Kolom
Minggu, 18 September 2011 - 18:54 WIB

Mencari pohon sala di Solo

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hendromasto (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Hari Minggu (18/9/2011), Pemkot Solo menanam 18 batang pohon sala. Pohon yang diyakini sebagai awal mula penamaan ”Solo” tersebut ditanam di beberapa tempat strategis seperti rumah dinas walikota, rumah dinas wakil walikota dan kampus Universitas Sebelas Maret (UNS).

Hendromasto (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Advertisement
Pohon sala memiliki nama Latin atau spesies Couroupita guianensis. Apakah memang pohon inilah cikal bakal penamaan “Sala” yang kini kondang dengan ”Solo”? Bukankah setidaknya ada tiga jenis pohon bernama sala?

Penelusuran asal usul nama ”Sala” setidaknya muncul kali pertama pada 1960 dalam buku Nawawindu Radyapustaka. Dalam buku tersebut, GPH Adiwijaya menjelaskan nama ”Sala” berasal dari sebuah tanaman. Pemimpin Museum Radya Pustaka ini menukil kisah dalam Babad Sengkala karya pujangga Yogyakarta atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Pada Serat Mijil di halaman 72 Babad Sengkala yang dinukil GPH Adiwijaya, dikisahkan Pangeran Mangkubumi, kemudian bergelar Hamengku Buwono I, singgah di Baturono setelah menaklukkan pemberontak Adipati Martapura di Sukowati. Sultan pertama Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut oleh Babad Tanah Jawi tulisan Carik Braja disebut sebagai salah satu tokoh penting dalam pembangunan Surakarta. Di Baturono, Pangeran Mangkubumi melihat para pekerja menebang kayu sala.

Advertisement

Penelusuran asal usul nama ”Sala” setidaknya muncul kali pertama pada 1960 dalam buku Nawawindu Radyapustaka. Dalam buku tersebut, GPH Adiwijaya menjelaskan nama ”Sala” berasal dari sebuah tanaman. Pemimpin Museum Radya Pustaka ini menukil kisah dalam Babad Sengkala karya pujangga Yogyakarta atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Pada Serat Mijil di halaman 72 Babad Sengkala yang dinukil GPH Adiwijaya, dikisahkan Pangeran Mangkubumi, kemudian bergelar Hamengku Buwono I, singgah di Baturono setelah menaklukkan pemberontak Adipati Martapura di Sukowati. Sultan pertama Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut oleh Babad Tanah Jawi tulisan Carik Braja disebut sebagai salah satu tokoh penting dalam pembangunan Surakarta. Di Baturono, Pangeran Mangkubumi melihat para pekerja menebang kayu sala.

Berdasar Serat Mijil dalam Babad Sengkala itu, GPH Adiwijaya lantas meminta pertimbangan seorang ahli botani bernama Suprapto di Semarang untuk menelisik tanaman bernama sala tersebut. Dari hasil penelusuran yang merujuk pada buku jilid III karangan H Heine berjudul De Nuttigr Planten van Nederland Indie atau Dunia Tanaman di Hindia Belanda, muncul empat tanaman bernama sala dan Pinus merkusii Jungh et de vriese sebagai flora yang paling mendekati deskripsi Serat Mijil pada Babad Sengkala.

Setelah menimbang pohon yang sama banyak terdapat di daerah Tawangmangu dan melihat kebiasaan nama penguasa suatu daerah sering diidentikan dengan situasi di wilayahnya, secara tegas GPH Adiwijaya menabalkan Pinus merkusii Jungh et de vriese sebagai pohon yang menjadi asal mula penamaan “Sala”. Sampul buku Nawawindu Radyapustaka bahkan menampilkan gambar bunga pinus sebagai hiasannya.

