antara yudikatif dan legislatif dalam memproduksi berbagai kebijakan.

Semuanya hadir dan telanjang di depan mata publik, lalu menciptakan krisis legitimasi yang menyeruak hampir dalam semua turunan lembaga-lembaga negara.

Ruang-ruang politik bagi publik hanya menyisakan pilar media massa sebagai bentuk lain dari ekpresi atas demokrasi. Media harus berusaha tetap berada dalam kebebasan sebab kehadiran publik untuk mengawasi atau menuntut atas kebutuhan politik hanya dapat bersandar pada media.

Advertisement

Beragam komunikasi antarindividu disuarakan dan diartikulasikan melalui media. Media yang merepresentasikan ruang politik bagi publik kemudian menjadi variabel yang penting dalam menjalankan roda-roda demokrasi.

Namun, kondisi tersebut mesti diuji oleh nalar kebebasan yang lahir dari rahim demokrasi yaitu tantangan atas hadirnya modal sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia media massa sebagai industri modern.

Ancaman
Di antara semua narasi tentang polemik demokrasi yang hadir di media, mengendap pula ancaman baru yaitu media yang kini harus berhadap-hadapan langsung dengan modal sebagai basis dasar dari dinamika kapitalisme global.

Tren akumulasi kapital oleh para pelaku industri media massa  besar kini mencakup kebutuhan untuk masuk dan menjadi bagian  dari sistem informasi yang selama ini kian mapan.

Advertisement

Kebutuhan akan keterikatan pada media minimal didasarkan pada dua kebutuhan. Pertama, kebutuhan menempatkan media menjadi bagian penting dari instrumentasi industri sebagai sarana kampanye dan mereproduksi berbagai kerangka nilai tentang konsumerisme.

Ini sekaligus mengakselerasikan masyarakat dalam sebuah tatanan baru yaitu mode of consumption, seluas-luasnya, seintensitas mungkin yang hanya bisa dilakukan oleh media. Hanya media yang mempunyai kemampuan tersebut.

Kedua, mengembangkan media (secara an sich) menjadi sistem industri baru yang mengelola berbagai kebutuhan baru pada konstruksi masyarakat kontemporer. Terkait ini, terjadi inovasi atas beragam kemampuan individu yang kemudian terkomodifikasi dan menjadi pemuas hasrat individu yang lain dengan nama entertainment.

Dua fakta tersebut cukup memadai untuk menjelaskan regulasi kepemilikan modal atas media. Situasi tersebut mempertemukan nalar kepentingan ekonomi dengan nalar kepentingan politik dan pada akhirnya mematerialkan hasrat berkuasa dan menguasai pihak lain.

Sebagai bukti, gelombang penggabungan dan akuisisi media-media membentang dari Amerika, Eropa, Asia bahkan Indonesia.

Sebuah kondisi yang mempunyai kecenderungan yang sama. Fakta tersebut bisa dilihat pada meningkatnya jumlah laba yang diperoleh Shin Coo, perusahaan komunikasi milik Thaksin Sinawatra, setelah tiga tahun menjadi Perdana Menteri Thailand.

Advertisement

Atau Silvio Berlusconi yang memiliki Mediaset Group dan menguasai 90% pasar di negaranya, dengan pemasukan iklan 96,8% dari seluruh iklan yang tersedia  (Ignatius Haryanto, 2004).

Kepemilikan media yang terpusat pada beberapa pemilik modal pada akhirnya berdampak luar biasa luas bagi kebutuhan dasar individu dalam ruang-ruang publik dan terutama kebutuhan publik. Kepemilikan terhadap ruang publik mengalami penyempitan (privatisasi) yang seharusnya tidak terjadi.

Media yang epistemologinya representasi atas ruang keterwakilan individu secara kolektif kemudian kehilangan aksiologinya karena masalah kepemilikan. Proses demokratisasi kemudian berjalan timpang karena tampilnya mekanisasi yang hanya menghadirkan kepentingan pemodal dan mengabaikan kepentingan publik.

Dampak tersebut makin masif takkala skema Anthony Giddens (1994) tentang relasi negara, industri dan modal bersinggungan pada satu kepentingan yaitu kekuasaan. Kepentingan individu makin tereduksi dan makna kepentingan publik serta merta tanggal dengan sendirinya. Otomatis gerak laju demokrasi berjalan di tempat.

Pergeseran orientasi media lalu termanifestasikan dalam kebutuhan para pemilik modal untuk mewujudkan semua kepentingan mereka sekalipun menjadi otoritarian dan menjelma menjadi kepentingan yang lebih dangkal yaitu mengebiri kemampuan media dalam mengembangkan nalar publik dengan tetap berbasiskan pada kebutuhan untuk mengakumulasikan modal.

Media tak lagi mampu menopang demokrasi karena transformasi kekuatan modal yang membuatnya rapuh dan tak lagi menjadi energi bagi kesadaran publik untuk berpolitik.

Keyakinan kita untuk menyandarkan pilar demokrasi pada media massa kini menghadapi persoalan serius.

Ini berdasar fakta pada hari-hari terakhir ini kita melihat para pemilik media yang telah mengakumulasikan kemampuan modal mereka beramai-ramai mendeklarasikan kepentingan politik mereka untuk sebuah fragmen politik pada 2014. Akan seperti apakah masa depan demokrasi kita tanpa kehadiran media yang sesungguhnya?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif