Semangka yang dikembangkan oleh Direktur Teknis PT Tunas Arga Persada, Dwi Kartika Gazali ini memang berbeda dari semangka yang biasa ditemui kebanyakan orang. Bentuknya semangka yang bongsor, adalah persilangan antara plasma nutfah semangka yang memang memiliki sifat bawaan besar dengan plasma nutfah semangka pada umumnya.
“Saya ingin bereksperimen membuat semangka dengan citarasa krenyes-krenyes, tapi ukurannya jumbo. Semangka ini membuktikan eksperimen saya berhasil,” ungkap Dwi saat ditemui wartawan di lahan tanam semangkanya di Desa Bolong, Selasa (1/11/2011) siang.
Kendati ia berhasil menanam semangka dengan ukuran yang tidak biasa, ia juga menghadapi sejumlah kendala, yakni rasanya yang kurang begitu manis lantaran ukurannya yang besar. Selain itu, menurutnya, semangka dengan bobot lebih dari 25 kilogram, belum begitu diminati konsumen.
Saat ini konsumen lebih memilih untuk membeli semangka dengan bobot normal sekitar 5-10 kilogram. Ia sendiri mengembangkan semangka itu bukan untuk dijual ke pasaran, tapi hanya sebagai eksperimen. Yang ia lempar ke pasaran yakni justru biji semangkanya.
“Jika dihargai sekilo hanya Rp 2.000 saja, dikalikan bobot 25 kilogram, jatuhnya sudah Rp 50.000. Padahal jika orang makan semangka, itu biasanya untuk sekali makan. Disimpan pun tidak terlalu lama. Kecuali kalau orang itu punya keluarga besar, mungkin baru beli semangka ini,” kelekar Dwi sembari menepuk-nepuk semangkanya.
Semangka yang ia beri kode G02 itu ke depan masih perlu kembangkan. Salah satunya yakni membuat semangka besar dengan daging warna orange, bukan kuning atau merah. Di ladangnya seluas lebih kurang 3.000 meter persegi itu, bersama Manajer Pemasaran PT Tunas Arga Persada, Mugiharjo, masih mengembangkan melon kuning, cabai, tomat dan jagung manis. “Kami di sini hanya membuat hibrida atau bijinya. Selama ini kita juga tidak pernah impor dari luar negeri. Semua plasma persilangan dari dalam negeri,” ungkapnya.
(fas)