Advertisement

Dalam bahasa lokal Aceh, kayu pinus memang dikenal dengan nama kayu sala. Strain khas Sumatra Utara dan Aceh ini dikenal sebagai pinus istimewa dan memiliki perbedaan-perbedaan tertentu dengan tanaman sejenis di belahan dunia lain. Andai rujukan Suprapto dan GPH Adiwijaya bukanlah buku tentang flora di Indonesia semata, tentu Pinus merkusii tidak akan segera ditabalkan sebagai asal-usul penamaan “Sala”.

Di belakang Pagelaran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terdapat pohon yang bukan Pinus merkusii dan disebut sebagai pohon sala. Kerindangan daun dan batangnya yang tegak berdiri memayungi bekas pusara Ki Gede Sala. Konon, pohon sala di Siti Hinggil ini memiliki bunga berwarna putih. Sayang, pohon tersebut kini tak lagi berbunga. GPH Puger dalam sebuah kesempatan sempat mengatakan pohon sala di Siti Hinggil ini memiliki peran penting dalam perjalanan hidup Sang Budha.

Di India dan sekitarnya, pohon sala atau sal tree memiliki nama latin Shorea robusta. Pohon ini memiliki cerita panjang dan menempati posisi penting dalam religiositas pemeluk Budha. Sidharta Gautama lahir di bawah pohon sala. Di bawah pohon sala pula Budha menutup mata terakhirnya pada usia 80 tahun. Hingga kini, pohon sala masih banyak tumbuh di taman Lumbini, Nepal, tempat Sidharta Gautama lahir.

Advertisement

Pohon sala atau sal tree juga banyak tumbuh di kawasan Haryana yang tak jauh dari Delhi. Selain memiliki arti penting dalam perjalanan hidup Budha Gautama, pohon sala juga bermanfaat bagi rakyat Negeri Gangga. Batang kayunya yang sangat kuat sering dimanfaatkan untuk membangun rumah hingga membuat perahu dan kapal.

Masuk akal jika Pangeran Mangkubumi melihat banyak pekerja menebangi Shorea robusta di sekitar Baturono yang tak jauh dari Bengawan Semanggi. Daerah itu merupakan jalur transportasi air penghubung pedalaman Jawa dan pesisir utara dengan menggunakan kapal atau perahu.

Selain Shorea robusta dan Pinus merkusii Jungh et de vriese, masih ada flora lain yang sering disebut dan dianggap sebagai pohon sala. Yaitu, Couroupita guianensis atau pohon canon ball. Disebut pohon canon ball karena buahnya berbentuk bulat, keras dan besar, mirip dengan peluru meriam. Di Thailand dan sekitarnya, pohon ini disebut dengan nama sala.

Advertisement

Banyak tempat ibadah Budha di Asia Tenggara, terutama Thailand, yang ditanami Couroupita guianensis karena dianggap sebagai pohon sala tempat Sang Budha lahir dan meninggal. Di Kelapa Gading, Jakarta, sebuah vihara juga dirindangi oleh Couroupita guianensis yang diidentikan sebagai Shorea robusta.

Di India, Couroupita guianensis dikenal dengan nama nagalingam, shiv kamal atau nagkeshar. Di India pula flora ini memiliki arti penting bagi pemeluk Hindu. Flora ini identik dengan sosok naga yang terkait dengan Dewa Siwa. Wajar jika kemudian flora ini banyak ditanam di tempat ibadah yang merujuk kepada Dewa Siwa.

Lalu, mana pohon sala yang sesungguhnya? Anggap saja tiga-tiganya adalah pohon sala karena memang ketiganya bernama sala. Perkara pohon mana yang menjadi awal mula penamaan “Sala”, biarlah menjadi rahasia sejarah. Bukankah akan indah jika tiga pohon bernama sala itu memekarkan bunga di satu tempat bersamaan? Couroupita guianensis dengan bunga merah menyala mirip jengger naga, bunga Shorea robusta berwarna putih dan bunga Pinus merkusii Jungh et de vriese berwarna cokelat. Gula, kelapa dan cokelat.

Hendromasto, penulis lepas

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif