Soloraya
Sabtu, 5 November 2011 - 09:00 WIB

15 Eks Panggar adukan Kejari Sragen ke Komisi Kejaksaan

Redaksi Solopos.com  /  Tutut Indrawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sragen (Solopos.com)–Sebanyak 15 eks Panitia Anggaran (Panggar) DPRD Sragen Periode 1999-2004 bakal mengadukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sragen ke Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung (Kejakgung) dalam waktu dekat.

Mereka mempertanyakan uang hasil pengembalian dana purnabhakti dari 45 mantan anggota Dewan yang mestinya diserahkan ke kas daerah (Kasda), tapi malah digunakan sebagai barang bukti.

Advertisement

Perwakilan terpidana kasus purnabhakti, Mahmudi Tohpati, kepada Espos, Jumat (4/11/2011), mengungkapkan kasus purnabhakti ini bakal menjadi teladan bagi publik. Dia menerangkan UU No 22/1999 yang mengatur tentang wewenang APBD merupakan UU organik tanpa peraturan pemerintah (PP). UU tersebut ditindaklanjuti dengan tata tertib (Tatib) DPRD. Panggar saat itu, kata dia, memiliki hak untuk menganggarkan dalam melaksanakan fungsi budgeting.

“Pelaksanaan atas UU tersebut justru dianggap melanggar PP No 105/2000 yang mengatur keuangan daerah. Padahal hanya ada dua pasal dari PP itu yang mengatur DPRD, selebihnya mengatur wewenang kepala daerah. Namun kenyataannya, UU dikalahkan dengan PP. Atas dasar ini terkesan ada kriminalisasi hukum terhadap teman-teman mantan anggota Dewan,” ujar Mahmudi.

Advertisement

“Pelaksanaan atas UU tersebut justru dianggap melanggar PP No 105/2000 yang mengatur keuangan daerah. Padahal hanya ada dua pasal dari PP itu yang mengatur DPRD, selebihnya mengatur wewenang kepala daerah. Namun kenyataannya, UU dikalahkan dengan PP. Atas dasar ini terkesan ada kriminalisasi hukum terhadap teman-teman mantan anggota Dewan,” ujar Mahmudi.

Selain itu, tambah Mahmudi, proses penetapan Perda No 7/2003 tentang APBD Sragen sudah sesuai dengan prosedur. Setelah mengendap satu tahun, ungkap dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kerugian daerah yang tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) terkait dana purnabhakti. Oleh karenanya para anggota Dewan kala itu dimintai mengembalikan uang itu.

“Saat itu justru kejaksaan yang meminta pengembalian uang purnabhakti itu dengan alasan akan dikembalikan ke Kasda. Setelah semua mengembalikan, uang itu justru dijadikan barang bukti oleh kejaksaan dalam kasus dugaan korupsi. Kejaksaan memberi alasan adanya surat dari Ketua DPRD saat itu yang menerangkan tentang barang bukti. Padahal per Agustus 2004, Ketua Dewan tidak aktif karena sudah purnatugas,” paparnya.

Advertisement

“Atas dasar itu, kami akan mengirim aduan ke Komisi Kejaksaan dan Kejakgung. Penanganan kasus ini juga tidak sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung No B-046/A/Fd.1/08/2008 tentang Kasus Penyalahgunaan Anggaran DPRD dan Adanya SE dari Mahkamah Agung No 4/2005,” tegasnya.

Dalam surat itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji, memberi petunjuk agar tidak menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan SE MA itu di daerah. Setidaknya ada empat poin yang disampaikan Jaksa Agung kepada Kepala Kejari se-Indonesia.

Pada poin kedua, Jaksa Agung menerangkan kebijakan politik kolektif berupa produk legislatif yang tertuang dalam Perda tentang APBD tidak dapat diuji oleh yudikatif, kecuali melalui instrumen yudicial review.

Advertisement

Pada poin ketiga menjelaskan, indikasi terjadinya tindak pidana korupsi baru terlihat apabila putusan yudicial review dari MA telah menyatakan produk legislatif dalam pelaksanaan anggaran terjadi penyimpangan dan oleh institusi yang berwenang para pihak terkait ditetapkan tuntutan ganti rugi.

Bila pada tenggang waktu yang ditetapkan pihak-pihak terkait tidak mengembalikan keuangan negara, maka perbuatan itu dapat dikualifikasikan sebagai penggelapan dalam jabatan.

(trh)

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif